Senjakala Waktu Senggang*
Oleh: Muhammad Ridha
Manusia modern adalah manusia yang ‘tidak punya’ lagi waktu senggang. Seluruh waktunya habis tersita oleh kerja, mengejar bermacam-macam cita-cita absurd modernitas. Jam kerja yang padat membuat manusia menjadi seperti robot-robot yang dijalankan oleh mekanisme kerja kapitalisme. Waktu senggang yang kata Fransiscus Simon (2007;60) berisi kegiatan ‘berdiskusi tentang kebenaran dan upaya-upaya menjunjungnya; berefleksi tentang pelbagai gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang dan akan ada; berdistansi dan berabstraksi dengan realitas yang digauli’ telah di ambang kepunahannya. Digerus, berkali-kali dan secara masif, oleh logika konsumsi.
Aristoteles pernah berharap agar rakyatnya memiliki waktu senggang yang seluas-luasnya. Sebab katanya, meminjam Xenophon, “kerja menyita seluruh waktu dan dengan kerja orang tidak memiliki waktu luang untuk republik dan teman-temannya” (Paul Lafaurge;2008717-72).
Bisakah kita berharap itu saat ini? Berharap bahwa kemanusiaan kita tidak tercabik-cabik oleh kerja yang melulu mengejar dan bermimpi menggapai bermacam-macam, tetapi tidak pernah merasa mendapatkannya. Berharap agar setiap saat apa yang romantis dari sisi-sisi hidup ini bisa kembali dikenang, dinikmati atau bahkan kita rayakan sebagai sebuah perayaan kebebasan bagi manusia dari penjara kerja. Mengimpikan tentang berhentinya roda kapitalisme meraup dan terus melahap kapital dan mengorbankan kemanusiaan kita, para pekerja.
Untuk menjawab pertanyaan ini, manusia modern yang dengan sengaja ‘diciptakan’ oleh kapitalisme untuk berpikir picik, akan dengan enteng menjawab: ‘di kota-kota sudah berderet mal, tempat kita berwaktu senggang secara bebas, secara terbuka!’ Manusia modern mempersilahkan kita ke mal. Tempat segala macam imajinasi manusia ada di sana. Walaupun perkenan ini dilihat secara kritis oleh Zygmunt Bauman (Celia Lury;1996;7) bahwa ‘semua komoditas (yang dipajang di gerai-gerai mal) mempunyai label harga yang melekat. Label harga ini menyeleksi tempat untuk konsumen potensial. Mereka tidak secara langsung menentukan keputusan konsumen yang memang perlahan-lahan akan diambil; hal itu tetap bebas. Tetapi mereka menetapkan batas antara realita dan kelayakan; batas yang tidak dapat dilampaui oleh konsumen. Di balik keseimbangan kesempatan yang dipromosikan dan diiklankan oleh pasar, tersembunyi praktek ketidak seimbangan konsumsi yaitu, berbagai tingkat perbedaan tajam dalam praktek kebebasan memilih’.
Masyarakat-Pelahap-Waktu senggang?
Sejak era sosiologi klasik, sosiolog Amerika, Torstein Veblen, menemukan kelas dalam masyarakat Amerika yang diberi nama ‘kelas waktu senggang’ dengan satu ciri mendasar; kelas yang ditandai dengan konsumsi yang berlebihan. Martin J Lee dalam bukunya Budaya Konsumen Terlahir Kembali (2006; ii) mengemukakan satu kelas masyarakat baru yang lahir dari haru biru proses kerja; masyarakat-pelahap-waktu senggang (leisure society). Masyarakat dengan means of consumtion (sarana konsumsi) baru (Baudrilard;2004). Apakah yang dimaksud kedua sosiolog ini seperti yang kita temukan sekarang di sekitar kita? Masyarakat seperti dalam data berikut dari sejumlah mal di Makassar: Mal Ratu Indah yang dikunjungi 12000 orang perhari atau sama dengan sekitar 4,5 juta pertahun. Mal Panakukang dikunjungi 15 ribu orang perhari atau bila dikalikan, pertahun bisa melebihi 5 juta orang. Data ini menunjukkan angka jumlah pengunjung tahun 2006. Atau pengunjung mal GTC, misalnya pada tahun 2007 berjumlah 3.848.763.
