Rumah, Kota dan Perubahan
Oleh Akhmad Ramdhon*
aku dilahirkan disebuah pesta yang tak pernah selesai selalu saja ada yang datang dan pergi hingga hari ini
Wiji Thukul
Setiap kita terbangun dalam sebuah ruang sejarah dengan dimensi yang kompleks. Dimensi yang terdiri dari narasi keakuan lewat relasi dengan kerabat, kekitaan lewat relasi dengan orang lain maupun kedirian lewat proses penyadaran diri yang berjalan terus menerus. Kesadaran yang ada lalu menjadi potret diri untuk dipajang dalam jejaring relasi sosial yang ada, dimana image diri menjadi pesan untuk orang lain untuk mempersepsikan sesuai keinginan. Interaksi berproses atas tarikan-tarikan makna antar individu dan pemaknaan atas seseorang untuk dipertentangankan dengan realitasnya sehari-hari.
Kedirian kita kemudian terbelah dalam beragam konstelasi. Jamak orang bersepakat, antara privat dan publik. Ruang-ruang tersebut kemudian secara berlahan menjadi konstruksi kedirian kita, dengan beragam atribut yang menyertainya. Privat seperti memberi batas secara tegas keberadaan diri dengan relasi yang luas, kompleks, saling menguntungkan, tak terkira, penuh dengan tanda tanya. Sedangkan makna publik kemudian menjadi sederhana karena dekat, tidak kompleks, dan sangat terbatas.
Kehadiran diri kita, bagi saya kemudian menemukan tempatnya dalam diskursus ruang. Ruang dimana diri hadir secara privat dan publik secara bersamaan. Ruang-ruang tersebut kemudian menjadi penanda kedirian kita dalam formasi rumah//house : bentuk, pola pintu, jenis tanaman, warna cat, nomor, jalan, erte, erwe, hingga nama kampung. Kesemuanya mempunyai nalar untuk dijelaskan. Setiap pilihan yang mencipta makna dalam rumah akan disusun lewat berlapis-lapis alasan, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Karena disitulah konsepsi kedirian kita kemudian didefenisikan oleh orang lain. Kontekstualisasi privat serta merta menjadi indikator yang kompleks, sebab seseorang dilekatkan oleh beragam piranti tanda oleh negara, oleh lingkungan dan oleh keluarga. Dan rumah menjadi bingkai besar sekaligus batas-batas makna tentang diri kita.
Rumah Membentuk Kita : Rumah adalah bingkai kekitaan. Didalam rumah, kita menjadi pemilik sekaligus pengikat atas batas-batas kepemilikan. Rumah menjadi asal muasal sekaligus simpul bagi bangunan nilai, bangunan kedirian, termasuk kesejarahan individu yang melebar dan membentuk kekerabatan yang luas. Dari rumahlah rangkaian panjang narasi dimulai untuk dikemudian diteruskan menjadi jejak-jejak biografis. Rahasia dirakit menjadi ikatan kepercayaan sekaligus memulakan hidup dan kehidupan.
Sejarah individu dirancang dalam alam mimpi orang-orang tua lewat nama-nama yang sematkan sebagai sebuah tolakan untuk capaian tentang masa depan maupun rekaman atas makna-makna subjektif. Cerita masa lalu diperdengarkan sebagai warisan untuk titian masa depan, peristiwa lalu yang terekam dalam foto dipajang sebagai pengingat, dan petuah-petuah kemulian didendangkan sambil mengiringi larutnya malam. Canda cerita dirangkaikan dalam keseharian bersama narasi-narasi monumental yang mengikuti siklus kalender untuk menikmati hari libur, berkumpul dengan kerabat, arisan kampung, jadwal pertemuan muda-mudi, hingga hajatan tetangga, untuk kemudian mengulanginya kembali pada tahun yang akan datang.
Didalam rumah pula semuanya dilakukan : memilih apa yang mau kita makan, memakannya bersama-sama, berbincang, merancang cita-cita, mandi serta mencuci setiap hari, dan beragam kegiatan yang lain. Yang secara rutin kita melakukannya. Semuanya menjadi asal muasal dari sebuah aktivitas yang akan memberi dampak bagi aktivitas publik. Dari rumah, potret diri yang ideal dirangkai secara detil untuk dikenakan, mulai pasta gigi, sabun, sampho, minyak rambut, baju dalam, baju yang telah disterika, celana yang telah rapi, lengkap dengan gesper, sepatu beserta kaos kaki. Layaknya make-up maka utuhlah konsep diri kita kemudian. Sebuah kondisi yang seragam, yang terjadi disetiap balik pintu yang tertutup rapat, hampir pada saat yang bersamaan. Serentak dalam hitungan waktu-waktu yang diakumulasikan.
Yang berbeda, dari luar hanyalah pagar yang melintang pada setiap rumah. Pagar seakan-akan menjadi batas pembeda dari satu ruang ke ruang yang lain. Pagar disiapkan dalam kepentingan imaji pemasangnya, imaji tentang keterbukaan, persaudaraan, kepemilikan, kemampuan maupun keamanan. Pagar dihias dalam berbagai motif untuk menyampaikan pesan tentang seisi rumah kepada tetangga, orang yang melintas, pengemis yang mengantri maupun pengamen yang berdendang menunggu segelintir uang logam. Pesan tentang konsep diri kita agar bisa dipahami secara instan.
Pagar lantas urgent karena berada dilingkar paling luar dari rumah. Simpul paling krusial untuk membuat penegasan batas domestik dan privat agar menemukan penjelasannya lewat pagar yang dirangkai didepan rumah. Variasi bentuknya merupakan ekspresi perbedaan yang terdapat didalam rumah. Entah itu akan berkaitan dengan praktek tentang relasi ketetanggaan, ide kapital yang telah terakumulasikan, sekaligus menjadi batas penegas otoritasisasi ruang. Pagar mentransisikan sebuah proses interaksi yang ada, dimana seseorang boleh atau tidak melanjutkannya menjadi pola hubungan lebih lanjut. Rangkaian rumah dengan pagar adalah tempat untuk memulai sekaligus untuk mengakhiri. Bermulanya semua perbicangan kita akan berakhir dengan batasan pagar lalu rumah maupun sebaliknya.
Rumah dan pagar, tak luput pula dari perubahan yang diberbincangkan oleh para teoritisi. Perubahan sebagai keniscayaan tentang sifat dasar manusia untuk berubah. Rekaman perubahan sejatinya terentang teramat panjang namun kenyataan hari ini adalah bagian yang terpisah dari catatan tentang kesadaran manusia tentang akal budi, kebebasan, demokrasi, kapitalisme hingga teknologi. Realitas paling akhir dan kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah tarik ulur atas kondisi tersebut.
Kesemuanya bertransformasi, mencari bentuk untuk mengakselerasi keberadaan maupun kebutuhan manusia yang telah teradministrasi baik secara politik, ekonomi dan budaya. Serta menstimulasi proses mobilisasi manusia dalam jumlah yang banyak menuju titik-titik yang menyimpul semua kepentingan yang ada dalam bentuk urban. Terdistribusikannya semangat manusia modern menciptakan mekanisme pencarian kebutuhan hidup diluar sistem masa lalu dan menuntut ruang-ruang baru dari keberadaan zaman untuk menyediakan berbagai harapan tersebut. Modernitas seakan-akan diwakili oleh fenomena terbentuknya kota dan masyarakat kota, sebab kehadirannya menjadi magnet atas gerak mobilisasi dengan beragam kebutuhan : diranah ekonomi, kota menyediakan sarana pemenuhan kebutuhan hidup lewat beragam bentuk, diranah kota pula budaya menjadi bagian dari distriubusi aset-aset manusia untuk pembentukka identitas. Dan dikota pula kita menemukan konstruksi atas kehidupan yang menjanjikan tawaran-tawaran lebih baik dengan semua mekanisme pemenuhannya.
