“… We can’t always to build the future for our youth.
But, we can build our youth for the future"
(Franklin D. Rooseve,t)
But, we can build our youth for the future"
(Franklin D. Rooseve,t)
URGENSI MODERNITAS MASYARAKAT MADANI
(Johanes Bidaya)
Menelusuri modernitas dalam sejarah peradaban hidup manusia bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun dalam perkembangannya, pembahasan mengenai modernitas kerap dipahami dalam pengertian yang ambivalen. Dimulai sejak munculnya akibat industrialisasi dan komersialisasi yang mampu membawa perubahan yang cukup berarti di Eropa pada abad kesembilan belas. negara-negara berkembang kemudian “berbondong-bondong” mengikuti jejak tersebut dengan upaya modernisasi di berbagai sendi kehidupan sosial masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya. Dalam hal ini, modernisasi menjadi suatu model (atau sekurangnya sebagai suatu standar) bagi perbandingan Negara di tempat lain.
Faktor terpenting modernitas adalah terjadinya perubahan dalam masyarakat. Begitu juga sebaliknya, modernitas tidak akan terjadi bila perubahan dalam masyarakat tidak terjadi. Demikian halnya Indonesia yang berada dalam proses transisi, modernisasi menjadi “apa” masih merupakan teka-teki. Disinilah letak kelemahan kita. Modernisasi bagi banyak orang seperti terbanting ke suatu lorong dengan kecepatan yang menakutkan tanpa mengetahui apa yang menunggunya di ujung lorong satunya. Modernisasi hanya terlihat sebatas kasat mata dengan wujud kemajuan IPTEK dan pembangunan disana-sini, tanpa memperhatikan implikasi lain dari proses modernisasi tersebut.
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat tidak sama apa yang dialami negara-negara Dunia Ketiga yang justru menimbulkan dominasi peran negara dan degradasi ekologi. Vandana Shiva, dalam pandangan Ecofeminismenya mencoba untuk mendifinisikan ulang bagaimana masyarakat melihat produktivitas dan aktivitas perempuan dan alam yang keliru dan dianggap pasif. Salah satu penyebabnya adalah program-program pembangunan yang salah sasaran dan rusaknya regenerasi ekosistem. Dalam hal ini, pembangunan yang salah sasaran merupakan dominasi terhadap perempuan dan alam melalui budaya patriarki. Akibatnya masyarakat akan menjadi miskin dan sengsara karena produktivitas alam dan kemampuan untuk memperbaharui menjadi rusak. Hal ini terlihat dari maraknya pengalih fungsian lahan dari lahan pertanian menjadi lahan perumahan serta tidak tersedianya lahan terbuka hijau di daerah perkotaan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Selain itu, kesediaan bahan pangan akan semakin berkurang karena ketiadaan lahan. Perempuan di desa menjadi kehilangan akses pekerjaan karena degradasi alam yang memaksa mereka untuk merubah profesinya. Misalnya dari petani menjadi Ibu rumah tangga/ pengangguran.
Tentu saja, peristiwa ini bukan merupakan kejadian alamiah semata akan tetapi juga disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Adapun konsekuensi modernisasi yang menjadi perhatian kita adalah hilangnya kepribadian moral masyarakat (degragasi moral). Komunitas-komunitas yang umum kita kenal telah berubah bentuk. Semangat gotong-royong sirna oleh individual yang egois. Keanekaragaman menjadi sebuah penyeragaman. Masyarakat mencari bentuk baru bagi kesempurnaan, kepastian baru untuk menggantikan sesuatu yang dianggap telah hilang memalui perubahan. Sehingga konfrontasi yang menggembirakan di masa depan dengan mudah tergantikan oleh kecemasan mendalam. Dari sini, kita dapat mengetahui wajah baru modernisasi. Bukan hanya perubahan-perubahan institusional, melainkan lebih pada perubahan-perubahan kesadaran. Modernisasi tampak sebagai peralihan “dari” situasi yang lebih preimer, partisipatif, determinatif dan tertutup “ke” situasi yang lebih sekunder, distantif, kreatif, dan terbuka. Dalam pengertian ini, modernisasi dapat dipahami sebagai proses pembebasan, suatu proses yang bergerak menuju penyempurnaan.
Ketidakpastian adalah harga yang harus dibayar sebagai pertukaran masa lampau ke masa depan. Oleh karena itulah, masyarakat tersebut akan mengalami suasana yang berfluktasi antara perasaan yang menyenangkan dari adanya kebebasan baru serta harapan di masa depan dengan pandangan ketakutan, sinis, atau opurtunistis.
Dewasa ini, masyarakat madani sering kali terjebak dalam persoalan-persoalan modernisasi yang hanyut dalam arus globalisasi. Tak jarang, kearifan lokal menjadi tumbal bagi terciptanya modernitas suatu bangsa. Kita memang tidak sedang dihadapkan pada persoalan simpel apakah mau memilih menjadi tradisional atau modern. Sebab produk modernitas de facto, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup keseharian kita. Fastfood, Televisi, mobil, HP, mesin cuci, parabola, komputer hingga mainan anak-anak, telah menjadi kebutuhan masyarakat yang tak terelakkan. Kebutuhan sekunder atau tertier seakan terbalik menjadi kebutuhan primer. Inilah yang menjadikan masalah bertambah rumit. Di satu sisi, masyarakat tidak bisa mengelak dari serbuan modernitas, tetapi di sisi lain, ia juga tidak bisa melepaskan diri dari pelukan tradisi.
Sementara itu, sistem global tidak dapat dipisahkan dari sistem kapitalisme dunia yang memiliki titik tekan pada akomulasi modal, pengaruh dan keuntungan. Hegemoninya tidak terbatas pada sektor kehidupan aktivitas ekonomi masyarakat saja, tetapi juga merasuk kepada kehidupan sosial, budaya, pendidikan, informasi bahkan gaya hidup. Faktanya, hampir semua aktivitas sehari-hari dari kehidupan umat manusia sangat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global. Akibatnya, aktivitas sehari-hari kita merupakan aktivitas yang cepat berubah dan bersifat sesaat. Dinamisme aktivitas seperti ini menciptakan komoditasi kegiatan yang mencari hasil yang cepat dan instan. Jika tidak demikian, dianggap tidak kompatibel dan jauh dari “trend” zaman. Hal ini membuat manusia kehilangan sisi humanismenya. Dan siap mesin-mesin penghancur. Segalanya telah terkooptasi oleh kepentingan “nalar” kapitalistik pasar. Produksi dalam negeri menjadi hancur akibat persaingan kompetisi yang tidak netaral. Akibatnya, banyak buruh yang di PHK. Pengangguran meningakat berbarengan dengan maraknya kriminalitas dan tingginya angka kemiskinan. Krisis inilah yang menjadi ancaman atas mimpi modernitas. Dimana solidaritas sosial tidak lagi diperhitungkan.
Radar Bandung, Senin 31 Januari 2011, “..Nasib buruh batako di Kampung Warung Jati, Desa Ciptagumati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB) memprihatinkan..”. Pasalnya, selain minimnya upah ditambah tidak ada jaminan kesehatan. Salah seorang buruh batako, Iing,30, mengungkapan, sudah dua tahun bekerja, namun ia hanya mendapat upah yang minim. Pekerjaan yang tergolong berat ini tidak disertai dengan jaminan kesehatan. Tanggung jawab negara atas pelayanan kesehatan bagi warganya hanya tertulis di atas kertas.
Berangkat dari diskursus yang terjadi inilah kita dapat melihat bahwasanya modernitas bukan menjadi solusi jitu bagi pembangunan masyarakat menuju sejahtera. Kita dapat saja mengatakan bahwa saat ini kita sudah merasa menjadi bagian dari negara yang tergolong cukup modern. Akan tetapi, bila mau mengakuinya, kita ternyata belum siap untuk itu semua karena jarak antara si kaya dan si miskin ternyata cukup jauh. Kita hanya menjadi “korban” dari jargon modernitas untuk pembangunan ke arah yang lebih baik. Berbagai ketimpangan yang terjadi tersebut sangat berlawanan dengan tujuan dari terciptanya masyarakat madani (civil society).
Oleh karena itu, agar lebih mudah memahami modernitas secara mendalam, maka ada baiknya kita menjiwai 3 hal penting yang menjadi premis nilai utama bagi peran intelektual kolektif, antara lain:
Pertama, yang modern itu seharusnya mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek. Dalam arti ini, orang modern memperhatikan soal hak-hak asasi, fungsi ilmu pengetahuan, otonomi pribadi, dan demokrasi.
Kedua, yang modern itu harusnya kritis. Dalam arti ini, orang modern cenderung mengeliminir prasangka-prasangka dari tradisi, memiliki gairah untuk mengkaji penghayatan, dan mempersoalkan dimensi autoritas yang taken for granded.
Ketiga, yang modern itu harus progresif. Dalam arti, mengadakan perubahan-perubahan secara kualitatif baru. Kemajuan ilmu pengetahhuan dan teknilogi, bentuk-bentuk organisasi sosial modern, kesadaran akan pentingnya transformasi sosial bahkan revolusi sosial adalah beberapa contohnya.
Ketiga “jiwa” modernitas ini tidak bisa dipisah-pisahkan dalam realitas, karena kegiatannya berkorelasi secara inheren. Kesadaran dan memunculkan kritik dan kritik memunculkan progresifitas, dan sebagainya.
Daftar Referensi:
Benjamin R.Barber, 2003. Jihad vs Mac. Word, Globalisasi dan Tribalisme Dunia baru.
David E. Apter dalam “The Politics of Modernization” (diindonesiakan oleh: Hermawan Sulistyo dan Wardah hafidz, 1987, “Politik Modernisasi”), Jakarta: Gramedia 1987
Hardiman F. budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode, Penerbit Kanisius.
Soekanto, Soerjono, 1983 Pribadi dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Alumni-IKAPI.
Sinaga, Anicetus B. dkk, 2004, Etos dan Moalitas Politik : Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum, Yogyakarta : Kanisius.
Shiva, Vandana & Marie Mies, Ecofeminism, Perspektif Gerakan Perempuan & Lingkungan : Penerbit IRE Press, Yogyakarta ,2005).
http://www.radarbandung.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=57049
(Johanes Bidaya)
Menelusuri modernitas dalam sejarah peradaban hidup manusia bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun dalam perkembangannya, pembahasan mengenai modernitas kerap dipahami dalam pengertian yang ambivalen. Dimulai sejak munculnya akibat industrialisasi dan komersialisasi yang mampu membawa perubahan yang cukup berarti di Eropa pada abad kesembilan belas. negara-negara berkembang kemudian “berbondong-bondong” mengikuti jejak tersebut dengan upaya modernisasi di berbagai sendi kehidupan sosial masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya. Dalam hal ini, modernisasi menjadi suatu model (atau sekurangnya sebagai suatu standar) bagi perbandingan Negara di tempat lain.
Faktor terpenting modernitas adalah terjadinya perubahan dalam masyarakat. Begitu juga sebaliknya, modernitas tidak akan terjadi bila perubahan dalam masyarakat tidak terjadi. Demikian halnya Indonesia yang berada dalam proses transisi, modernisasi menjadi “apa” masih merupakan teka-teki. Disinilah letak kelemahan kita. Modernisasi bagi banyak orang seperti terbanting ke suatu lorong dengan kecepatan yang menakutkan tanpa mengetahui apa yang menunggunya di ujung lorong satunya. Modernisasi hanya terlihat sebatas kasat mata dengan wujud kemajuan IPTEK dan pembangunan disana-sini, tanpa memperhatikan implikasi lain dari proses modernisasi tersebut.
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat tidak sama apa yang dialami negara-negara Dunia Ketiga yang justru menimbulkan dominasi peran negara dan degradasi ekologi. Vandana Shiva, dalam pandangan Ecofeminismenya mencoba untuk mendifinisikan ulang bagaimana masyarakat melihat produktivitas dan aktivitas perempuan dan alam yang keliru dan dianggap pasif. Salah satu penyebabnya adalah program-program pembangunan yang salah sasaran dan rusaknya regenerasi ekosistem. Dalam hal ini, pembangunan yang salah sasaran merupakan dominasi terhadap perempuan dan alam melalui budaya patriarki. Akibatnya masyarakat akan menjadi miskin dan sengsara karena produktivitas alam dan kemampuan untuk memperbaharui menjadi rusak. Hal ini terlihat dari maraknya pengalih fungsian lahan dari lahan pertanian menjadi lahan perumahan serta tidak tersedianya lahan terbuka hijau di daerah perkotaan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Selain itu, kesediaan bahan pangan akan semakin berkurang karena ketiadaan lahan. Perempuan di desa menjadi kehilangan akses pekerjaan karena degradasi alam yang memaksa mereka untuk merubah profesinya. Misalnya dari petani menjadi Ibu rumah tangga/ pengangguran.
Tentu saja, peristiwa ini bukan merupakan kejadian alamiah semata akan tetapi juga disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Adapun konsekuensi modernisasi yang menjadi perhatian kita adalah hilangnya kepribadian moral masyarakat (degragasi moral). Komunitas-komunitas yang umum kita kenal telah berubah bentuk. Semangat gotong-royong sirna oleh individual yang egois. Keanekaragaman menjadi sebuah penyeragaman. Masyarakat mencari bentuk baru bagi kesempurnaan, kepastian baru untuk menggantikan sesuatu yang dianggap telah hilang memalui perubahan. Sehingga konfrontasi yang menggembirakan di masa depan dengan mudah tergantikan oleh kecemasan mendalam. Dari sini, kita dapat mengetahui wajah baru modernisasi. Bukan hanya perubahan-perubahan institusional, melainkan lebih pada perubahan-perubahan kesadaran. Modernisasi tampak sebagai peralihan “dari” situasi yang lebih preimer, partisipatif, determinatif dan tertutup “ke” situasi yang lebih sekunder, distantif, kreatif, dan terbuka. Dalam pengertian ini, modernisasi dapat dipahami sebagai proses pembebasan, suatu proses yang bergerak menuju penyempurnaan.
Ketidakpastian adalah harga yang harus dibayar sebagai pertukaran masa lampau ke masa depan. Oleh karena itulah, masyarakat tersebut akan mengalami suasana yang berfluktasi antara perasaan yang menyenangkan dari adanya kebebasan baru serta harapan di masa depan dengan pandangan ketakutan, sinis, atau opurtunistis.
Dewasa ini, masyarakat madani sering kali terjebak dalam persoalan-persoalan modernisasi yang hanyut dalam arus globalisasi. Tak jarang, kearifan lokal menjadi tumbal bagi terciptanya modernitas suatu bangsa. Kita memang tidak sedang dihadapkan pada persoalan simpel apakah mau memilih menjadi tradisional atau modern. Sebab produk modernitas de facto, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup keseharian kita. Fastfood, Televisi, mobil, HP, mesin cuci, parabola, komputer hingga mainan anak-anak, telah menjadi kebutuhan masyarakat yang tak terelakkan. Kebutuhan sekunder atau tertier seakan terbalik menjadi kebutuhan primer. Inilah yang menjadikan masalah bertambah rumit. Di satu sisi, masyarakat tidak bisa mengelak dari serbuan modernitas, tetapi di sisi lain, ia juga tidak bisa melepaskan diri dari pelukan tradisi.
Sementara itu, sistem global tidak dapat dipisahkan dari sistem kapitalisme dunia yang memiliki titik tekan pada akomulasi modal, pengaruh dan keuntungan. Hegemoninya tidak terbatas pada sektor kehidupan aktivitas ekonomi masyarakat saja, tetapi juga merasuk kepada kehidupan sosial, budaya, pendidikan, informasi bahkan gaya hidup. Faktanya, hampir semua aktivitas sehari-hari dari kehidupan umat manusia sangat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global. Akibatnya, aktivitas sehari-hari kita merupakan aktivitas yang cepat berubah dan bersifat sesaat. Dinamisme aktivitas seperti ini menciptakan komoditasi kegiatan yang mencari hasil yang cepat dan instan. Jika tidak demikian, dianggap tidak kompatibel dan jauh dari “trend” zaman. Hal ini membuat manusia kehilangan sisi humanismenya. Dan siap mesin-mesin penghancur. Segalanya telah terkooptasi oleh kepentingan “nalar” kapitalistik pasar. Produksi dalam negeri menjadi hancur akibat persaingan kompetisi yang tidak netaral. Akibatnya, banyak buruh yang di PHK. Pengangguran meningakat berbarengan dengan maraknya kriminalitas dan tingginya angka kemiskinan. Krisis inilah yang menjadi ancaman atas mimpi modernitas. Dimana solidaritas sosial tidak lagi diperhitungkan.
Radar Bandung, Senin 31 Januari 2011, “..Nasib buruh batako di Kampung Warung Jati, Desa Ciptagumati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB) memprihatinkan..”. Pasalnya, selain minimnya upah ditambah tidak ada jaminan kesehatan. Salah seorang buruh batako, Iing,30, mengungkapan, sudah dua tahun bekerja, namun ia hanya mendapat upah yang minim. Pekerjaan yang tergolong berat ini tidak disertai dengan jaminan kesehatan. Tanggung jawab negara atas pelayanan kesehatan bagi warganya hanya tertulis di atas kertas.
Berangkat dari diskursus yang terjadi inilah kita dapat melihat bahwasanya modernitas bukan menjadi solusi jitu bagi pembangunan masyarakat menuju sejahtera. Kita dapat saja mengatakan bahwa saat ini kita sudah merasa menjadi bagian dari negara yang tergolong cukup modern. Akan tetapi, bila mau mengakuinya, kita ternyata belum siap untuk itu semua karena jarak antara si kaya dan si miskin ternyata cukup jauh. Kita hanya menjadi “korban” dari jargon modernitas untuk pembangunan ke arah yang lebih baik. Berbagai ketimpangan yang terjadi tersebut sangat berlawanan dengan tujuan dari terciptanya masyarakat madani (civil society).
Oleh karena itu, agar lebih mudah memahami modernitas secara mendalam, maka ada baiknya kita menjiwai 3 hal penting yang menjadi premis nilai utama bagi peran intelektual kolektif, antara lain:
Pertama, yang modern itu seharusnya mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek. Dalam arti ini, orang modern memperhatikan soal hak-hak asasi, fungsi ilmu pengetahuan, otonomi pribadi, dan demokrasi.
Kedua, yang modern itu harusnya kritis. Dalam arti ini, orang modern cenderung mengeliminir prasangka-prasangka dari tradisi, memiliki gairah untuk mengkaji penghayatan, dan mempersoalkan dimensi autoritas yang taken for granded.
Ketiga, yang modern itu harus progresif. Dalam arti, mengadakan perubahan-perubahan secara kualitatif baru. Kemajuan ilmu pengetahhuan dan teknilogi, bentuk-bentuk organisasi sosial modern, kesadaran akan pentingnya transformasi sosial bahkan revolusi sosial adalah beberapa contohnya.
Ketiga “jiwa” modernitas ini tidak bisa dipisah-pisahkan dalam realitas, karena kegiatannya berkorelasi secara inheren. Kesadaran dan memunculkan kritik dan kritik memunculkan progresifitas, dan sebagainya.
Daftar Referensi:
Benjamin R.Barber, 2003. Jihad vs Mac. Word, Globalisasi dan Tribalisme Dunia baru.
David E. Apter dalam “The Politics of Modernization” (diindonesiakan oleh: Hermawan Sulistyo dan Wardah hafidz, 1987, “Politik Modernisasi”), Jakarta: Gramedia 1987
Hardiman F. budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode, Penerbit Kanisius.
Soekanto, Soerjono, 1983 Pribadi dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Alumni-IKAPI.
Sinaga, Anicetus B. dkk, 2004, Etos dan Moalitas Politik : Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum, Yogyakarta : Kanisius.
Shiva, Vandana & Marie Mies, Ecofeminism, Perspektif Gerakan Perempuan & Lingkungan : Penerbit IRE Press, Yogyakarta ,2005).
http://www.radarbandung.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=57049
Tidak ada komentar:
Posting Komentar