Bila benar inilah kelas waku senggang ini maka telah terjadi pergeseran makna waktu senggang. Dari sebuah hal yang produktif menjadi hal yang konsumtif. Telah lahir kelas yang berhasil mengekspresikan waktu senggangnya dengan terpaksa dan penuh tekanan. Dengan penghakiman biaya dan harga-harga di mal, dengan kekuatan media yang terus menyerbu bawah sadar kita untuk terus berbelanja, dengan berlimpahnya barang-barang produksi sampai ke dalam hal yang paling pribadi kemanusiaan kita.
Waktu senggang yang kita geluti saat ini adalah waktu sengang yang mahal, yang harus kita beli seharga diri kita di depan objek-objek konsumsi itu. Akhirnya waktu senggang, saat ini, hanyalah bagian lain dari konsumsi massal gila-gilaan. Konsumsi simbolik yang kita bayarkan demi sepotong harga yang akan didapatkan secara social. Hal ini menunjukkan bahwa waktu senggang pun sudah berubah menjadi kerja. Kata Baudrilard dalam Masyarakat Konsumsi (2004;203) ‘waktu adalah nilai tukar itu sendiri’. Dengan mengkonsumsi waktu senggang consumer ini sesungguhnya kita sedang bekerja dan berupaya meraih simbolitas diri. Kita mewakilkan diri kita kepada apa yang kita geluti (baca: konsumsi).
Kapitalisme konsumen telah berhasil mencuri waktu senggang kita dan mengantinya (secara psikologis) dengan kerja simbolis. Pada titik inilah nampaknya waktu senggang bergeser menjadi konsumsi. Dan konsumsi memiliki biaya sendiri-sendiri. Dan biaya itu memiliki jerih payah kerjanya masing-masing. Akhirnya, bahkan, waktu senggang kita telah berubah menjadi kerja yang membosankan itu.
Kata Milan Kundera dalam novelnya Identity ada tiga jenis kebosanan: kebosanan pasif: gadis yang berdansa dan menguap itu; kebosanan aktif: para pecinta layangan itu; kebosanan yang memberontak: anak muda yang membakari mobil dan meremuk etalase toko. Kebosanan telah menimpa manusia-manusia modern atas kerja dan rutinitas yang materialis.
‘Bermalas-malasan’
Kalau begitu, mungkin tidaklah keliru kalau ada yang menganjurkan kita untuk malas. Sebab kerajinan kita bekerja telah melucuti banyak hal dari kemanusiaan kita.
Begini seruan klasik Paul Lafargue dalam sebuah buku kecilnya Hak Untuk Malas (2008; 5) untuk kita ‘marilah kita malas dalam segala hal, kecuali untuk urusan cinta dan minum, kecuali untuk bermalas-malasan’.
Mungkin ini teguran bagi kita yang terus menerus bekerja mengejar banyak hal, sambil terus kehilangan banyak hal yang juga sungguh penting; cinta dan minum dalam waktu senggang kita! Bagi saya ini aspek hidup kita yang juga penting.
Daftar Bacaan
Fransiscus Simon Kebudayaan dan Waktu Senggang (Yogyakarta; Jalasutra, 2007)
Paul Lafaurge Hak Untuk Malas (Yogyakarta; Jalasutra; 2008)
Celia Lury Buday Konsumen Jakarta; Gramedia, 1996)
Martin J Lee dalam bukunya Budaya Konsumen Terlahir Kembali (Yogyakarta; Kreasi Wacana; 2006)
Jean P Baudrilard dalam Masyarakat Konsumsi (Yogyakarta; Kreasi Wacana; 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar