"Tujuan dari propaganda modern
adalah tidak lagi mengubah opini,
tetapi membangunkan sebuah kepercayaan yang aktif
terhadap mitos"

(Jacques Ellul)

Kamis, 27 Januari 2011

Menjual "Cinta" Mendulang Rupiah

Tor SKP 2011 Kuliah Ketiga

Menjual “Cinta” Mendulang Rupiah
(Komodifikasi Cinta dan Etika Moralitas Modern: Sebuah Kritik Kebudayaan)



“Karena ia mungkin dapat dicintai,
Tetapi bukan dipikirkan.
Dengan cinta ia dapat ditangkap dan dipegang,
Tetapi tidak dengan berpikir”
(The Cloud of Unknowing, Teks Mistik Abad Pertengahan)



Perbincangan dan pergulatan makna tentang ‘cinta’ tidak bisa dipungkiri menjadi problem kekhasan manusia. Sejak lama ia begitu mempengaruhi bukan hanya dalam perbincangan keseharian, tetapi ikut masuk dalam ranah pendalaman-pendalaman yang lebih filosofis. Pembicaraan tentangnya amat dekat dengan berbagai tema tentang kebijaksanaan, etika, moralitas, agama dan bahkan ideologi. Tidak salah perenungan terhadapnya menempatkan posisi amat khusus kecuali perbincangan-perbincangan pada dimensi yang lain seperti politik, ekonomi, maupun problem sosial yang lain.

Poin pada tema khusus ini, tidak sedang mau membincangkan definisi dan pengertian tentang ‘cinta’ dengan berbagai rumusannya. Konteks yang menjadi sangat penting adalah refleksi terhadap situasi hari-hari ini yang makin dipenuhi oleh maha besar problem kemanusiaan yang bisa dikatakan amat jauh dengan apa yang diharapkan oleh makna dan pengertian ‘cinta’. Masyarakat modern saat ini kembali berhadapan dengan krisis kemanusiaan yang begitu kompleks. Kohesifitas, solidaritas, kebersamaan, dan rasa berbagi, empati, kepedulian dan berbagai dimensi etika dan moralitas seakan sedang diuji oleh situasi arus besar kebudayaan yang makin berubah.

Ada situasi dekadensi yang luar biasa. Makna penghayatan tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’ bisa merealisasikan ujud ‘cinta kasih’ kemudian digusur sekedar sebagai persoalan ‘domestik privat’ yang makin mengering. Jikapun ia diangkat dalam perbincangan ‘publik’, masih sebatas hanya menjadi kosumsi terbatas. Keprihatinan ini makin bertambah, saat dominasi kebudayaan pasar meletakkannya menjadi sekedar ‘barang jualan’ untuk memenuhi nalar akumulasi profit. Fenomena ini tak kalah jauh dengan nasib berbagai ‘ritus sakral keagamaan’ yang begitu saja mudah disulap oleh logika pasar menjadi momentum untuk membangun kesempatan pasar. Ada gejala ‘komodifikasi’ tak hanya pada simbol-simbol material tetapi tetapi bahkan berbagai nilai, prinsip dan fundamental kebudayaan hidup manusia seperti ‘kebaikan’, ‘kebenaran’ ataupun ‘kebahagiaan’.

Tidak salah jika Jaques Derrida dalam bukunya: Given Time I : Counterfait Money (1992) pernah mengulas pergeseran makna ini. Apa yang ia contohkan adalah sikap ‘memberi’. Memberi yang merupakan ekspresi ‘kesalehan’, sikap ‘altruisme’ (kepedulian), dan bentuk perhatian pada orang lain berubah maknanya dalam ‘logika ekonomi’. Memberi sebagai nilai keutamaan berubah menjadi halnya sebuah transaksi ekonomi dengan nalar harapan imbalan yang diinginkan. Nasib yang sama juga menimpa pada makna ‘cinta kasih’. Apa yang hadir menjadi pemaknaan tidak lepas dari bagaimana sistem kebudayaan pasar melibatkan diri untuk mendefinisikan. Ia bisa menjadi tema yang sarat menjadi magnet keuntungan dan sekaligus penyeragaman gaya hidup.

Hampir tidak bisa dipungkiri bahwa tema tentang ‘cinta” beserta berbagai renik-reniknya merupakan daya pikat yang luar biasa bagi pasar bisnis apapun. Film, buku, musik, novel, drama maupun identitas modern saat ini selalu berharap pada magnet ini. Simbol-simbol yang disertakan juga diam-diam selalu membangun orientasi pada hukum nalar ekonomi. Meminjam pengertian dari Ella Shohat dan Robert Stam, bahwa kekuatan ‘kebudayaan pasar’ (baca: budaya korporasi) yang banyak dipompa oleh media tak lagi hanya menyetel agenda, tetapi mengubah hasrat, memory dan fantasy masyarakat.

Dalam disiplin nalar ekonomi ini maka ketulusan, kebajikan dan pengorbanan tak banyak mendapat tempat. Bahkan pada dimensi yang lebih luas kadang disebut sebagai sifat ‘kenaifan’. Semua kewajiban moral untuk mencintai sesama manusia menjadi butuh imbalan dan prasyarat pamrihnya. Di titik inilah menjadi penting untuk mengeksplorasi gejala pergeseran ini untuk melihat ke arah mana keadaban manusia berjalan sekaligus membaca kemungkinan etik moralitas yang mempu melampui berbagai degradasi ini. Jika kita sadar akan posisi krisis ini, meminjam kalimat Guy Debord, bagaimana kita akan bisa membangunkan tidur masyarakat modern yang telah lama larut dalam mimpi buruknya. Tentu kembali mendalamkan refleksi pada kerja-kerja pemikiran yang lebih kritis menjadi penting.

Tidak salah kiranya jika kita bisa menengok berbagai refleksi pemikiran yang begitu mendalam mengenai keutamaan ‘cinta’ dan diajak memahami ‘cinta’ dalam dimensinya yang lebih luas. Ini bagian cara juga untuk mengajak sejenak merenungkan keterbukaan akan realitas modernitas yang semakin membuat miris. Ia juga bisa menjaga kita dari kecenderungan untuk selalu ‘mengabsurdkan’ berbagai dimensi hidup kita saat ini. Taruhlah bahwa tema ini untuk menjadi dimensi etis untuk mengawal keadaban manusia sehingga tidak malah menjadi tempat subur bagi ‘homo homini lupus’ (manusia adalah srigala bagi manusia yang lain), tetapi bisa menjadi ruang penuh keutamaan yang menjadi fondasi bermakna. Harapan bahwa ‘homo homini flos’ (manusia adalah bunga bagi manusia lain) tidaklah hanya menjadi ilusi dan mimpi.

Kalimat perenungan yang pernah dilontarkan oleh Leibniz, bahwa ‘cinta’ adalah ‘delectatio in filicitate alterius” (kegembiraan karena kebahagiaan orang lain) menjadi salah satu iktiar yang amat berguna. Cinta adalah kebahagiaan dalam kebahagiaan dia yang dicintai. Hampir senada dengan secuil perenungan di atas, Robert Spaemann salah seorang pemikir etika dan moralitas melihat aspek yang amat mendasar pada keutamaan ‘cinta’.  Baginya, tempat asali bagi segala ‘moralitas’ adalah ‘cinta’. Ia melampaui kehendak diri egois dan kepentingan subjektif.  Mau terbuka mata bagi realitas di luar sana dan terutama juga bagi realitas ‘orang lain’. Dengan begitu mampu membuka dasar empati, kepedulian, solidaritas dan sekaligus kewajiban penuh untuk berbagi dan menolong orang lain.

Bukankah krisis masyarakat modern hari-hari ini tidak jauh dari kebalikan spirit mencintai itu. Apa yang diagungkan tak lagi kebersamaan dan empati tetapi pemberhalaan diri, sikap egois dan juga saling mengalahkan satu sama lain. Tidak hanya dalam dunia politik yang lebih vulgar menggambarkan bagiamana manusia dengan mudah menjadi pemangsa bagi yang lain, tetapi dalam keseharian kita dengan totalitas hidup yang makin terfragmentasi, terbelah dan teralienasi, manusia mulai menepi dan menghindar untuk mau sedikit waktu melibatkan diri untuk kebahagian orang lain.

Jika sudah menyadari itu, maka krisis tentang moralitas modern saat ini tak lain juga akan menghadapkan kita pada sebuah krisis tentang keutamaan cinta yang tak lagi menjadi elan dan energi bagi keadaban ini. Orang dengan mudah akan membenarkan diri bahwa sikap saling membunuh adalah hal yang biasa dalam lautan persoalan yang serba rumit. Padahal seperti yang pernah diungkapkan oleh Rene Girard bahwa “tidak mencintai sesama dan membunuh sesama itu adalah satu dan sama (Not to Love one’s brother and the kill him are the same thing”. Inilah poin penting untuk kita refleksikan dan diskusikan.


“Ubi amor, ibi oculus
(di mana ada cinta di situ ada mata)”
(Richard S. Victor)






Rabu, 26 Januari 2011

...dan Biarlah Cantik itu berbadan Gemuk, berkulit Hitam, dan berambut Keriting…


...dan Biarlah Cantik itu berbadan Gemuk,
berkulit Hitam, dan berambut Keriting…[1]
oleh: Haryanto Soedjatmiko, M.Hum.[2]

Pengantar


“…Seorang perempuan dengan rambut lurus, bertubuh tinggi-langsing, dan berkulit cerah sedang berjalan di tengah keramaian sebuah kota. Walaupun tak menyapa, dengan raut muka bersahabat dan senyum di bibirnya, ia nampak menyapa semua orang yang ia lewati. Uniknya, sikapnya ini mengundang perhatian setiap laki-laki yang ia jumpai. Bahkan satu per satu mata mereka tak bisa lepas mengamati tingkah lakunya yang menawan…”


Tentu saja, anda dapat melanjutkan kisah di atas. Lebih dari itu, dapatkah anda mengira cerita apa yang hendak saya gambarkan? Sebuah iklan sabun mandi.  

Setiap hari di televisi, iklan-iklan semacam ini pasti kita jumpai. Atau, di dalam hidup sehari-hari figur-figur perempuan semacam tersebut dapat kita temui di pasar, mall, universitas, kantor, toko, dan seterusnya. Pertanyaannya adalah mengapa perempuan seolah-olah dikondisikan demikian? Atau, percaya dirikah anda yang memiliki penampilan fisik belum “sempurna” sebagaimana digambarkan di atas? 

Tulisan ini tidak secara langsung hendak membicarakan tentang perempuan sebagai “korban mesin industri modern” atau sebaliknya tentang laki-laki metroseksual yang selalu memperhatikan penampilannya. Jauh dari itu semua, tulisan ini hendak mengetengahkan perihal kata POP pada generasi muda. Dalam arti tertentu, istilah “pop” itulah yang berdampak pada pemilihan benda-benda untuk memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya barulah dibicarakan tentang perempuan dalam amatan laki-laki. Adapun pembagiannya adalah 1) uraian singkat mengenai studi budaya, 2) kenyataan pasar dan kecantikan, dan 3) tanggapan kaum feminis. Tulisan ini akan diakhiri dengan penutup.

1.             Selayang Pandang Studi Budaya (Cultural Studies)

Apa itu Studi Budaya (Cultural Studies)? Di dalam Wikipedia disebutkan bahwa Cultural Studies (selanjutnya disingkat CS) adalah sebuah bidang akademis yang mengkombinasikan ekonomi politik, komunikasi, sosiologi, teori sosial, teori sastra, teori media, studi film, antropologi budaya, filsafat, studi purbakala, dan kritik seni atau kritik sejarah untuk mendalami fenomena budaya di dalam pelbagai masyarakat. Lebih jauh, para peneliti CS seringkali memusatkan perhatian tentang bagaimana sebuah fenomena partikular terkait secara ideologi, rasa kebangsaan, etnis, kelas sosial, dan atau gender.

   Ziauddin Sardar, di dalam Introducing Cultural Studies, menguraikan 5 karakteristik utama CS sebagai berikut[3]:

a.     CS menyelidiki subjek persoalan di dalam kerangka praktik budaya dan kaitannya dengan kekuasaan.
b.    CS memiliki kerangka obyektif untuk memahami budaya beserta segala hal yang bersifat kompleks sekaligus menganalisa konteks sosial dan politik yang mana sebuah budaya termanifestasi.
c.    CS berperan baik sebagai obyek studi sekaligus sebagai tempat melakukan kritik yang bersifat politis dan aksi.
d.   CS berusaha untuk menampilkan pembagian pengetahuan, untuk melampaui pemisahan di antara pengetahuan subyektif budaya dan bentuk obyektif (universal) pengetahuan.
e.    Akhirnya, CS memiliki sebuah komitmen untuk melakukan evaluasi etis terhadap masyarakat modern dan untuk aksi politis.

Lebih jauh, CS menolak adanya programatisasi, yakni menyodorkan sebuah metodologi yang definitif dan sebuah topik-topik kritis yang telah terpilah-pilah. CS juga menolak adanya kanonisasi (pengakuan) produk-produk kebudayaan. Bagi CS, yang ada hanyalah heterogenitas dari geliat budaya. Dalam konteks CS, pengertian budaya diperluas. Budaya dan kebudayaan tidaklah sama dengan apa yang dimengerti sebagai budaya luhur atau apa yang diakui oleh para filsuf dalam kanon yang dibuatnya. Namun, budaya terlebih merupakan setiap aktivitas ekspresif manusia yang memberi sumbangan bagi terjadinya pembelajaran sosial.[4] Oleh karena itu, CS bisa dikatakan menyumbang baik wacana refleksi diri dalam era postpositivis dan juga terlibat dalam sebuah usaha metakanonisasi.[5]
 
Perluasan pengertian kebudayaan ini didorong oleh terjadinya persebaran transformasi dan teknologi informasi setelah PD II, di mana persebaran itu telah mempengaruhi generasi baby boomer sebagai produsen dan konsumen kebudayaan sekaligus.[6] Mereka adalah generasi televisi yang mendapat pembentukan karakter kebudayaannya dari tontonan yang ada. Media elektronik seperti TV telah menglobal dan membentuk apa yang dikatakan oleh McLuhan sebagai global village.
 
Ben Agger sendiri menerima CS sebagai sebuah aktivitas teori kritis yang secara langsung menandai pesan-pesan hegemonisasi dari budaya industri yang terbentang dalam berbagai aspek kehidupan. Di dalam usaha analisis tehadap kebudayaan pop, CS dipahami sebagai terminologi teknis yang digunakan untuk memberi legitimasi atas kekaguman mereka terhadap budaya massa; dengannya kita memberi atoritas akademik pada kebudayaan pop.[7] Dengan kata lain, mereka yang mengembangkan CS adalah mereka yang tumbuh dalam generasi baby boom.

2.             Budaya Pop sebagai Salah Satu Kajian Studi Budaya

Sebagai salah satu kajian studi budaya, di dalam Wikipedia, budaya pop (pop culture) didefinisikan sebagai keseluruhan ide, perspektif, perilaku, imaji, dan fenomena lain yang merupakan kesepakatan informal dari mainstream budaya tertentu. Budaya ini amat dipengaruhi oleh media massa (sedikitnya sejak awal abad ke-20) dan selanjutnya menjadi bahasa dalam hidup sehari-hari masyarakat.

Budaya pop juga tidak dapat dilepaskan dengan hadirnya ikon pop, yaitu para selebritis yang menjadi terkenal dan menjadi ciri khas pada masa dan waktu tertentu. Misalnya : lagu “tak gendong” dan “bangun lagi tidur lagi” dari almarhum Mbah Surip. Kehadiran Mbah Surip dalam waktu sekejab telah mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat. Salah satu bukti adalah dengan membanjirnya pesanan ringtone lagu tersebut pada provider-provider telepon seluler di Indonesia. Dapat dibayangkan bila biaya download adalah sekitar 2000 rupiah dan diakses 500 sehari (= 1 juta rupiah) dan dikalikan sebulan, misalnya. Ini baru dari 1 provider saja. Tentu saja, daya tahan sebuah ikon di masyarakat amat dipengaruhi dengan faktor-faktor lain (pemasaran, pengelolaan talenta, dan seterusnya). Tak ketinggalan daya serap dari masyarakat itu sendiri. Figur kesuksesan mbah Surip terletak pada penggambaran masyarakat yang lelah dengan macam-macam berita media massa. “Tak gendong ke mana-mana” ternyata memuat banyak arti.

Sebagai generasi baby boom, pengalaman hidup kita dibentuk oleh media. Maka, dalam ranah yang lebih dalam dapat dikatakan bahwa kita adalah budaya pop. Kita mengidentifikasikan diri tidak hanya pada peristiwa-peristiwa pada segenerasi, tetapi juga pada produksi dan pencerapan kita terhadap peristiwa-peristiwa segenerasi lewat media-media kultural seperti televisi. Generasi yang tumbuh dalam era televisi adalah generasi baby boom dalam kurun 1960an dan 1970an. Oleh karena itu, CS adalah sebuah fenomena baby boom. Generasi tersebut mengenali apa yang terjadi dalam percaturan sejarah yang sebenarnya. Sejarah yang mereka amati adalah mengenai dirinya sendiri. Generasi tersebut memahami sejarah sebagai simulasi (Baudrillard); dimana sebagai simulasi sejarah dapat dimanipulasi oleh mereka yang menginginkannya berubah.

   Dalam generasi televisinisasi tersebut, pemirsa secara potensial juga merupakan pencipta-pencipta kebudayaan dan subjek sejarah. Bagi kalangan New Left, mereka menyadari adanya daya fomatif dan transformatif dari media.[8] Oleh karenanya, mereka menyadari bahwa budaya adalah praktek yakni sebuah kemampuan untuk membuka sejarah dan menolak apa yang melulu diterima sebagai dorongan-dorongan kultural. Budaya sebagai praktek oleh CS  dianalisa dalam jalinan antara konsumen dan produsen.

   Pengikut CS sendiri merupakan percabangan dari Hoggart yang memfokuskan analisanya pada wacana kelas pekerja, budaya dan perspektif sosial, teori neo-Marxis mengenai kebudayaan, dan pendekatan kebudayaan feminis. Dengan demikian, budaya adalah wilayah perseteruan dan konflik atas makna. CS tidak berbicara atas satu versi kebudayaan. Perspektif semacam itu dipengaruhi oleh ide Gramsci mengenai hegemoni dan kontra hegemoni. Hegemoni, bagi Gramsci, adalah sebuah jalan di mana dominasi tidak dihasilkan di luar lingkup hidup harian, lewat struktur-struktur kapitalisme tetapi juga dihasilkan dari lingkup hidup harian itu sendiri di mana orang-orang membiarkan nasibnya dalam suatu subordinasi abadi. Sedangkan neo Gramscian menekankan sarana-sarana dialektis dari kebudayaan yakni tendensinya berbagai konflik kebudayaan berhadapan dengan perubahan politik yang sesungguhnya. Maka dari itu, CS menekankan bahwa kebudayaan merupakan konflik atas pemaknaan mengenai bagaimana menyerahkan nilai dari eksistensi, ekspresi, dan pengalaman manusia. Dialektika yang terjadi dalam konflik tersebut adalah antara kultur hegemonik yang mencoba mendefinisikan kebudayaan dari atas ke bawah (top-down). Kultur hegemonik sendiri melandaskan diri pada sistem kepemilikan pribadi bagi terciptanya legitimasi, produktivitas, dan konsumerisme. Anti tesis atas hegemoni tersebut adalah budaya anti hegemoni (konter hegemonik) yang menolak segala pendifinisian tersebut dan menggantinya dengan formulasi alternatif mengenai hidup yang baik.

   Hal lain yang melekat pada CS adalah pelebaran dan pembidikan pada bentuk ekspresi dan pengalaman yang metatekstual. Hal tersebut tidak lepas dari pelebaran pemahaman dari kebudayaan di atas. Dengan demikian CS  mempunyai fungsi untuk menyebarkan (decenter) pemaknaan dan praktek kultural. Hal itu berarti juga menyebarkan/memperluas legitimasi kultural dalam sebuah gerak/cara yang menantang secara mendasar bagi keberadaan elitisme. Kecondongan decentering (penyebaran) ini berbau dua hal. Ada yang menghendaki desenterisasi budaya dengan maksud politis; namun ada pula yang menghendaki  desenterisasi  itu melulu pada perluasan pengakuan kultural. Selain target densenterisasi adapula bidikan untuk terjadinya ‘dekanonisasi’. Hal itu menjadi target CS  yang berakar pada metode dekonstruksi. Usaha yang dilakukan adalah memunculkan suara-suara alternatif dan berbagi versi alternatif yang berbeda dengan penetapan nilai-nilai tadisional.

   Dekanonisasi memungkinkan CS  untuk memperlakuan kebudayaan pop sebagai sumber-sumber bagi dorongon-dorongan emansipatoris. Kebudayaan memiliki kesamaan dengan populis, sebuah nilai penting dan positif dalam lingkaran pengikut Derrida dan New Left. Gagasan populisme ini menjadi pegangan untuk melawan kecondongan elitisme dan ‘mandarinisme’ pada Sekolah Frankfurt.

3.             Figur Pop dalam Amatan Generasi Baby Boomers

Sembari melihat fenomena yang kita saksikan setiap hari dalam media, pertanyaannya sekarang adalah milik siapakah negara Indonesia? Tentu saja milik kita bersama yang mengaku diri sebagai penduduk yang berdomisili di dalamnya. Tetapi, seberapa jauh rasa memiliki (sense of belonging) itu mau dibuktikan? Di sini saya hendak mengatakan bahwa ada sebuah paradoks identitas bangsa yang mungkin kurang kita sadari. Mari kita ambil beberapa contoh konkret. Misalnya: terhadap penggunaan produk-produk dalam negeri. Dalam dunia hiburan, kita cenderung untuk mendengarkan musik Barat daripada musik daerah. Tentu saja argumen ini dapat dikritisi bila melihat maraknya pemusik-pemusik dan artis-artis dari tanah air. Atau juga bila kita lebih memilih menggunakan merek-merek pakaian ternama (Armani, Versace) daripada menggunakan busana hasil desain lokal. Bahkan lebih nyaman untuk berbahasa keinggris-inggrisan daripada hanya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Semua mengarah kepada satu hal, yaitu menambah kepercayaan diri. Dengan demikian, semakin seseorang mampu mengikuti perkembangan dunia Barat (dalam bentuk apapun) semakin ia dikatakan manusia yang tidak ketinggalan jaman. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memiliki latar belakang kurang mampu mengikuti kemajuan-kemajuan itu? Apakah ia masih dapat dikatakan orang Indonesia? Inilah paradoksnya. Tidak salah bila secara ekstrem dikatakan bila Indonesia hanya milik orang-orang tertentu saja. 

Apa yang membuat orang muda lebih memilih “yang kebarat-baratan”? Banyak hal. Dalam konteks Indonesia, kita dapat memulainya dengan rasa bosan terhadap situasi politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan negara yang sepertinya terus mengumandangkan kidung kesedihan. Lebih baik ndengerin musik MTV ketimbang ndengerin berita-berita penggusuran dan rasionalisasi politik yang disampaikan para pelaku dari dinas sosial. Lebih baik nonton film Holywood daripada ngikutin laporan perkembangan daerah yang mampu menghasilkan beras empat kali setahun dengan permainan harga dari para tengkulak, dst.  

Demikian pula dengan perihal Nasionalisme generasi muda saat ini. Mendingan jalan ke mal sambil ngecengin cewek daripada ikutan upacara 17 Agustus di sekolah nyang ngebetein. Beberapa harian surat kabar ibukota beberapa kali pernah menerbitkan artikel yang “meletakkan orang muda (baca: remaja)” (secara khusus yang tinggal di kota-kota besar) dengan budaya konsumtif. Misalnya, cerita bagaimana beberapa remaja Jakarta yang duduk di kelas III Sekolah Menengah Umum (SMU) selain mempersiapkan ujian akhir, masuk perguruan tinggi, atau bersiap-siap mencari kerja juga “heboh” dengan persiapan pesta perpisahan (yang juga disebut promnite). Hotel-hotel berbintang lima, gaun pesta, aksesoris, dan penata rias terkenal  menjadi salah satu bentuk dari pelaksanaan promnite. Remaja dengan mudah menjadi sasaran persuasi produk kebudayaan pop oleh karena meski sering diasumsikan sebagai belum berpenghasilan dan berdaya beli namun mereka mampu merengek kepada orang tua. Dalam dunia televisi, kita juga melihat maraknya sinetron yang mengangkat dunia remaja. Bahkan beberapa film Indonesia yang dikatakan sukses besar juga menampilkan gaya hidup remaja kelas atas yang wah. Faktor pencarian identitas diri di satu sisi (psikologis) yang dikaitkan dengan “hujan iklan” dan tawaran mengenai figur “manusia ideal” (misalnya: yang putih, yang berambut panjang dan lurus) pada sisi lain akhirnya hanya menguntungkan bagi pihak yang bekerja di dalam dunia media.
  

4.             Pasar dan Industri Kecantikan


Cantik, bagi setiap perempuan, barangkali adalah hasrat di zaman ini. Setiap saat televisi, radio, papan reklame, omongan dari mulut ke mulut, terus mempropagandakan pentingnya cantik. Ratusan variasi produk kecantikan, dari yang berbahan alami, berbahan kimia, sampai yang bersifat teknologis dan dari yang legal sampai yang ilegal, terus diproduksi dan diserbu-diburu oleh para perempuan. Puluhan salon, pusat-pusat kecantikan dan pusat-pusat kebugaran dibuka hampir di setiap kota. Setiap perempuan tampak saling berlomba-lomba mengejar kecantikan, menjadi cantik. 

Dalam pemenuhan hasrat cantik ini, tubuh perempuan menjadi titik sentral, menjadi pusat kebudayaan (kapitalisme). Tubuh menjadi titik sentral dari mesin produksi, distribusi, dan konsumsi kapitalisme. Tubuh diproduksi sebagai komoditi dengan mengeksplorasi hasrat cantik. Tubuh juga dijadikan sebagai metakomoditi yaitu komoditi untuk menjual komoditi yang lain (cover girl). Tubuh juga mempunyai peran sentral dalam sistem distribusi, yaitu sebagai pendamping komoditi (promo girl). 

Yang terjadi dalam derasnya proses produksi, distribusi dan konsumsi tersebut adalah euforia kecantikan, yaitu permainan citra, citra yang mendekat dan membesar ke arah perempuan dengan kecepatan tinggi, dan dalam sekejap menjauh serta menghilang, kemudian muncul lagi, menghilang, muncul lagi dan seterusnya. Hal ini tampak dalam ideal atau model-model yang dijadikan kiblat atau ikon kecantikan (dalam rentang yang pendek). Kalau kita melihatnya dalam era sejarah (historical phase) mulai dari masa kerajaan nusantara, kolonialisme, kemerdekaan, sampai era globalisasi ini, kita melihat perubahan yang terus terjadi.  

Industri kecantikan telah menempatkan menjadi salah satu industri terbesar abad ini dengan jumlah keuntungan luar biasa. Ia bisa meluas dan meliputi dari bisnis obat-obatan, kosmetik, sarana kebugaran, salon-salon kecantikan, bisnis perawatan tubuh, konsultasi kesehatan, industri fashion sampai dengan bisnis gaya hidup yang lain. Apa yang disasar darinya adalah untuk meletakkan ‘kecantikan’ yang mampu disulap menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Tentu bukan sesuatu yang tiba-tiba bahwa ‘kecantikan’ tampil menjadi sumber bisnis dan pengeruk keuntungan yang fantastis. Tentu ada sejarah dan proses perkembangan yang amat kompleks yang bisa ditelusuri, sebagaimana konsep tentang ‘kecantikan’ yang juga turut berubah sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat. Apalagi apa yang dimaksudkan dengan  konsep ‘cantik’ masing-masing konteks budaya, wilayah, daerah dan juga negara mempunyai katagori-katagori nilai yang berbeda. Konsep cantik pada dasarnya berlebur dengan interaksi dengan nilai-nilai yang lain dalam masyarakat yang khas.

Di tangan kuasa industri pasar, ada kecenderungan untuk melakukan penyeragaman selera atas apa yang disebut dengan ‘cantik’. Di beberapa perkembangan kontes kecantikan misalnya, katagorisasi penyeragaman ini diperlihatkan dengan berbagai batasan-batasan nilai yang harus dipatuhi oleh siapa saja yang masuk dalam ajang kompetisi tersebut. Apa yang dibayangkan dengan ‘yang cantik’ kemudian tergantung oleh siapa yang ‘berkuasa’ dan memegang otoritas dominan untuk mampu membangun konstruksi nilai tersebut. Jika saja ‘kecantikan’ tidak ada relasinya dengan seluruh interaksi dan relasi kekuasaan kebudayaan pasar ini, maka  pasar tentu tidak akan perlu repot-repot untuk menangkapnya sebagai peluang komoditas yang menggiurkan.

Representasi dan pencitraan tentang apa yang disebut ‘cantik’ dengan berbagai pengkatagoriannya adalah bagian cara membentuk kesadaran kebudayaan yang kemudian bisa dinobatkan menjadi sesuatu yang sah dan benar dalam kesadaran umum masyarakat. Dalam pragmatisme pasar, kesadaran kebudayaan menjadi modal penting untuk mempengaruhi psikologi pasar. Kebutuhan untuk memburu apa yang disebut sebagai ‘cantik’ dibangkitkan melalui berbagai diskursus yang ditujukan kepada massa. Tentu sebagai makna, ia tidak bisa melepaskan dengan relasi abriter makna yang lain. Lihat saja bagaimana cantik tiba-tiba bisa dikaitkan dengan nilai-nilai baru modern misal berkait dengan kepuasan diri, adaptasi jaman, kesehatan, kehormatan dan sekaligus kekuasaan. Yang tertinggal dan tidak berhasil mendapatkan apa yang bisa mencitrakan diri dengan ‘yang cantik’, tiba-tiba ia bisa merasa tidak terhormat, ketinggalan jaman, tidak modern, atau bahkan kehilangan rasa kepercayaan diri. Ketika masyarakat menginternalisasi nilai ini sebagai nilai kebudayaan yang harus diikuti maka disanalah industri kecantikan mendapat lahan suburnya.

   Sebagai entitas gaya hidup, penciptaan kebutuhan untuk mempercantik diri tidak hanya ditujukan pada hak esklusif seseorang seperti halnya kaum perempuan bangsawan jaman aristokrasi lama. Jika demikian, ia tidak akan meluas menjadi kesadaran gaya hidup massa. Pandangan kebudayaan tentang ‘kecantikan’ tentu saja diarahkan kepada semua saja dengan segala usia dan lapisan sosial yang ada. Seperti halnya kekuasaan pasar yang makin meluas dan sanggup menjangkau kebutuhan-kebutuhan subtil masyarakat, disiplin tubuh kecantikan ini memang semakin diperluas sasarannya. Dengan begitu maka diferensiasi keuntungannya makin bisa diperluas.

Kecantikan perempuan pada masa kerajaan nusantara dikonstruksi dan dikuasai kerajaan dan bentuknya atau ikon kecantikannya adalah putri kerajaan yang memiliki postur tubuh yang padat berisi (semok), kulit kuning langsat, rambut hitam nan panjang. Pada masa kolonial konstruksi kecantikan mulai bergeser menjadi cantik yang kebarat-baratan, terutama perempuan Indo, yang berkulit putih, berambut pirang, berpostur tubuh tinggi semampai. Pada masa kemerdekaan konstruksi ini sedikit dipertanyakan terutama oleh Soekarno. 

Namun pada era globalisasi sekarang, permainan citra menjadi titik pusat kecantikan dan sepertinya ’diterima’ dengan kegembiraan yang penuh (jouissance). Dalam menggambarkan era ini, Martin Heidegger berkata sinis-tragis: ”Dipasung ke dalam citra (tersebut) dan teralienasi dari diri kita sendiri. Bila kia secara total menjadi teridentifikasi dengan citra, kita telah dilucuti (dari diri kita sendiri); kita kini menjadi milik sang lain (other). Citra mengaburkan kapasitas kita bagi eksistensi yang otentik, subjektivitas yang sejati, yang benar bagi kita sendiri.”

5.             Cultural Studies dalam Kerangka Feminisme
  
Berikut ini akan disampaikan aspek feminisme yang berkaitan dengan CS. Pertama adalah proyek kritis dari para feminis. Proyek kritis dari para feminis dimaksudkan untuk mengekspos hegemoni laki-laki dalam kebudayaan. Maksud lain yang tak kalah penting adalah untuk memberi ruang bagi perempuan untuk membentuk dan membangun budayanya. Menyangkut CS, CS dari feminisme  cukup matap dan layak diterima sebagai sebuah teori kebudayaan. Sebagian besar para teoris kebudayaan feminis  mempercayai bahwa kritisisme feminis dapat dikatakan cukup sui generis. Yang menjadi ciri dari proyek kritis dari feminisme adalah untuk menangkis serangan dari luar, khususnya Marxisme maskulin yang mencoba untuk membuat pembatasan diri, isolasi diri dari kritisisme kaum feminis. Sasaran yang hendak dicapai oleh proyek kritis dari feminisme adalah untuk membalikkan hegemoni budaya laki-laki dan untuk membuat perempuan berdaya. Maksud lain adalah  memampukan perempuan untuk menampilkan identitas dan menyuarakan dirinya. Hal yang tak kalah penting adalah melibatkan perempuan untuk memberi apresiasi positif pada karya, tulisan, lukisan yang dihasilkan oleh perempuan di mana karya-karya itu sudah lama diabaikan dan luput dari apresiasi kritis yang berpusat pada kaum laki-laki. Lewat kritik kesusasteran dan karya-karya sastra kaum feminis, usaha representasi perempuan dalam kebudayaan semakin terbuka lebar. Representasi perempuan begitu sulit dilakukan selama hegemoni patriarkal masih kuat. Maka hegemoni atau budaya patriarkal perlu didobrak dengan kritik kesusasteraan dan karya-karya sastra kaum feminis.

   Kedua adalah mengenai kanonisasi perempuan. Kritik kesusasteraan kaum feminis membidik dua hal yakni bermaksud untuk menunjukkan absennya penulis, pembaca, suara dan pengalaman perempuan dalam kanon resmi kesusteraan dan kebudayaan laki-laki. Yang kedua adalah bermaksud untuk mengungkap adanya representasi seksis atas perempuan dalam kesusasteraan dan kebudayaan. Kritisisme budaya kaum feminis mengkanonisasikan perempuan dengan mendekonstruksi kanon kebudayaan dan kesusasteraan yang telah mantap dibangun kaum laki-laki. Dekonstruksi terhadap kanon resmi ini bertujuan untuk merobohkan bangunan tersebut. Dengan demikian perempuan memiliki tempat yang sama dalam dominasi kanon. Dekonstruksi kanon menunjukkan bahwa perempuan juga menghasilkan produk kesusasteraan dan karya budaya yang tak kalah penting; dan hasil karya dari para perempuan itu layak untuk dikaji. Upaya untuk memberi tempat bagi perempuan dalam kanon menekankan dua hal yakni yang positif dan yang negatif. Yang positif adalah upaya menyakinkan bahwa perempuan adalah para penulis yang handal dan memiliki perspektif yang distingtif mengenai dunia. Yang negatif adalah untuk membuka kedok kepalsuan seolah hanya kaum laki-lakilah pahlawan dalam hal penulisan dan kebudayaan. Dengan demikian kritisisme feminis membuka peluang bagi kanonisasi atau pengakuan terhadap perempuan serta penulisan kembali sejarah. Namun, mereka tidak melupakan bahwa kononisasi adalah praktek patriarkal yang memberi peluang bagi kaum laki-laki untuk selalu berdialog dan membangun dialog.

   Bidikan lain dari kritisisme budaya kaum feminis adalah untuk melucuti (decenter) laki-laki dari dominasinya atas kanon-kanon dan genre-genre yang resmi.[9] Itu berarti mempersalahkan terjadinya pengabaian (ommision) perempuan dalam konon dan kritisisme yang dilakukan oleh kaum laki sebagai ‘mereka yang berbicara atas nama perempuan’ . Sebagai corong suara perempuan, kaum laki-laki mengklaim diri sebagai subjek universal dari sejarah dunia.[10] Poststrukturalisme yang mengusung ide dekonstruksi memungkinkan terjadinya dikonstruksi atas klaim universalitas laki-laki sebagai subjek sejarah. Posisi kaum laki-laki didekonstruksi sebagai melulu posisi manusia parsial dengan kepentingan-kepentingannya yang partikular. Kepentingan partikular dari kaum laki-laki adalah untuk mempertahankan hegemoninya atas perempuan. ‘Laki-laki’ adalah suara khusus dari manusia, sebagaimana ‘Kebenaran’ adalah kebenaran partikular dari mereka memegang kekuasaan dan menciptakan pengetahuan yang diakui.[11] Oleh karena itu adalah tugas kritisisme kaum feminis untuk melucuti (decenter) klaim bahwa laki-laki dapat berbicara atas dan bagi siapa saja. Kanonisasi perempuan oleh karenannya mengikut sertakan gugatan dan pertanyaan mengenai budaya androsentrik. Kritik kaum feminisme pada taraf pengertian tertentu berupaya untuk merespon ketersembunyian budaya yang berpusat pada kaum laki. Hal itu dilakukan dengan mempermasalahkan dan mempertanyakan cara-cara kaum laki-laki berbicara atas nama  perempuan dengan memakai kedok atas nama seluruh kemanusiaan.

Penutup : Berpikir ke Depan – Sebuah Alternatif

   Sampai di sini, saya pun bertanya, “Apa yang dapat disebut pop bagi generasi sekarang?” Apakah pop identik dengan ngetrend atau juga yang gue banget? Bisa jadi demikian. Di lain sisi, bila memang ini yang terjadi, maka “pop” menjadi tidak mutlak (relatif), cair, dan tergantung hendak dibawa ke mana. Artinya, sesuatu yang ngetrend saat ini belum tentu akan bertahan lama dan dengan mudah tergantikan. 

   Di sinilah letak kekritisan perlu ditanamkan dan terus-menerus digaungkan. Mari kita berani menciptakan budaya kita sendiri. Wacana perihal perempuan beserta kecantikan tentu saja masih dapat berlanjut. Dan semua berpulang kepada setiap orang untuk mengusahakan pembebasannya. Puisi Joko Pinurbo yang berjudul “Tubuh Pinjaman” kiranya dapat menjadi akhir pembicaraan ini.

 

Tubuh Pinjaman

Tubuh
yang mulai akrab
dengan saya ini
sebenarnya mayat
yang saya pinjam
dari seorang korban tak dikenal
yang tergeletak di pinggir jalan.


Pada mulanya ia curiga
dan saya juga kurang selera
karena ukuran dan modelnya
kurang pas untuk saya.
Tapi lama-lama kami bisa saling
menyesuaikan diri dan dapat memahami
kekurangan serta kelebihan kami.
Sampai sekarang belum ada yang
mencari-cari dan memintanya
kecuali seorang petugas yang menanyakan status,
ideologi, agama, dan terutama harta kekayaannya.

Tubuh
yang mulai manja
dengan saya ini
saya pinjam dari seorang bayi
yang dibuang di sebuah halte
oleh perempuan yang melahirkannya
dan tidak jelas siapa ayahnya.
Saya berusaha merawat
dan membesarkan anak haram ini
dengan kasih sayang dan kemiskinan
yang berlimpah-limpah
sampai ia tumbuh dewasa dan mulai berani
menentukan sendiri jalan hidupnya.
Sampai sekarang belum ada yang mengaku sebagai ibu
dan bapaknya kecuali seorang petugas yang menanyakan
asal-usul dan silsilah keluarganya.

Tubuh
yang kadang saya banggakan
dan sering saya lecehkan ini
memang cuma pinjaman
yang sewaktu-waktu harus saya kembalikan
tanpa merasa rugi dan kehilangan.
Pada saatnya saya harus ikhlas menyerahkannya
kepada seseorang yang mengaku sebagai keluarga
atau kerabatnya atau yang merasa telah melahirkannya
tanpa minta balas jasa atas segala jerih payah
dan pengorbanan.

Tubuh
pergilah dengan damai
kalau kau tak tenteram lagi
tinggal di aku. Pergilah dengan santai
saat aku sedang sangat mencintaimu.





[1] Tulisan ini mendapat inspirasi dari artikel “Cultural Studies sebagai Teori Kritis” oleh A. Budi Nugroho dan dipresentasikan dalam Diskusi Terbuka bersama penulis di Universitas Parahyangan  (Bandung).
[2] Penulis buku Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Bandung: Jalasutra, 2008).
[3] Ziauddin Sardar, Introducing Cultural Studies, Kowloon: Totem Books, 2001.
[4] Ben Agger, Cultural Studies as Critical Theory, London: Taylor & Francis, 1992.
[5] Ben Agger, Cultural Studies …, hlm. 3.
[6] Istilah “baby boomer”, secara umum, ditujukan kepada generasi yang lahir pada masa Pasca Perang Dunia II (1943an-1960an). Term ini beberapa kali digunakan dalam konteks budaya dan terkait dengan penolakan atau pendefinisian kembali nilai-nilai tradisional.
[7] Studi kebudayaan popular (popular cultural studies) adalah disiplin ilmu yang hendak mendalami perihal budaya pop. Hal ini disadari sebagai sebuah kombinasi studi komunikasi dan studi kebudayaan.
[8] New Left merupakan gerakan di beberapa negara sekitar tahun 1960-1970an. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini terasosiasi dengan gerakan kaum Hippies dan gerakan kampus dengan agenda utama memprotes adanya perbedaan kelas yang mencakup isu gender, ras, dan orientasi seksual.
[9] Ben Agger, Cultural Studies …, hlm. 118
[10] Ben Agger, Cultural Studies …, hlm. 118
[11] Ben Agger, Cultural Studies …, hlm.119

Review dari tema Kuliah Kedua SKP 2011 :


Review dari tema Kuliah Kedua SKP 2011 :
“Ketika Kemiskinan Menjadi Hiburan (Kemiskinan Dalam Nalar Modern)” :

Pertama, kemiskinan saat ini bukan “menjadi” hibur...an lagi, tapi telah “dijadikan” hiburan. Kemiskinan bukan hanya diciptakan, tapi direduksi sampai pada tahap yang sangat dangkal ; pada permainan tanda verbal – visual. Kemiskinan direduksi sebagai tanda yang memiliki nilai tukar (nilai tukar tanda). Komodofikasi kemiskinan lebih berbasis pada tanda, karena yang dijual adalah tayangan (reality show yang “artis”-nya adalah orang – orang miskin). Kemiskinan yang dijadikan komodifikasi ini menjadi bagian dari trend nalar modernis saat ini.

Kedua, kemiskinan menurut pandangan Paulo Freire ada 3, paradigma konservatif melihat bahwa kemiskinan sebagai sebuah takdir. Paradigma liberal melihat bahwa kemiskinan terjadi karena orang – orang malas bekerja. Paradigma kritis melihat kemiskinan ada karena sistem yang tidak beres dalam negara.

Ketiga, data tentang kemiskinan yang dilansir dengan data – data statistik menunjukkan bahwa itu dibuat berdasarkan kepentingan dan angka – angka itu dibuat di perpustakaan menggunakan metodologi statistik. Kemiskinan menjadi subyektif ketika hadir di ruang – ruang politik. Sesungguhnya angka – angka itu merupakan mitos dan sering “menipu” hingga terjadi dehumanisasi

Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur soail dalam menyediakan kesempatan – kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber – sumber yang tersedia, baik yang disediakan alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada di sekitarnya.

Kelima, “penanganan kemiskinan” dengan cara “instan” seperti BLT, pemberian zakat malah menimbulkan kecemburuan dan kesenjangan. Belum lagi masalah pembagian yang tidak manusiawi dan rawannya praktek – praktek korupsi dalam setiap program pengentasan kemiskinan. Menjadi semakin kusut dengan masalah yang timbul pasca bantuan tersebut diberikan, karena tidak akan serta merta menyelesaikan problem yang ada.

Keenam, sangat ironis ketika menuduh masyarakat mempunyai mental yang lemah, atau malas karena masalah mentalitas juga tidak terlepas dari perspektif dan definisi tentang kemiskinan. Kita tidak bisa dengan seenaknya mengkategorisasikan masyarakat kita, bagaimanapun makhluk hidup mempunyai cara / mekanisme untuk mepertahankan hidupnya, ada legitimasi – legitimasi budaya yang membuat mereka bertahan.

Ketujuh, mahasiswa tidak cukup sebagai pengontrol, tidak cukup gerakan mahasiswa hanya sebagai gerakan moral, tapi juga menjadi gerakan politis, kita harus menjadi kepala dan menentukan seperti apa wajah sistem ini ke depan.

Kedelapan, Isu kemanusiaan salah satunya kemiskinan bisa ditinjau dari landasan teologis dengan mulai pada pengenalan jati diri kita sebagai manusia. Kembali pada siapa aku dan akan kemana aku ? hal – hal ini dirumuskan dalam HAM, dan melihat apa yang saya perjuangkan. Secara tidak sadar apa yang kita lakukan banyak merugikan orang lain, jika kita tidak tahan pada “godaan” kekuasaan, kehormatan dan kekayaan. Spiritualitas ini untuk menjaga agar manusia tidak lalai dengan manusia lain.