Kita Membentuk Rumah : Realitas yang dinamis juga mengakselerasi tumbuh kembangnya rumah-rumah kita. Progresivitas kota dan masyarakat kota menjadi potret tentang bagaimana rumah berubah lalu menjadi bagian tersendiri dari peradaban manusia. Rumah terbentuk dengan pola berduyun-duyun memadat disisi jalan yang semakin memanjang, berjejal-jejal dengan rumah yang dirombak secara paksa menjadi tempat-tempat pertukaran komoditi manusia modern. Pergerakan untuk perubahan tak lagi dimonopoli oleh manusia semata karena ruang-rumahpun mengalami hal sama sebab pergeseran yang sesungguhnya adalah pergeseran peta mental manusia modern.
Epistem keterbangunan rumah dan pagarnya sebagai sejarah tak lagi ada karena esensi rumah kini hadir dalam bentuk-bentuk pilihan pragmatis. Pilihan yang akan menentukan standart kelas sosial, pilihan untuk menempatkan diri dalam cluster sosial yang baru, maupun pilihan untuk membuat hidup semakin mudah. Kategorisasi dibuat sebagai landskap bagi tatanan ruang-rumah ditengah-tengah kota yang semakin melebar. Identitas baru disematkan sebagai susulan atas bangunan identitas fisik yang telah mendahuluinya. Sejarah tak lagi harus memuat masa lalu sebab masa kini sudah menjadi masa lalu. Pesan-pesan mulia yang dipajang ada disetiap teras rumah adalah narasi masa depan yang penuh dengan kegembiraan.
Rumah baru dan pagar baru adalah perayaan tentang kegembiraan. Kegembiraan atas kontraprestasi nalar-nalar modern yang terbirokrastisasi. Rumah menjadi sepi dan rapuh oleh minimnya aktivitas keseharian manusia. Tak ada lagi cerita yang diperdengarkan dari yang dulu ke yang kini, karena senyap telah merambat semenjak jam di dinding menjadi penanda dan mempercepat derak kehidupan. Keramaian rumah hanya dipenuhi oleh pertukaran-pertukaran waktu dan uang untuk menjadi tanda adanya kehidupan dirumah-rumah yang semakin membesar dan meningkat. Bagian-bagian rumah hanyalah ruang tanpa makna karena tak ada lagi aktivitas didalamnya. Berbagai tanda kebanggaan dipajang untuk dinikmati dalam kesendiriannya dan semuanya semakin tenggelam oleh menebal, meninggi dan menguatnya pagar-pagar rumah.
Sisi lain yang semakin menakutkan hadir lewat desakan arus komoditi yang tak terbendung, mengglontor seisi rumah kita lewat pesan maupun panduan tentang semua kebaikan menjadi manusia modern : sebaiknya kita minum apa, efek positif makanan tertentu, mengidentifikasi rambut dengan jenis shampo yang sesuai, mengurai kandungan dalam sejumlah susu formula yang tepat untuk anak-anak kita, sekaligus menyesuaikannya dengan cita-citanya kelak. Semuanya tersedia dalam sesaat lalu menjadi alasan bagi kita untuk memilih dengan alasan yang kita susun kemudian. Formasi nilai barupun diciptakan untuk menentukan standart hasrat yang harus sesegera mungkin dipenuhi dan identitas kita dibentuk dari dalam rumah. Yang sedang terjadi adalah terobjektivikasikannya semua hasil produksi-kapital menjadi sebuah kode-kode yang menstimulasi kebutuhan konsumsi kita. Kebutuhan seisi rumah dan kehidupan kita, kini ditentukan oleh struktur yang hanya memberi ruang bagi insting kita untuk segera memenuhinya dan tak lagi punya kemampuan menolak.
Rumah berubah menjadi penuh-sesak dengan apa yang sudah dibeli, apa yang akan dikonsumsi dan catatan tentang apa saja yang harus konsumsi keesekon harinya. Pada saat bersamaan, jejaring kode yang secara intens menjerat untuk menerima panduan tak bisa dihindari. Kita tak bisa lepas dari hamparan tawaran yang membentang, terdengar ditelinga hingga tampak pada setiap pandangan diarahkan. Sebuah kondisi yang ekstrim, yang tidak memungkinkan hadirnya pilihan-pilihan yang lain kecuali mengadopsinya sebagai nilai-komoditi untuk kemudian mengkonsumsinya. Karena konsumsi juga sebuah penanda baru bagi masyarakat modern.
Energi hidup lalu terserap dalam dalam upaya-upaya pemenuhan hasrat semata. Rantai jejaring individu semakin rentan untuk putus karena bingkai-bingkai sosial retak oleh formasi pagar rumah yang terbaharui. Jarak yang dibentuk oleh kepentingan status tak terasa semakin melebar. Asing dan terasing menjadi pola relasi satu sama lain. Intensi dalam rumah yang tak lagi bisa dipertahankan kini ikut memendar keluar pagar dan merangsek rumah-pagar yang lainnya. Tak ada lagi tegur sapa, tak ada lagi kesempatan sejenak berbicang, tak ada lagi alokasi untuk menghabiskan waktu dengan sia-sia sebab semuanya telah terjadwal, tertarget dan terukur. Skala waktu menjadi daya tolak untuk melakoni hidup sehingga semua terasa terburu-buru, mendesak dan tak cukup untuk menghela nafas, apalagi rehat.
Nalar kehidupan masyarakat kota seakan-akan mutlak rasional. Budaya yang terteknologisasi tak memberi ruang bagi emosi dan kesadaran tentang makna. Irasionalitas hadir dalam bentuk lain dan terasa masuk akal karena menjadi komoditi baru dengan jargon-jargon yang diedukasikan secara massif. Tuntutan agar semuanya rasional otomatis mengabaikan kemungkinan-kemungkinan lain dan kondisi ini menjadi teror yang terus menerus diingatkan oleh kepentingan akumulatif dan kompetisi yang seakan-akan tiada akhir.
Konflik mengalami signifikasinya. Tarikan domestik ke publik dan sebaliknya menjadi pelengkap bagi kebingungan-kebingungan tentang arah peradaban. Mekanisme yang memacu semangat untuk berkompetisi lalu meniadakan kehadiran yang lain, sebuah kondisi yang mengingatkan kita tentang teks-teks klasik absennya hukum dan absolutnya kekuasaan. Persoalan sederhana lalu memicu gelombang konflik yang besar, bahkan terlalu besar pada beberapa rekaman yang bisa kita lihat di media-media. Tatapan terhadap pesan-pesan horor terasa hambar karena atensi yang tak lekang hadir terus menerus. Pesan-pesan horor tidak lagi dimonopoli pelaku kejahatan namun telah meluas menjadi bentuk-bentuk kebanggan baru dalam masyarakat yang senantiasa terawasi oleh teknologi media yang merekamnya tiada henti.
Pembiaran ada dimana-mana. Praktek kekerasan menjadi cara paling mudah untuk berkonflik dan upaya untuk menyelesaikan konflikpun tak tersedia opsi yang memadai sehingga imaji yang terserap dalam lamunan-lamunan di depan kotak televisi menjadi pilihan. Pagar-pagar yang merapat sebagai sekat-sekat domestik hanya menyisakan ruang-ruang konflik yang penuh semangat untuk duel dan tak memberi kesempatan orang lain menengahi. Aparat tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya dan penuh dengan olok-olok kelemahan. Tak ada lagi keteladanan yang mesti dijadikan rujukan sebab teror didistribusikan oleh figur-figur yang seharusnya melakukan kendali atas realitas.
Eksistensi rumah semakin rapuh. Tak sama dengan menebalnya fisik rumah-pagar, mentalitas yang terbangun luluh oleh kenyataan-kenyataan yang senantiasa pilu. Kepiluan lalu menjadi maenstrim untuk dikomoditikan. Kisah-kisah domestik tersebar karena dirasa penting. Kejadian nun jauh dan tiada urgensinya tiba-tiba dihadirkan agar setiap kita sadar lalu terlibat. Alam sadar kita diasupi dengan ragam info yang tiada guna kecuali kita menganggapnya layak untuk dipahami. Dan anehnya, kenyataan tersebut dianggap krusial buktinya adalah membanjirnya semua realitas semu dalam rumah-rumah kita. Dimulai dari terbuka kelopak mata maka sajian-sajian untuk diserap sudah tersedia dan tak akan habis sampai kita memulai menutup mata karena lelah. Kondisi yang senantiasa berulang dalam hitungan waktu.
Tak ada lagi kesempatan untuk untuk merenung sebab berdiam diri adalah kesalahan. Kerja, kerja dan kerja yang melintas dalam otak-otak kita. Kondisi yang bisa dimaklumi mengingat sangat sistematisnya pendidikan merancang kemungkinan-kemungkinan terburuk dari kegagalan. Ketidakmampuan lalu jarang kita temui sebab setiap kita merasa mampu. Berpengetahuan harus senantiasa liner dengan kompensasinya karena hidup adalah memperbincangkan hasil lalu menumpuk-numpuk kapital sebagai tujuan akhir. Dan itulah yang ditanamkan dikelas-kelas, yang diingatkan ketika keluar rumah dan yang diburu ketika berada dalam jejaring sosial yang ada. Tak ada lagi makna pelayanan layaknya anak kepada orang tua, seperti relasi suami-istri maupun alam kepada kehidupan.
Makna hidup layaknya pandora dengan ujung kebingungan. Pilihan-pilihan tentang kemuliaan adalah minor. Sebab kesadaran tak lagi berbenih sehingga meminimalisir kesempatan untuk berbuat kebaikan. Kenyataan yang ada disekitar kita senantiasa berubah namun jaminan tentang kebaikan-kebaikan sebagai sebab akibat dilirisnya akal budi seperti hambar. Namun jikalau diajukan pertanyaan : masih tersisakan ruang-ruang untuk merangkai keyakinan tentang hidup dan kehidupan yang lebih baik ? Bagi saya, sangat mungkin. Dan jawabnya akan bermula juga dari dalam rumah-rumah kita. Untuk itu, bukalah pintu-pagar rumah dan mari duduk-duduk diteras rumah kita ..
*dusun benowo, rt o4 rw o8 ngringo jaten
catatan, gumanan diatas tentu bisa didalami lebih lanjut, dengan beberapa bacaan yang terkait :
diskusi tentang konsepsi keluarga-kekerabatan bisa dimulai dari : Hildred Geertz, Keluarga Jawa, Grafiti Pers 1983, John Sullivan, Local Goverment and Community in Java, Oxford 1992. Hotze Lont, Jugling Money in Yogyakarta, Thela Thesis 2002.
sedangkan diskusi tentang bagaimana ruang-ruang kota berubah bisa dirujuk dari : Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif, Ombak 2009. Clifford Geertz, Mojokuto, Dinamika Sebuah Kota di Jawa, Grafiti 1986. F Budi Hardiman, Memahami Negativitas, Kompas 2005. Freek Colombijn, Paco-Paco Kota Padang, Ombak 2006. Jones & Hull, Indonesia Assesment, Population and Human Resourches, ISEAS 1997. Henri Lavebvre, The Urban Revolution, Mineasota 2002, Henri Lavebvre, The Production of Space, Blackwell 1991. Lea Jellineck, Seperti Roda Berputar, LP3ES 1995. Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land, YOI 2006.
adapun kutipan penggalan puisi diatas diambil dari, Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, Indoenesiatera 2004 :131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar