"Tujuan dari propaganda modern
adalah tidak lagi mengubah opini,
tetapi membangunkan sebuah kepercayaan yang aktif
terhadap mitos"

(Jacques Ellul)

Kamis, 10 Maret 2011

"Postmodernisme dalam persepektif Materialisme Dialektik"

Postmodernisme dalam persepektif Materialisme Dialektik
Hidayatullah

1. Asal Usul Historis Postmodernisme: Ekonomi Politik Internasional dan Pandangan tentang Masyarakat dan Ilmu

Dalam memahami Postmodernisme, kita tidak mungkin hanya mengacu pada substansi pemikirannya, karena kehadiran postmodernisme sejak dasawarsa 1970an sangat terkait dengan kondisi ekonomi politik internasional pasca Perang Dunia II sebagai perang antar negara imperialis. Dalam Perang ini, di satu sisi ada negara-negara fasis: Jerman, Italia dan Jepang, sementara di sisi lain ada Sekutu dan negara sosialis baru, yakni Uni Soviet dan satelitnya. Sementara itu, pada dasawarsa 1940an, masyarakat China sendiri masih melancarkan perjuangan kemerdekaan melawan fasisme Jepang dalam koalisi antar partai nasionalis (partai Kuo Min-tang pimpinan Chiang Kai-sek) dan Partai Komunis China. Koalisi ini juga terjalin karena nasehat dan seruan Uni Soviet dibawah pimpinan Stalin. Namun, pembantaian ribuan kaum komunis oleh partai nasionalis China itu adalah pelajaran berarti sehingga Partai Komunis China yang program-programnya secara nyata melawan imperialisme fasis Jepang, mulai melancarkan perang internal terhadap partai nasionalis China itu. Di bawah kepemimpinan Mao, mereka mulai mengadakan long march tentara rakyat dari China Selatan untuk menyerang kekuasaan Kuo Min-tang yang reaksioner terhadap kebangkitan rakyat China melawan imperialisme Jepang.

Jadi, posisi Uni Soviet yang menyarankan koalisi ini menimbulkan bencana bagi perjuangan revolusioner rakyat China melawan imperialisme Jepang. Setelah Stalin digantikan Kruschev, pendirian ini tidak berubah, bahkan setelah Partai Komunis China dibawah pimpinan Mao dan kekuatan revolusioner China melancarkan serangannya terhadap kaum nasionalis Kuo Min-tang sampai mereka mampu mengalahkan partai nasionalis ini dan memproklamasikan negara Republik Rakyat China pada tanggal 1 Oktober 1949.

Setelah Perang Dunia II, ketegangan politik dunia menyangkut: persekutuan Uni Soviet yang mengambil jalan damai dengan kaum imperialis AS dan sekutunya, Revolusi Kebudayaan Rakyat China dan pendirian revolusioner China pada Era Mao (sampai wafatnya tahun 1976) dalam mendukung perjuangan pembebasan nasional dan kekuatan revolusioner melawan kolonialisme Eropa (Prancis, Belanda, Spanyol) di Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Oleh karena itu, imperialisme setelah Perang Dunia II mencakup:

 Hegemoni AS dan Imperialisme di kawasan barat secara ekonomi, politik, keuangan dan militer;
 Pembenahan blok politik di negara-negara imperialis di Eropa dan Jepang untuk melawan blok Soviet;
 Meningkatnya biaya negara untuk mengintegrasikan kelas pekerja dalam sistem kapitalis, atau dikenal dengan ‘negara kesejahteraan’, dengan kata lain kapitalisme monopoli negara;
 Pembengkakan ekonomi militerisasi secara permanen, terutama di AS.

Sementara itu, Neo kolonialisme di negara Dunia Ketiga mencakup:
 Krisis imperialisme Eropa di negara-negara jajahan, perjuangan kemerdekaan politik dari borjuasi nasional selama dan setelah Perang Dunia II, hubungan partai-partai Stalinis dengan borjuasi nasional, seperti di China dengan Kuomintang, revolusi China dan Vietnam;
 Penindasan perjuangan rakyat dan menerapkan kembali kekuasaan kolonial (status quo) dibawah kekuasaan militer dari imperialisme AS dan lembaga keuangan internasional;
 Perkembangan kapitalisme global tergantung pada pemerasan luar biasa dari upah murah, syarat-syarat perdagangan yang berat sebelah dalam pemerintahan diktator yang anti demokrasi dan campur tangan langsung dari negara-negara imperialis;
 Kekuasaan kapital multinasional dan pembagian kerja internasional yang tidak adil, penghancuran pertanian tradisional dan pengenalan ekspor tunggal dari hasil pertanian.

Posisi Uni Soviet ini sendiri akhirnya menarik dukungan perjuangan revolusioner dari kawasan kolonialisme dan hanya mendukung perang rakyat anti kolonial sebagai diplomasi (bargaining) dengan imperialis AS dan sekutunya. Apalagi, di kawasan Eropa Timur dan Asia Barat, Uni Soviet menegaskan kepemimpinannya dalam blok sosialis, bahkan dengan menindas pemberontakan rakyat di Berlin Timur 1953 dan Hungaria 1956, serta pendudukan militer di Cekoslovakia pada bulan Agustus 1968. Dengan demikian, hanya China pada era Mao yang berdiri pada posisi mendukung perjuangan pembebasan nasional dan kekuatan revolusioner di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Dukungan nyata ini pertama-tama terbukti dalam Perang Korea pada 1950-1953 dan Perang Vietnam. Dukungan terhadap perang ini tidak hanya menjadi pendirian Negara China di bawah pimpinan Partai Komunis China-Mao, namun dari seluruh rakyat, entah sebagai sukarelawan atau aksi-aksi long march besar-besaran di seluruh penjuru China.

Di luar daratan China, RRC pada era Mao juga mendukung perjuangan pembebasan di Afrika termasuk Aljazair sebagai kawasan koloni Prancis seperti halnya Vietnam, perjuangan rakyat Palestina melawan imperialisme AS dan Inggris, dan yang paling penting adalah dukungan terhadap konferensi Asia-Afrika sebagai kekuatan non blok di luar Uni Soviet dan AS-Sekutu. Meskipun demikian, kecuali bantuan militer yang besar dalam perang Korea dan Vietnam, China hanya memberikan bantuan terbatas untuk perjuangan pembebasan nasional di Afrika dan Asia secara umum, dan menekankan ekonomi berdikari serta garis perjuangan massa dalam melawan imperialisme-neo kolonialisme.

Ketegangan internasional ini sesungguhnya ditentukan oleh perebutan kekuatan-kekuatan produksi: antara ekonomi politik independensi-revolusioner dan imperialisme-neo kolonialisme. Posisi pertama tentu saja berbasis sosialisme Marxis dan posisi kedua berbasis liberalisme AS-revisionisme modern Uni Soviet. Inilah sejarah perjuangan kelas global pada paruh pertama abad kedua puluh: antara bangsa-bangsa terjajah dan bangsa-bangsa penjajah serta antara kelas-kelas tertindas dan kelas-kelas yang berkuasa di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin, pendek kata antara independensi nasional-sosialis dan imperialisme-neo kolonialisme.

Oleh karena itu, pada dasawarsa 1960an, politik dunia bergolak dalam bentuk aksi-aksi rakyat Amerika Serikat menentang perang Vietnam yang dilancarkan oleh rejim imperialis, perang-perang gerilya di Afrika, pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya serta pelarangan Marxisme secara legal di Indonesia, intervensi militer Uni Soviet di negara-negara satelitnya, pembangunan pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah, aksi buruh dan mahasiswa di Prancis dalam menentang rejim negaranya yang menerapkan politik upah murah dan sistem pendidikan yang represif. Peristiwa penting lagi adalah kebangkitan revolusioner yang mengejutkan dari Partai Panther Hitam di jalan-jalan Oakland, California dan ledakan aksi dari lebih seratus kota ketika pemimpin perjuangan masyarakat sipil, Martin Luther King, Jr. dibunuh pada bulan April 1968, yang menandai pemusatan perjuangan melawan supremasi kulit putih dan signifikansi dari kemajuan hak-hak sipil dalam pembebasan kulit hitam.

Lalu dimanakah posisi Prancis sebagai tanah kelahiran postmodernisme? Sejak tahun 1830, Prancis adalah imperium kolonial di kawasan Afrika Utara dan Afrika Barat Aljazair, Tunisia Maroko dan Senegal, Indochina (Vietnam dan Kamboja), Komoro di Madagaskar, Tahiti di kawasan samudera Pasifik, kawasan Karibia, Amerika Latin dan Kanada di Amerika Utara. Perang Dunia I dan krisis ekonomi kapitalis pada tahun 1929-1930, berdampak besar pada negara Prancis serta mendorong Perang Dunia II setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia dan munculnya negara fasis Jerman dan Italia.

Dalam Perang Dunia II, di bawah rejim kolaboratif Vichy Prancis , kelompok-kelompok gerilya kecil terbentuk pasca serangan Jerman ke Paris. Kelompok-kelompok ini diorganisasikan dengan baik di kawasan selatan dan menarik dukungan dari pelbagai partai, terutama kaum komunis. Kontak dengan pemerintahan de Gaulle yang menjalankan pemerintahan di London dan perlawanan di Prancis terus meningkat. Secara bertahap, de Gaulle mampu mengontrol perlawanan rakyat Prancis dari luar negeri.

Pada tahun 1943, de Gualle pindah ke Aljazair setelah bertentangan dengan Churchill dan presiden AS, Franklin Roosevelt. Selama perang berkecamuk melawan pendudukan Jerman, tuntutan tenaga kerja untuk industri perang Jerman semakin besar dari Prancis, sehingga tingkat perlawanan kelas pekerja Prancis semakin meningkat. Selama 1944, rakyat Prancis menunjukkan perlawanan berarti terhadap Jerman. Setelah pasukan Sekutu mendarat di Normandia pada tanggal 6 Juni 1944, Prancis secara bertahap dibebaskan dari pendudukan Jerman. Kaum komunis kemudian berupaya mengambil alih kekuasaan, terutama melalui perlawanannya melawan Jerman di Paris pada bulan Agustus 1944. Namun, de Gaulle akhirnya mampu mengukuhkan kekuasaannya di seluruh Prancis. Pemerintahan sementara terbentuk di bawah kepemimpinan de Gaulle. Serangan terhadap kolaborator Nazi, pemerintahan Vichy, dilancarkan. Kira-kira 10.000 orang dihukum mati dan 40.000 orang dipenjarakan. Laval diadili dan dihukum mati. Pétain juga diadili dan didakwa hukuman mati, namun diperingan dengan penjara seumur hidup.

Meskipun pemerintahan de Gualle secara umum berhasil mereformasi kapitalisme dan integrasinya dengan pasar bersama Eropa, namun ia kurang berhasil menyelesaikan masalah kolonial. Di Vietnam, gerakan-gerakan perlawanan rakyat dilancarkan pada Jepang yang menduduki Vietnam selama Perang Dunia II. Setelah Perang, gerakan-gerakan ini mengarah pada perlawanan terhadap imperialisme Prancis. Dari tahun 1946 sampai 1954, tentara Prancis berupaya menekan perlawanan rakyat Vietnam di bawah pimpinan Ho Chi Minh dan mengalami kekalahan yang memalukan di Perang Indochina ini. Pemicu perang ini adalah kegagalan Republik Demokratik Vietnam dan Pemerintahan Prancis dalam kesepekatan kompromis tentang kekuasaan Prancis di Vietnam setelah Perang Dunia II. Selama tahun 1950, Partai Komunis China mendukung penuh perjuangan Vietnam, sebaliknya AS mendukung Prancis. Setelah kekalahan ini, Perdana Menteri Prancis, Mendès-France menarik kekuatan militernya dari Vietnam dan menghadapi masalah penyerahan kedaulatan di Maroko dan Tunisia.

Pemerintahan Prancis juga menghadapi kondisi yang lebih sulit di Aljazair dan mayoritas bangsa Aljazair menginginkan kemerdekaan meskipun sekitar satu juga orang Eropa di sana menuntut perlindungan dari kekuasaan Prancis. Perang kemerdekaan pecah pada tahun 1954 di Aljazair dan sejumlah besar pasukan Prancis yang dikirimkan ke Aljazair mulai dikurangi. Dalam perang inilah, China juga mendukung perjuangan rakyat Aljazair dengan melatih para gerilyawan di kamp-kamp militer rahasia. Pendirian ini sangat bertentangan dengan Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) yang menarik campur tangan terhadap perjuangan rakyat di kawasan kolonial berdasar tiga jalan revisionis mereka: hidup berdampingan secara damai dengan imperialisme AS, persaingan damai antara blok kapitalis dan blok sosialis, dan transisi damai menuju sosialisme. Partai Komunis Prancis bahkan berpendirian bahwa Aljazair adalah bagian dari Prancis. Oleh karena itu, China menganggap PKUS dan partai-partai komunis yang berpendirian sama dengannya sebagai “para pembela neokolonialisme.”

Dalam kondisi politik internasional ini, pada bulan Mei 1968, buruh Prancis melancarkan pemogokan terbesar dalam sejarah. Ia dikobarkan oleh krisis politik yang bertolak dari pemberontakan student di Paris. Aksi ini juga berlangsung dengan latar belakang kebangkitan perjuangan kaum perempuan dan kulit hitam di akhir dasawarsa 1960an dan radikalisasi pemuda secara global.

Partai Komunis Prancis dengan salah jajaran pemimpinnya adalah Louis Althusser, tidak mendukung gerakan massa ini, karena pendirian mereka yang sama dengan revisionisme modern dari Partai Komunis Uni Soviet. Selain itu, ia adalah bagian dari rejim de Gualle dan meskipun pernah membangun front persatuan rakyat melawan Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II, popularitasnya sangat merosot karena pendirian-pendirian yang revisionis dan reaksioner, terutama terhadap perjuangan kemerdekaan Aljazair.

Pada dasawarsa 1960an ini, Marxisme sangat dominan dalam melandasi perjuangan rakyat dunia yang sedang bergolak sampai di Eropa Barat dan Amerika Serikat sebagai kota metropolitan dari imperialisme. Kiblatnya tidak ada lagi kecuali China pada era Mao yang di dalam negeri sendiri juga sedang menghadapi sosok-sosok pimpinan Partai Komunis China yang menempuh jalan kapitalis atau merestorasi kapitalisme seperti Deng Xiaoping dan faksinya. Sampai pada dasawarsa 1970an, tradisi ilmiah di universitas secara global masih sangat kuat dipengaruhi oleh Marxisme. Di atas perang rakyat dan radikalisasi pemuda melawan kapitalisme, imperialisme dan neo kolonialisme inilah, para pemikir postmodernis seperti Foucault, Derrida, Lyotard and Baudrillard melancarkan serangan pemikiran terhadap Marxisme. Di samping mereka, kesimpulan yang sama dicapai dari sudut pandang berbeda, yakni pendirian “neo-skeptis” dari filsafat modern Amerika: Quine, Rorty, De Man and Stanley Fish. Karya para filosof Amerika ini pun secara khusus mengajukan kritik terhadap Marxisme.

Dalam menanggapi gerakan massa pada bulan Mei 1968, psikolog postmodernis, Deleuze dan Guattari berpendapat bahwa Mei 1968 adalah molekul… tidak bisa direduksi pada wilayah kelas. Letusan perjuangan kelas pekerja setelah kekalahan tiga dasawarsa di Eropa Barat, sepenuhnya diabaikan oleh analisa postmodernis tentang aksi Mei 1968. Analisa postmodernis lainnya mengungkapkan, “Paris sedang bergolak. 10 juta rakyat Prancis turun aksi. Long March damai ini kemudian menjadi perang: barikade, pembakaran mobil dan pelemparan bom molotov. Bahkan fakultas Baudrillard dikacaukan selama dua bulan. Siapa yang bertanggung jawab? Mereka adalah student yang dikenal dengan Enragés (kaum maniak) dan beberapa diantara adalah murid Baudrillard. Namun mereka diilhami oleh Situasionis Internasional… Revolusi ini gagal. Beberapa sejarahwan menganggapnya kadaluwarsa karena student memasuki libur musim panas.”

Faktanya, 10 juta demonstran adalah buruh. Sementara mayoritas student radikal bukan mendapat ilham dari Situasionis Internasional, namun dari Leninisme, Trotskyisme dan Maoisme, jadi secara umum Marxisme. Revolusi May 1968 gagal karena kekuasaan Partai Komunis Prancis yang Stalinis-revisionis, melumpuhkan buruh dan memisahkan mereka dari pemberontakan student.

Lalu apa isi pandangan para pemikir postmodernis tentang masyarakat dan ilmu? Selama satu dasawarsa, mayoritas intelektual Prancis mengabaikan Marxisme dan secara terbuka memeluk kapitalisme Prancis. Mereka yang masih ingin mempertahankan pendirian kritis terhadap kapitalisme tanpa Marxisme harus mengembangkan strukturalisme dalam ortodoksi anti rasional. Sebastiano Timpanaro menjabarkan peran penting Louis Althusser yang memadukan Marxisme dengan strukturalisme dalam mengendapkan transisi serangan terhadap Marxisme.

Frederick Jameson kemudian memaparkan kondisi postmodern ini sebagai berikut: “Berapa tahun terakhir ditandai dengan pandangan masa depan yang terbalik… matinya ideologi, seni atau kelas sosial, ‘krisis’ Leninisme, demokrasi sosial atau negara kesejahteraan, dsb). Semua ini adalah tanda dari apa yang disebut postmodernisme.” Jameson kemudian mengunngkapkan kondisi masyarakat pasca industri, teori chaos dalam ilmu pengetahuan dan tentu saja “berakhirnya sejarah“. Sebagai serangan pada apa yang disebut narasi agung Marxisme, kritik postmodernisme bisa diabstraksikan sebagai berikut:

 tidak ada kebenaran obyektif yang bisa dipahami pemikiran ilmiah;
 tidak ada subyek manusia yang bebas, individu hanya hasil hubungan dengan pengaruh luar dan unsur-unsur determinan;
 bahasa tidak merepresentasikan realitas, karena itu konsep ideologi sebagai kesadaran palsu tidak bermakna;
 kemajuan dan keharusan sejarah tidak bermakna: formasi sosial dalam sejarah, sosiologi dan antropologi harus dipetakan, bukan dinilai dan dikategorisasi;
 gerakan sosial atau masyarakat yang didasari kemungkinan pengetahuan ilmiah dan kebenaran obyektif bersandar pada “narasi agung” ketimbang logika internal yang mengesahkan eksistensinya; semua “meta-narasi” ini hanya mengesahkan penindasan;
 perjuangan kelas dan sosialisme adalah contoh dari meta-narasi ini dan sudah ketinggalan zaman dalam dunia modern;
 perlawanan terhadap penindasan yang tidak beralih pada penindasan lainnya adalah perlawanan terbatas, bersifat lokal dan kecil, seperti tertuang dalam analisa gerakan sosial baru. Bentuk perlawanan yang pokok adalah mengubah diri kita sendiri, mengolah kehidupan kita dalam “karya seni”.

Seni modern sendiri membantu mendefinisikan aspek penting dari ideologi borjuasi pada tahap imperialisme. Lapisan kecil dari borjuasi mampu mendorong dinamisme dari sistem mereka dan liberalisme ekonomi politik mereka melalui kreativitas seni progresif. Setelah 1945, imperialisme mengalami “masa kejayaan”. Pengukuhan imperlisme AS yang mencakup CIA, secara aktif mengajukan modernisme pasca Perang Dunia II dengan hiasan perkembanga teknologi progresif. Namun ledakan kapitalisme sejak eksplorasi minyak bumi dan pengembangan mekanika modern ini tetap mengalami krisis silih berganti per dasawarsa, yakni gelembung keuangan dalam lembaga-lembaga kapitalis perbankan dan pasar saham. Selain itu, ketika modernisme diterapkan secara fungsional, terutama dalam arsitektur, keyakinannya ditekukkan ketika kota-kota pencakar langit berubah menjadi perkampungan kaum miskin kota dan beberapa bangunannya dihancurkan. Namun pada umumnya, kapitalisme tetap mengesahkan seni dan ilmu yang mengabaikan manusia, tidak mengulas penderitaan yang dialami manusia dalam kapitalisme. Kapitalisme dengan seni modernnya bertahan secara dingin di atas ironi ini dan pertanyaan serius manapun.
Meskipun demikian, perubahan ideologi yang mendasar adalah krisis kepercayaan pada konsep kemajuan kapitalisme itu sendiri dan postmodernisme adalah salah satu hasilnya. Unsur irasional dari pemikiran borjuasi ini menantang dominasinya karena peristiwa penting selama tiga dasawarsa sebelum tahun abad ke 21: berakhirnya ledakan ekonomi pasca Perang Dunia; kekalahan perjuangan kelas pekerja dan runtuhnya Uni Soviet yang revisionis.

Oleh karena itu, beberapa pemikir postmodernis seperti Derrida, berkecil hati terhadap dunia yang tak mempunyai harapan ini dan menyerukan kembali pada Marxisme sebagai teori radikal. Yang lainnya seperti Rorty secara bersemangat memeluk realitas reaksioner baru yang mendesak kita untuk menerima America modern sebagai teladan dari bentuk masyarakat terbaik, dan mengungkapkan harapan bahwa Amerika akan terus memberi contoh toleransi dan persamaan. Dengan demikian, kita mendengar nada tentang “krisis postmodernisme”. Dalam hal ini, Jean Baudrillard mengungkapkan kepada para pengikutnya tentang kegagalan postmodernisme sebagai pandangan dunia: Postmodernisme adalah kemunduran. Ia adalah tahap paling merosot, artifikial dan ekletik. Ia tak bermakna. Kita mustahil mendefinisikan apa yang sedang terjadi saat ini. Ada kekosongan dari apa yang saya analisa.


2. Kritik atas Postmodernisme: Idealisme versus Materialisme Dialektik

Lantara fosil-fosil postmodernisme masih menarik perhatian, diangkat dan dibicarakan di dunia akademis sebagai tempat student mencari pengetahuan ilmiah, maka kritik-kritik terhadap postmodernisme harus diungkapkan. Kritik ini sepenuhnya bertolak dari materialisme historis dan dialektika karena postmodernisme sendiri menyerang secara kritis dasar-dasar sosialisme ilmiah ini. Metode ini juga bertujuan memahami secara jelas apa itu sosialisme ilmiah karena kritik postmodernisme sering kali mengaburkan pandangan sosialisme ilmiah di khalayak pembacanya atau dengan sengaja mengabaikan konsep-konsep dasarnya.

Seperti diabstrasikan sebelumnya, salah satu dasar kritik postmodernisme terhadap Marxisme adalah penolakannya atas kemampuan bahasa dalam merepresentasikan realitas. Para pemikir postmodernis menemukan metodenya dalam kritik atas “strukturalisme” dari ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Saussure berupaya memahami struktur bahasa dengan mengungkap hubungan antara dunia dan pikiran yang menandainya. Dia mengungkap otonomi relatif dari struktur bahasa dari dunia yang dibahasnya, karena sifat bahasa yang arbiter.

Oleh karena itu, semua “teks” terbentuk dari metafor atau alat linguistik lainnya yang menyembunyikan makna sebenarnya. Tugas pemikir kritis adalah membongkar teks ini dan mengungkap makna internalnya melalui “pembacaan tertutup”. Seperti dokter ahli jiwa yang memeriksa kejangan pasien untuk mengungkap sebab mendasar dari penyakitnya, Derrida memandang “teks marjinal” sebagai titik pijak penting untuk kritik terhadap serangkaian ide. Derrida memberikan ulasan literal terhadap pelbagai aspek budaya Barat. Dia tidak meletakkan kebenaran absolute yang disembunyikan oleh bahasa. Seperti semua pemikir postmodernis, ia menolak konsep ideologi.

Bilamana Derrida mengingkari bahwa ada dunia yang bisa diketahui di balik teks, maka Foucault melihat sebuah refleksi hubungan kekuasaan dari masyarakat dalam makna-makna tersembunyi yang diungkap melalui dekonstruksi. Para pemikir postmodernis berpendapat bahwa setiap meta wacana atau meta narasi akan melegitimasi kekuasaan dan penindasan politiknya. Rasionalitas Pencerahan (Englightment) mengungkapkan sejumlah meta wacana ini: liberalisme, Marxisme, fasisme, filsafat Hegelian, Darwinisme Sosial, dsb. Menurut mereka, tugas intelektual adalah mengkritik rasionalitas itu sendiri sehingga pelanggaran kekuasaan tidak terulang.

Postmodernisme memandang masalah “kekuasaan” (power) sebagai penindasan sosial yang merujuk pada pemikiran Nietzsche. Dia memandang bahwa perjuangan kelas hanyalah salah satu ekpresi dari perjuangan yang lebih mendasar di dalam masyarakat, yakni “will to power”. Foucault menolak untuk memberikan penilaian antara represi dan kekuasaan yang dilawan oleh gerakan sosial. Dia menolak menulis “sejarah” dan lebih memilih “geneologi”, misalnya kemajuan yang tidak mendorong kemajuan, hukum atau keharusan.

Namun, di dalam perspektif postmodernisme, ada kesepakatan umum, yakni kritik terhadap Marxisme. Secara mendasar, para pemikir postmodernis menolak kemungkinan mengetahui dunia obyektif. Ketika mereka memahami dunia sosial, semua menolak historisitasnya.

Setelah mengetahui substansi pemikiran postmodernis ini, kritik bisa dikemukakan dari materialisme dialektik. Materialisme dialektik sesungguhnya tidak bertolak dari filsafat pemikiran itu sendiri, tapi dari perkembangan ilmu alam dan sejarah masyarakat. Menurut Marx, Hegel adalah pemikir pertama yang mengungkap signifikansi dialektika sebagai sistem pemikiran dalam memahami realitas sosial dan alam. Namun, dialektika Hegel mengacu pada pikiran atau ide dari manusia abstrak. Dalam hal ini, Marx menegaskan bahwa dialektika itu sesungguhnya terdapat di dalam sejarah masyarakat dan alam, sementara dialektika pikiran itu sendiri adalah refleksi dari dialektika realitas itu sendiri. Lantaran Hegel tidak beralih dari bidang ide dan hanya memandang sejarah masyarakat sebagai realitas yang chaos, maka dia merefleksikan bahwa sejarah masyarakat ini sesungguhnya adalah dialektika ide: tesis—anti tesis, yang perkembangan diri dari ide absolut. Dengan demikian Hegel tidak pernah memikirkan hukum-hukum internal dari sejarah masyarakat itu, tapi menyelesaikannya sebagai perkembangan ide absolut.

Dengan mengakui dialektika dalam sejarah masyarakat dan alam, maka Marx mencoba mengungkap konsep-konsep materialis tentang sejarah sebagai kritik terhadap filsafat Hegelian dan kritik atas materialisme Feuerbach yang masih mengabstraksi manusia sebagai sosok individual. Materialisme historis inilah titik pembeda pendirian Marx dan Engels dengan idealisme Jerman dan idealisme secara umum.

Saya sudah mengungkapkan kritik panjang lebar di dalam buku saya (Materialisme Historis: Ilmu Sejarah Masyarakat) tentang persoalan pokok dalam postmodernisme, seperti idealisme Kantian yang ada didalamnya: das ding an sich, bahwa benda dan hal ihwal tidak bisa diketahui secara obyektif, dan masalah skriptualisme: memahami realitas dari teks saja dan sebagai masalah bahasa dalam linguistik dan semiotika.

Saya hanya akan mengungkap kritik lebih lanjut tentang skeptisisme terhadap realitas obyektif, misalnya hukum gerak yang nyata dan sudah ditemukan. Jutaan orang di dunia ini bepergian dengan pesawat udara. Pesawat ini digerakkan oleh mesin yang didasari hukum aerodinamika yang melawan gravitasi. Ilmu ini telah mengungkap hukum alam yang obyektif. Namun, para pemikir postmodernis yang tidak percaya pada kebenaran obyektif dan menganggap hukum-hukum ini hanya sebagai metafor yang tidak mengacu pada realitas sebenarnya, mungkin bisa berpikir bahwa metafor yang sama bisa didapatkan dalam puisi tentang bidadari yang terbang ke bulan. Akan tetapi, mereka hanya bisa terbang ke Amerika Serikat dengan menggunakan pesawat udara, bukan dengan impian tentang sayap bidadari itu.

Materialisme dialektik menentang skeptisisme terhadap fakta sejarah yang menunjukkan bahwa manusia sudah menguasai hukum alam dengan pengetahuan yang lebih akurat. Kemajuan kekuatan produksi dari zaman primitif sampai masyarakat sipil modern, berlangsung karena interaksi pikiran manusia, kesadaran dan dunia obyektif. Jika dunia obyektif ini tak bisa diketahui melalui panca indera yang berpusat di otak, maka kemajuan ini tidak akan pernah tercapai.

Namun, Althusser, sebelum penolakan postmodernis terhadap kebenaran obyektif ini, sudah mengkritik ilmu pengetahuan (science) yang menjadi pelayan dunia nyata. Ilmu harus dipisahkan dari bidang praktek sosial. Jika dunia nyata bukan titik pijak yang sah untuk menciptakan pengetahuan teoritis, kemudian apa itu ilmu? Menurut Althusser, ilmu hanyalah soal membaca (reading) dari ilmuwan yang dingin, jadi dalam ruang idealisme.

Althusser menyusun trik penting bagi seorang Marxis dalam memisahkan teori dari dunia nyata dan tidak memberikan panduan apapun tentang bagaimana teori diterapkan dalam praktek di dunia ini agar bisa mengubahnya. Pendek kata, dia kembali pada idealisme rasionalis yang memandang kebenaran sebagai serangkaian logika internal yang koheren di dalam praktek. Menurut Lacan, Althusser meminjam ide bahwa dunia nyata tidak bisa diketahui secara sadar sehingga orang terjerat dalam pemahaman imajinatif tentang dunia dan kedudukan mereka di dalamnya.

Althusser mencari materialisme historis non-Stalinis dengan menolak Hegel. Tidak seperti Marx, dia sesungguhnya tidak menolak idealisme Hegel, namun hanya menolak sejarah komprehensif dan sistemik dari Hegel. Dia akhirnya menghancurkan koherensi Marxisme: konsep materialis yang mendasar bahwa manusia yang sadar adalah sosok aktif dari perubahan sosial. Menurut hemat saya, pandangan Althusser memang a-historis dan kembali juga pada skriptualisme sebagai praktek ilmiah yang absolut, karena dia hanya mengusulkan pembacaan atas teks Marx, dan teks apapun sebenarnya. Pada titik ini, dia sesungguhnya pemikir transisional dari postmodernisme.

Akhirnya dari dua point kajian ini, saya menyimpulkan bahwa postmodernisme adalah perangkat ideologi dari seksi borjuasi Prancis, atau kreasi kapitalisme Prancis untuk melawan kebangkitan perjuangan kelas pekerja yang diminati kaum muda radikal dan berbasis pada “ilmu sosial klasik”: Marxisme. Selain itu, ia adalah pengingkaran dari elit Partai Komunis Prancis sendiri atas konsep-konsep dan pendirian revolusioner dalam Marxisme. Dalam siklus krisis kapitalisme, ia menjadi penghibur bagi kelas menengah: intelektual yang pro kapitalisme dan imperialisme dan mengabaikan bencana sosial dari krisis ini. Jadi, ia bisa menjadi alibi intelektual di tengah penindasan struktural kapitalisme.

Mengingat bukti sejarah bahwa Sosialisme Ilmiah telah memandu revolusi sosial dan pembebasan kelas-kelas tertindas di kawasan Asia, Amerika Latin, maka gerakan sosial di dunia ketiga dalam kondisi ekonomi-politik dan ilmu pengetahuan yang tak imbang dengan negara-negara imperialis, berkepentingan untuk bersandar kembali pada materialisme historis dan dialektika. Selama gerakan sosial masih terperangkap dalam idealisme, maka ia tidak akan pernah bisa memahami kondisi masyarakatnya dan konsekwensinya tidak pernah mampu mengajukan solusi bagi perjuangan revolusioner melawan kapitalisme dan imperialisme. Perangkap inilah yang secara tersembunyi dipasok dalam kesadaran ilmiah dengan mengingkari perspektif perjuangan kelas dalam sejarah masyarakat. Borjuasi dan kelas menengah di negara-negara imperialis tentu akan ketakutan melihat kebangkitan revolusioner dari masyarakat dunia ketiga, karena ini berarti menguras kekayaan yang dikeruknya dari sumber alam dan tenaga kerja dunia ketiga. Pendek kata, materialisme historis dan dialektika alam adalah ilmu yang bermanfaat bagi pembebasan manusia dalam kontradiksi internal dan eksternalnya. Ilmu sejarah manusia dan alam ini adalah resolusi konflik antara manusia dan alam serta antara sesama manusia–resolusi yang sejati dari perpecahan antara eksistensi dan hakekat kehidupan, antara obyektifikasi dan konfirmasi diri, antara kebebasan dan keharusan, antara individu dan spesies.

Selasa, 01 Maret 2011

SKP Kuliah ke - 5


Term of Reference (TOR)

Mengurai Nalar Postmodernisme dan
Nasib Masa Depan Gerakan Sosial

                                                                                                       

“Dalam ruang Postmodernisme yang multidimensional dan licin ini,
Segala sesuatunya bisa berlangsung sesukannya,
Seperti halnya permainan-permainan tanpa aturan”
(Suzy Gablik)


Telaah dan refleksi kajian yang mendalam tentang berbagai isu gerakan sosial menjadi penting untuk dilakukan terus-menerus. Apalagi terkait dengan fondasi utama perspeketif pemikiran yang penting dikembangkan. Setidaknya bisa memberi kontribusi pada kajian yang serius tentang kondisi dinamika gerakan sosial saat ini. Seiring dengan karakter perkembangan sosial yang tidak menetap dan berhenti, maka kajian tentangnya selalu akan menjadi bermanfaat. Telaah tersebut menjangkau tidak hanya berbagai praktik pengalaman yang berkembang dalam dunia gerakan sosial, tetapi mengembangakan sampai pada ranah terdalam upaya reflektif teoritis. Tentu dua dimensi ini penting untuk membaca berbagai fenomena keunikan, kekhususan, keragaman sampai pada prinsip-prinsip normatif keumuman yang diandaikan bisa berlaku universal.

Banyak dimensi tantangan yang cukup luas dalam setiap usaha untuk menggambarkan situasi dinamika gerakan sosial. Cita-cita meletakan prinsip pedoman kokoh untuk mengkaji berbagai nalar pandang teoritik gerakan tentu tugas yang tidak gampang. Dimensi kerumitan yang membentang dari berbagai domain partikular sampai prinsip-prinsip universal yang mempengaruhi membentang begitu luas. Ditambah bahwa konsistensi antara apa yang dipikirkan dan apa yang dipraktikan kadang sering menyisakan persoalan. Belum lagi eksplorasi tidak hanya berhenti pada apa yang eksis dan bisa diserap oleh pancaindera secara empiris. Problem gerakan sosial sering juga menyangkut persoalan penting mengenai relasi-relasi nilai yang lebih bersifat abstrak. Relasi-relasinya juga banyak menyentuh dunia batin subjek yang juga menyiratkan banyak fenomena yang rumit dari sekedar apa yang ditampakkan.

Tema menyangkut problem gerakan sosial menggambarkan situasi yang dinamis baik pada konjungtur historis yang berjalan atau dinamika ruang yang terbentuk. Perjalanan gerakan sosial kadang bukan hanya persoalan narasi perjalanan yang sifatnya linier. Kecenderungan dialektikanya kadang banyak melahirkan improvisasi, penyimpangan dan bahkan penyangkalan, entah ia buah atas nalar sengaja maupun konsekuensi setelahnya yang tidak disadari. Derivasi ‘praktik’ atas ‘teori’ kadang tidak sesederhana seperti halnya seorang desainer pakaian yang membuat desain untuk bentuk, ukuran, bahan dan motif karya baju rancangannya. Realitas sosial bergerak, berubah dan berkembang. Realitas sosial tak bersifat pejal yang bisa terumuskan secara mutlak, pasti dan definitif. Dalam sejarah teori-teori gerakan sosial, perdebatan peran perspektif, teori tau ideologi masih tetap menghangat hingga hari-hari ini. Tentu, perbedaan ragam interpretasi gerakan sampai pada tingkat praktik, tidak lepas dipengaruhi oleh berbagai cara pandang tersebut. Ia  adalah cermin gambaran tentang bagaimana manusia, masyarakat, dunia sosial dan bagaimana berbagai ranah kesadaran tersebut harus dibaca, dibentuk dan dipersepsikan.

Postmodernisme sebagai satu tema diskursus pengetahuan telah hadir menjadi perbincangan terus-menerus dikalangan intelektual Indonesia akhir-akhir ini tidak terkecuali tradisi pengetahuan kampus. Studi-studi tentangnya baik dalam aspek pemikiran dan imbasnya pada bidang-bidang disiplin khusus pengetahuan telah ramai diterapkan. Tidak jarang ia justru menjadi trend khusus terutama pada bidang-bidang yang dekat dan bersentuhan seperti ilmu komunikasi, seni, teknik dan budaya. Sebuah fitur pengetahuan yang menyedot banyak energi perdebatan tahun-tahun ini. Beberapa tulisan bahkan menyebut sebagai sebuah babak baru dalam perkembangan peradaban kontemporer. Perkembangannya seakan telah melampui diskusi-diskusi tentang modernisme dengan segala karakteristik kebudayaannya yang sebelumnya amat kencang. Riset serius bagaimana perkembangan pengetahuan ini bisa menjadi membudidaya dalam tradisi pengetahuan gerakan amat penting dilakukan. Sebagai hasil, tema diskusi ini tentu bisa menyumbang kontribusi berharga bagi penelusuran sejarah perkembangan tradisi pengetahuan, terutama dalam bangunan tradisi keilmuan di kampus.

Diam-diam nalar tradisi ini subur bertumbuh. Dalam beberapa kurikulum wajib di bidang, jurusan dan fakultas tertentu, pemikiran ini sudah diterapkan. Dengan akses tersediannya banyak buku, jurnal dan kajian literatur yang membahas tentang postmodernisme, dosen dan para mahasiswa lebih terbuka mendapat pembelajaran. Berbarengan dengan kian tidak diminatinya studi-studi ‘positivistik kuantitatif’ yang amat mekanis, terutama seiring mazhab pemikiran ‘developmentalisme’ yang sudah banyak ditinggalkan, tradisi riset dan pemikiran postmodernisme mulai dilirik menjadi satu alternatif yang penting. Bagaimana pengaruh mazhab tradisi pengetahuan ini dalam kontribusi bentuk dan pola gerakan sosial? Sebuah tugas yang sangat menantang yang secara khusus belum banyak disentuh dalam banyak tulisan tentang fenomena dan polemik postmodernisme. Peran tradisi keilmuan kampus tentu bukan satu-satunya yang bisa diklaim menjadi variabel pengaruh besar. Tetapi setidaknya jika saja bukan pada ruang kampus tradisi ini dominan dikembangkan, terus dari ruang epistemik apa saja ia bisa berkembang pesat saat ini?

Tentang penelusuran bagaimana postmodernisme berkembang di kampus, hanya sebagian maksud utama tema pendiskusian ini. lebih jauh itu, tema diskusi ini lebih memusatkan pada berbagai nalar dan dasar-dasar pemikiran yang terbangun dalam perspektif postmodernisme yang pada kenyataannya memberi sumbangan pada pola tradisi gerakan sosial saat ini dan berbagai diskursus yang dibangun. Pada hal yang pertama menyangkut wujud, pola dan kecenderungan bentuk pilihan praksis yang dikembangkan. Pada yang kedua lebih menyangkut kecenderungan-kecenderungan diskursus gerakan menyangkut tanggapan-tanggapan isu atau perdebatan wacana tematik tentang sebuah problem tertentu yang sering sering diperbincangkan.

Untuk capaian yang lebih penting, eksplorasi penelusuran transformasi pilihan model, pola, tradisi dan diskursus dominan yang dikembangkan gerakan tetap selalu akan diletakan pada refleksi besar bagaimana wajah dan arah ‘gerakan sosial’ saat ini harus dikemas. Pilihan ini tentu secara sadar dipilih bukan hanya sebagai eksploras deskriptif semata melainkan batu pijak untuk membangun nalar refleksi gerakan sosial lebih besar. Dalam premis dan tesis utamanya, gagasa kuliah kelima ini ingin memberi landasan keyakinan besar bahwa nalar pikir postmodernisme yang berkembang tidak semata bisa dilihat hanya sebagai ruang pilihan alternatif yang sifatnya netral. Sebagai wujud pemikiran dan situasi kondisi sistem budaya tertentu, postmodernisme dengan segala jargon penalarannya masih banyak mengandung problematik yang serius.

Secara defakto, sebagai nalar kebudayaan berpikir, postmodernisme tidak hadir secara tiba-tiba. Ada dasar nalar-nalar yang perlu dikaji dan dilihat. Klaim-klaim postmodernisme dalam menyusun janji babak baru bagi perkembangan lebih baik masyarakat menjadi isu penting yang harus dibongkar. Narasi-narasi penting yang dibangunnya perlu dicermati secara kritis. Masih banyak polemik yang mengemuka untuk merumuskan situasi postmodernisme. Baik pendukung maupun pengkritiknya memiliki titik argumentasi masing-masing. Parahnya, seringkali apa yang berkembang dalam kesadaran pengetahuan sehari hari tidaklah bertumbuh dengan baik. Pengertian yang tertangkap lebih hanya sekedar kulit luarnya yang masih penuh dengan jargon-jargon pengandaian. Bahayanya lagi, ia lalu hanya dikunyah-kunyah sedemikian rupa dan menjadi landasan prinsip pandangan yang digunakan untuk melegitimasi pilihan-pilihan tertentu dalam gerakan.  Di banyak hal lebih nampak hanya sebagai kemampuan bermain retorika ketimbang mengembangkan rigoritas argumentasi yang jernih dan bisa dipertanggungjawabkan.

Tugas dan niat penting dalam gagasan tema diskusi ini untuk menyingkap berbagai ilusi, kebohongan, kesalahan, dan premis pengandaian-pengandaian yang problematis, terutama dalam berbagai diskursus teoritik yang dikembangkan. Secara implisit pula pembongkaran ini sebagai cara pula untuk memberi catatan kritis pada situasi kecenderungan gerakan sosial  kontenporer saat ini. Tujuan utamanya tentu tidak jauh-jauh dari prinsip teoritik yang ingin dikembangkan, yakni untuk membangun kritik atas nalar postmodernisme sekaligus kritik yang dialamatkan untuk kelompok-kelompok gerakan yang terinflitrasi dalam nalar gagasan besar postmodernisme.

Secara sadar tentu gagasan ini juga menyadari bahwa korelasi pertalian ini tidaklah bisa dilihat secara seragam terutama menyangkut apa yang dimaknai sebagai pengaruh gaya dan nalar berpikir ini bagi gerakan. Pilihan terhadap prinsip-prinsip keyakinan postmodernisme bisa jadi tidak secara sadar karena pengaruh pembelajaran secara sadar yang dilakukan oleh para aktifis gerakan. Pertama, bisa jadi ia hanya bagian dari ekspresi pilihan yang terlahir dari frustasi atas kegagalan-kegagalan gerakan. Kedua, ia juga bisa  hanya bagian dari warna umum reaksi dari sebuah gaya kebudayaan lebih besar yang memberi determinasi pengaruh perubahan tersebut. Ketiga, tidak menuntup kemungkinan ada ruang-ruang paradoks, ambiguitas, ironi di antara berbagai praksis gerakan yang dijalankan. Memberi batasan terhadap korelasi ini tentu bukan pekerjaan yang mudah karena kenyataannya banyak yang tidak secara eksplisit mendeklarasikan diri dengan begitu saja atas pertimbangan pilihan perspektif gerakan dengan berbagai pertimbangan.

Kepentingan lebih besar dari cara penelusuran ini adalah bahwa catatan kritis terhadap gejala nalar pikir postmodernisme bisa diletakan juga sebagai ‘kritik epistemologis’. Sebuah tugas ilmiah dan sekaligus etis untuk memberikan berbagai kemungkinan kelemahan dan kesesatan yang ada dalam tubuh perspektif ini terutama pada gagasan-gagasan penting yang harus dibangun gerakan sosial ke depan. Jika meminjam aporia postmodrnisme tentang ‘pluralitas’ kebenaran, bisa jadi pula jauh untuk sampai membayangkan bahwa nalar pilihan itu memang didasari atas keyakinan teoritis pada semangat awal para pengagas postmodernisme. Ia mengembang dan bermetamorfosis pada kepentingan yang berbeda dengan cita-cita dasar awalnya.

Mengkaitkan ‘postmodrnisme’ dan ‘gerakan sosial’ jika dibaca secara harafiah semata seakan hanya menjadi sebuah kajian ambisius yang mengada-ada. Pertama tama tentu kedua entitas tersebut mengandung dua nalar yang tidak begitu saja mudah untuk dipertemukan. Tentu anggapan semacam ini bisa saja muncul ketika apa yang dibayangkan mengenai ‘gerakan sosial’ mengandung sebuah arti batasan tertentu. Ia masih digambarkan sebagi satu cara pengejowantahan dari bangunan atas cita-cita ideologi tertentu yang sudah fixed diperjuangkan. Gerakan sosial dalam pandangan umum ini selalu diasosiasikan sebagai bentuk tindakan kolektif kelompok atau komunitas tertentu yang dilandasi atas cita-cita bersama yang tetuang dalam grand kesepakatan dan perjuangan umum yang sebelumnya telah digariskan. Ia mempunyai dasar pijakan visi misi yang lebih formal dan tertutup dengan berbagai derivasi aturan organisasi yang ketat. Atas gambaran ini saja, gerakan sosial dimengerti dalam batas-batas garis gambaran yang jelas.

Dengan berbagai perbedaan, sebuah gerakan yang terrepresentasi semacam ini selalu mempunyai garis-garis prinsip ideologi dan visi-misi yang jelas. Lebih jauhnya, ia bisa dianggap sebagai proses terarah terutama sifat manajemen tindakan organisasi yang dibentuk. Sedangkan dalam prinsip yang berbeda, pengandaian unsur pluralitas, diferensiasi dan kerelatifan dalam memandang aspek kebenaran membuat postmodernisme jika harus ditempatkan sebagai pilihan sadar yang dipakai sebagai payung perspektif ideologi tentu masih rumit untuk dibayangkan. Dalam pengertian tertentu yang ada di awam, bentuk dasar dari gerakan sendiri tentu amat sulit jika meletakkan nalar postmodernisme di dalamnya. Terus apa yang sebenarnya jauh lebih penting kita lihat?

Problem di atas akan banyak memaksa pentingnya mendudukan perspektif dasar tentang pemahaman apa yang dimaksud ‘gerakan sosial’ sesungguhnya, walau secara definitif jadi terlihat mustahil untuk dirumuskan. Pertama, apa yang bisa lebih maju dilakukan adalah memotret berbagai gambaran umum melalui berbagai eksplorasi pengalaman tentang berbagai fenomena gerakan sosial yang sedikit banyak menjadi garis penerang dalam penjelasan dan pemaparan selanjutnya. Jika lebih memperkaya dalam pendalaman tentang gerakan maka jauh dari gambaran umum tersebut, kajian tentang gerakan sosial lebih banyak menjangkau pada berbagai warna, bemtuk, model, gaya, dan pilihan-pilihan tindakan kolektif yang lebih luas dikembangkan. Artinya tentang contoh-contoh kongkrit atas figure gerakan sosial untuk kepentingan ini tidak dibatasi hanya pada bentuk tunggal tertentu. Potret besar yang ingin didapat adalah gambaran umumnya. Diakhir gagasan tentu mau tidak mau perspektif para narasumber akan lebih nampak untuk mejadi tawaran yang bisa didiskusikan. Kedua yang relatif bisa terkaji untuk dimaksimalkan adalah bagaimana nalar pikiran dan diskursus yang berkembang yang tertuang dalam berbagai bentuk verbal wacana, narasi, opini atatupun sikap pandangan yang selama ini menjadi kecenderungan nalar dalam gerakan sosial. Klaim-klaim pandangan mereka apakah memang mempunyai karakteristik yang dimengerti sebagai nalar berpikir dalam keyakinan postmodernisme. Sebuah kemungkinan yang lebih bisa menjanjikan untuk dieksplorasi lebih dalam.




Jumat, 25 Februari 2011

SKP, kuliah ke-4 : "Modernitas dan Krisis Solidaritas Sosial"

“… We can’t always to build the future for our youth.
But, we can build our youth for the future"
(Franklin D. Rooseve,t)
                                          URGENSI MODERNITAS MASYARAKAT MADANI
                                                                          (Johanes Bidaya)
                                                         

 Menelusuri modernitas dalam sejarah peradaban hidup manusia bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun dalam perkembangannya, pembahasan mengenai modernitas kerap dipahami dalam pengertian yang ambivalen. Dimulai sejak munculnya akibat industrialisasi dan komersialisasi yang mampu membawa perubahan yang cukup berarti di Eropa pada abad kesembilan belas. negara-negara berkembang kemudian “berbondong-bondong” mengikuti jejak tersebut dengan upaya modernisasi di berbagai sendi kehidupan sosial masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya. Dalam hal ini, modernisasi menjadi suatu model (atau sekurangnya sebagai suatu standar) bagi perbandingan Negara di tempat lain.

Faktor terpenting modernitas adalah terjadinya perubahan dalam masyarakat. Begitu juga sebaliknya, modernitas tidak akan terjadi bila perubahan dalam masyarakat tidak terjadi. Demikian halnya Indonesia yang berada dalam proses transisi, modernisasi menjadi “apa” masih merupakan teka-teki. Disinilah letak kelemahan kita. Modernisasi bagi banyak orang seperti terbanting ke suatu lorong dengan kecepatan yang menakutkan tanpa mengetahui apa yang menunggunya di ujung lorong satunya. Modernisasi hanya terlihat sebatas kasat mata dengan wujud kemajuan IPTEK dan pembangunan disana-sini, tanpa memperhatikan implikasi lain dari proses modernisasi tersebut.

Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat tidak sama apa yang dialami negara-negara Dunia Ketiga yang justru menimbulkan dominasi peran negara dan degradasi ekologi. Vandana Shiva, dalam pandangan Ecofeminismenya mencoba untuk mendifinisikan ulang bagaimana masyarakat melihat produktivitas dan aktivitas perempuan dan alam yang keliru dan dianggap pasif. Salah satu penyebabnya adalah program-program pembangunan yang salah sasaran dan rusaknya regenerasi ekosistem. Dalam hal ini, pembangunan yang salah sasaran merupakan dominasi terhadap perempuan dan alam melalui budaya patriarki. Akibatnya masyarakat akan menjadi miskin dan sengsara karena produktivitas alam dan kemampuan untuk memperbaharui menjadi rusak. Hal ini terlihat dari maraknya pengalih fungsian lahan dari lahan pertanian menjadi lahan perumahan serta tidak tersedianya lahan terbuka hijau di daerah perkotaan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Selain itu, kesediaan bahan pangan akan semakin berkurang karena ketiadaan lahan. Perempuan di desa menjadi kehilangan akses pekerjaan karena degradasi alam yang memaksa mereka untuk merubah profesinya. Misalnya dari petani menjadi Ibu rumah tangga/ pengangguran.

Tentu saja, peristiwa ini bukan merupakan kejadian alamiah semata akan tetapi juga disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.

Adapun konsekuensi modernisasi yang menjadi perhatian kita adalah hilangnya kepribadian moral masyarakat (degragasi moral). Komunitas-komunitas yang umum kita kenal telah berubah bentuk. Semangat gotong-royong sirna oleh individual yang egois. Keanekaragaman menjadi sebuah penyeragaman. Masyarakat mencari bentuk baru bagi kesempurnaan, kepastian baru untuk menggantikan sesuatu yang dianggap telah hilang memalui perubahan. Sehingga konfrontasi yang menggembirakan di masa depan dengan mudah tergantikan oleh kecemasan mendalam. Dari sini, kita dapat mengetahui wajah baru modernisasi. Bukan hanya perubahan-perubahan institusional, melainkan lebih pada perubahan-perubahan kesadaran. Modernisasi tampak sebagai peralihan “dari” situasi yang lebih preimer, partisipatif, determinatif dan tertutup “ke” situasi yang lebih sekunder, distantif, kreatif, dan terbuka. Dalam pengertian ini, modernisasi dapat dipahami sebagai proses pembebasan, suatu proses yang bergerak menuju penyempurnaan.

Ketidakpastian adalah harga yang harus dibayar sebagai pertukaran masa lampau ke masa depan. Oleh karena itulah, masyarakat tersebut akan mengalami suasana yang berfluktasi antara perasaan yang menyenangkan dari adanya kebebasan baru serta harapan di masa depan dengan pandangan ketakutan, sinis, atau opurtunistis.

Dewasa ini, masyarakat madani sering kali terjebak dalam persoalan-persoalan modernisasi yang hanyut dalam arus globalisasi. Tak jarang, kearifan lokal menjadi tumbal bagi terciptanya modernitas suatu bangsa. Kita memang tidak sedang dihadapkan pada persoalan simpel apakah mau memilih menjadi tradisional atau modern. Sebab produk modernitas de facto, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup keseharian kita. Fastfood, Televisi, mobil, HP, mesin cuci, parabola, komputer hingga mainan anak-anak, telah menjadi kebutuhan masyarakat yang tak terelakkan. Kebutuhan sekunder atau tertier seakan terbalik menjadi kebutuhan primer. Inilah yang menjadikan masalah bertambah rumit. Di satu sisi, masyarakat tidak bisa mengelak dari serbuan modernitas, tetapi di sisi lain, ia juga tidak bisa melepaskan diri dari pelukan tradisi.

Sementara itu, sistem global tidak dapat dipisahkan dari sistem kapitalisme dunia yang memiliki titik tekan pada akomulasi modal, pengaruh dan keuntungan. Hegemoninya tidak terbatas pada sektor kehidupan aktivitas ekonomi masyarakat saja, tetapi juga merasuk kepada kehidupan sosial, budaya, pendidikan, informasi bahkan gaya hidup. Faktanya, hampir semua aktivitas sehari-hari dari kehidupan umat manusia sangat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global. Akibatnya, aktivitas sehari-hari kita merupakan aktivitas yang cepat berubah dan bersifat sesaat. Dinamisme aktivitas seperti ini menciptakan komoditasi kegiatan yang mencari hasil yang cepat dan instan. Jika tidak demikian, dianggap tidak kompatibel dan jauh dari “trend” zaman. Hal ini membuat manusia kehilangan sisi humanismenya. Dan siap mesin-mesin penghancur. Segalanya telah terkooptasi oleh kepentingan “nalar” kapitalistik pasar. Produksi dalam negeri menjadi hancur akibat persaingan kompetisi yang tidak netaral. Akibatnya, banyak buruh yang di PHK. Pengangguran meningakat berbarengan dengan maraknya kriminalitas dan tingginya angka kemiskinan. Krisis inilah yang menjadi ancaman atas mimpi modernitas. Dimana solidaritas sosial tidak lagi diperhitungkan.
Radar Bandung, Senin 31 Januari 2011, “..Nasib buruh batako di Kampung Warung Jati, Desa Ciptagumati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB) memprihatinkan..”. Pasalnya, selain minimnya upah ditambah tidak ada jaminan kesehatan. Salah seorang buruh batako, Iing,30, mengungkapan, sudah dua tahun bekerja, namun ia hanya mendapat upah yang minim. Pekerjaan yang tergolong berat ini tidak disertai dengan jaminan kesehatan. Tanggung jawab negara atas pelayanan kesehatan bagi warganya hanya tertulis di atas kertas.

Berangkat dari diskursus yang terjadi inilah kita dapat melihat bahwasanya modernitas bukan menjadi solusi jitu bagi pembangunan masyarakat menuju sejahtera. Kita dapat saja mengatakan bahwa saat ini kita sudah merasa menjadi bagian dari negara yang tergolong cukup modern. Akan tetapi, bila mau mengakuinya, kita ternyata belum siap untuk itu semua karena jarak antara si kaya dan si miskin ternyata cukup jauh. Kita hanya menjadi “korban” dari jargon modernitas untuk pembangunan ke arah yang lebih baik. Berbagai ketimpangan yang terjadi tersebut sangat berlawanan dengan tujuan dari terciptanya masyarakat madani (civil society).

Oleh karena itu, agar lebih mudah memahami modernitas secara mendalam, maka ada baiknya kita menjiwai 3 hal penting yang menjadi premis nilai utama bagi peran intelektual kolektif, antara lain:
 Pertama, yang modern itu seharusnya mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek. Dalam arti ini, orang modern memperhatikan soal hak-hak asasi, fungsi ilmu pengetahuan, otonomi pribadi, dan demokrasi.
 Kedua, yang modern itu harusnya kritis. Dalam arti ini, orang modern cenderung mengeliminir prasangka-prasangka dari tradisi, memiliki gairah untuk mengkaji penghayatan, dan mempersoalkan dimensi autoritas yang taken for granded.
 Ketiga, yang modern itu harus progresif. Dalam arti, mengadakan perubahan-perubahan secara kualitatif baru. Kemajuan ilmu pengetahhuan dan teknilogi, bentuk-bentuk organisasi sosial modern, kesadaran akan pentingnya transformasi sosial bahkan revolusi sosial adalah beberapa contohnya.
 Ketiga “jiwa” modernitas ini tidak bisa dipisah-pisahkan dalam realitas, karena kegiatannya berkorelasi secara inheren. Kesadaran dan memunculkan kritik dan kritik memunculkan progresifitas, dan sebagainya.

Daftar Referensi:

Benjamin R.Barber, 2003. Jihad vs Mac. Word, Globalisasi dan Tribalisme Dunia baru.

David E. Apter dalam “The Politics of Modernization” (diindonesiakan oleh: Hermawan Sulistyo dan Wardah hafidz, 1987, “Politik Modernisasi”), Jakarta: Gramedia 1987

Hardiman F. budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode, Penerbit Kanisius.

Soekanto, Soerjono, 1983 Pribadi dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Alumni-IKAPI.

Sinaga, Anicetus B. dkk, 2004, Etos dan Moalitas Politik : Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum, Yogyakarta : Kanisius.

Shiva, Vandana & Marie Mies, Ecofeminism, Perspektif Gerakan Perempuan & Lingkungan : Penerbit IRE Press, Yogyakarta ,2005).

http://www.radarbandung.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=57049











Rabu, 23 Februari 2011

Modernitas dan Krisis Solidaritas Sosial (SKP ke-4)


Senjakala Waktu Senggang*
Oleh: Muhammad Ridha

Manusia modern adalah manusia yang ‘tidak punya’ lagi waktu senggang. Seluruh waktunya habis tersita oleh kerja, mengejar bermacam-macam cita-cita absurd modernitas. Jam kerja yang padat membuat manusia menjadi seperti robot-robot yang dijalankan oleh mekanisme kerja kapitalisme. Waktu senggang yang kata Fransiscus Simon (2007;60) berisi kegiatan ‘berdiskusi tentang kebenaran dan upaya-upaya menjunjungnya; berefleksi tentang pelbagai gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang dan akan ada; berdistansi dan berabstraksi  dengan realitas yang digauli’ telah di ambang kepunahannya. Digerus, berkali-kali dan secara masif, oleh logika konsumsi.

Aristoteles pernah berharap agar  rakyatnya memiliki waktu senggang yang seluas-luasnya. Sebab katanya, meminjam Xenophon, “kerja menyita seluruh waktu dan dengan kerja orang tidak memiliki waktu luang untuk republik dan teman-temannya” (Paul Lafaurge;2008717-72). 

 Bisakah kita berharap itu saat ini? Berharap bahwa kemanusiaan kita tidak tercabik-cabik oleh kerja yang melulu mengejar dan bermimpi menggapai bermacam-macam, tetapi tidak pernah merasa mendapatkannya. Berharap agar setiap saat apa yang romantis dari sisi-sisi hidup ini bisa kembali dikenang, dinikmati atau bahkan kita rayakan sebagai sebuah perayaan kebebasan bagi manusia dari penjara kerja. Mengimpikan tentang berhentinya roda kapitalisme meraup dan terus melahap kapital dan mengorbankan kemanusiaan kita, para pekerja.  

Untuk menjawab pertanyaan ini, manusia modern yang dengan sengaja ‘diciptakan’ oleh kapitalisme untuk berpikir picik, akan dengan enteng menjawab: ‘di kota-kota sudah berderet mal, tempat kita berwaktu senggang secara bebas, secara terbuka!’ Manusia modern mempersilahkan kita ke mal. Tempat segala macam imajinasi manusia ada di sana. Walaupun perkenan ini dilihat secara kritis oleh Zygmunt Bauman (Celia Lury;1996;7) bahwa ‘semua komoditas (yang dipajang di gerai-gerai mal) mempunyai label harga yang melekat. Label harga ini menyeleksi tempat untuk konsumen potensial. Mereka tidak secara langsung menentukan keputusan konsumen yang memang perlahan-lahan akan diambil; hal itu tetap bebas. Tetapi mereka menetapkan batas antara realita dan kelayakan; batas yang tidak dapat dilampaui oleh konsumen. Di balik keseimbangan kesempatan yang dipromosikan dan diiklankan oleh pasar, tersembunyi praktek ketidak seimbangan konsumsi yaitu, berbagai tingkat perbedaan tajam dalam praktek kebebasan memilih’.

Masyarakat-Pelahap-Waktu senggang?

Sejak era sosiologi klasik, sosiolog Amerika, Torstein Veblen, menemukan kelas dalam masyarakat Amerika yang diberi nama ‘kelas waktu senggang’ dengan satu ciri mendasar; kelas yang ditandai dengan konsumsi yang berlebihan. Martin J Lee dalam bukunya Budaya Konsumen Terlahir Kembali (2006; ii) mengemukakan satu kelas masyarakat baru yang lahir dari haru biru proses kerja; masyarakat-pelahap-waktu senggang (leisure society). Masyarakat dengan means of consumtion (sarana konsumsi) baru (Baudrilard;2004). Apakah yang dimaksud kedua sosiolog ini seperti yang kita temukan sekarang di sekitar kita? Masyarakat seperti dalam data berikut dari sejumlah mal di Makassar:  Mal Ratu Indah yang dikunjungi 12000 orang perhari atau sama dengan sekitar 4,5 juta pertahun. Mal Panakukang dikunjungi 15 ribu orang perhari atau bila dikalikan, pertahun bisa melebihi 5 juta orang. Data ini menunjukkan angka jumlah pengunjung tahun 2006. Atau pengunjung mal GTC, misalnya pada tahun 2007 berjumlah 3.848.763. 

Bila benar inilah kelas waku senggang ini maka telah terjadi pergeseran makna waktu senggang. Dari sebuah hal yang produktif menjadi hal yang konsumtif. Telah lahir kelas yang berhasil mengekspresikan waktu senggangnya dengan terpaksa dan penuh tekanan. Dengan penghakiman biaya dan harga-harga di mal, dengan kekuatan media yang terus menyerbu bawah sadar kita untuk terus berbelanja, dengan berlimpahnya barang-barang produksi sampai ke dalam hal yang paling pribadi kemanusiaan kita.  

            Waktu senggang yang kita geluti saat ini adalah waktu sengang yang mahal, yang harus kita beli seharga diri kita di depan objek-objek konsumsi itu. Akhirnya waktu senggang, saat ini, hanyalah bagian lain dari konsumsi massal gila-gilaan. Konsumsi simbolik yang kita bayarkan demi sepotong harga yang akan didapatkan secara social. Hal ini menunjukkan bahwa waktu senggang pun sudah berubah menjadi kerja. Kata Baudrilard dalam Masyarakat Konsumsi (2004;203) ‘waktu adalah nilai tukar itu sendiri’. Dengan mengkonsumsi waktu senggang consumer ini sesungguhnya kita sedang bekerja dan berupaya meraih simbolitas diri. Kita mewakilkan diri kita kepada apa yang kita geluti (baca: konsumsi).

            Kapitalisme konsumen telah berhasil mencuri waktu senggang kita dan mengantinya (secara psikologis) dengan kerja simbolis. Pada titik inilah nampaknya waktu senggang bergeser menjadi konsumsi. Dan konsumsi memiliki biaya sendiri-sendiri. Dan biaya itu memiliki jerih payah kerjanya masing-masing. Akhirnya, bahkan, waktu senggang kita telah berubah menjadi kerja yang membosankan itu.

Kata Milan Kundera dalam novelnya Identity ada tiga jenis kebosanan: kebosanan pasif: gadis yang berdansa dan menguap itu; kebosanan aktif: para pecinta layangan itu; kebosanan yang memberontak: anak muda yang membakari mobil dan meremuk etalase toko. Kebosanan telah menimpa manusia-manusia modern atas kerja dan rutinitas yang materialis.

‘Bermalas-malasan’
Kalau begitu, mungkin tidaklah keliru kalau ada yang menganjurkan kita untuk malas. Sebab kerajinan kita bekerja telah melucuti banyak hal dari kemanusiaan kita.

Begini seruan klasik Paul Lafargue dalam sebuah buku kecilnya Hak Untuk Malas (2008; 5) untuk kita  ‘marilah kita malas dalam segala hal, kecuali untuk urusan cinta dan minum, kecuali untuk bermalas-malasan’. 

Mungkin ini teguran bagi kita yang terus menerus bekerja mengejar banyak hal, sambil terus kehilangan banyak hal yang juga sungguh penting; cinta dan  minum dalam waktu senggang kita! Bagi saya ini aspek hidup kita yang juga penting.

*Tulisan ini adalah catatan pengantar untuk diskusi Sekolah Kebudayaan PMKRI Solo yang dilaksanakan di Solo.Dengan judul yang berbeda, tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas.

Daftar Bacaan

Fransiscus Simon Kebudayaan dan Waktu Senggang (Yogyakarta; Jalasutra, 2007)
Paul Lafaurge Hak Untuk Malas (Yogyakarta; Jalasutra; 2008)
Celia Lury Buday Konsumen Jakarta; Gramedia, 1996)
Martin J Lee dalam bukunya Budaya Konsumen Terlahir Kembali (Yogyakarta; Kreasi Wacana; 2006)
Jean P Baudrilard dalam Masyarakat Konsumsi (Yogyakarta; Kreasi Wacana; 2004)