"Tujuan dari propaganda modern
adalah tidak lagi mengubah opini,
tetapi membangunkan sebuah kepercayaan yang aktif
terhadap mitos"

(Jacques Ellul)

Senin, 07 Februari 2011

Menjual "CInta" Mendulang Rupiah

          Narasi Picisan

Limpahan kisah cinta pereda nelangsa.
Keberterimaan dan kebermaknaan cinta
mengalun dalam tembang, melenggang dalam tari,
menderu dalam bunyi. Kisah-kisah cinta merembes
dengan gelimang kata mirip untaian sabda suci
ala pendeta dan raja.  Sastra sakral pun ditebarkan
untuk penghidupan, melegakan spiritualitas,
kontrol kultural, dan semaian ideologis.

Politik bunyi pun seolah bergerak dari pusat,
menyebar dan memancar sebagai imperatif.
Cinta terbingkai dalam taburan misi dan acuan
pelik atas peran dan risiko zaman.
Gerak mengejawantah sebagai pengucapan cinta,
menyapa lewat tubuh, mengantarkan ziarah imajinasi
membumi-melangit. Pensakralan dalam latar kekuasaan
diafirmasi sebagai pembakuan untuk iman dan amalan rakyat.

Episode dalam remang sejarah ini mirip monumen cinta
sebagai akar atau asal. Kita melampaui zaman-zaman itu
seperti menggerakkan kaki tergesa,
menghembuskan nafas dalam gerah,
menuntun tubuh untuk tak istirah.
Kisah-kisah cinta menyusup lembut-kasar
memakai pelbagai wajah, nama, dan klaim.

Telisik kitab-kitab cinta dari Timur dan Barat
menyulut gairah pemaknaan dalam tiruan,
manipulasi, dan olahan-ulang. Kondisi ini menggetarkan definisi
dalam ketidakstabilan dan rancu adalah kondisi tak terelakkan.

Tokoh-tokoh mengental sebagai ikon, peristiwa jadi keajabian,
atau kalimat menjadi konstitusi.  Segala urusan cinta
seolah peribadatan universal dengan topangan-topangan suci
dan abadi. Kita meminggirkan diri untuk pengisahan buruh-buruh
kasar di kota-kota besar saat suntuk membaca
novel-novel Motinggo Busye. Mereka miskin dan serakah
kisah. Keberanian membelanjakan uang untuk novel-novel
cinta picisan mencipta kultur kemiskinan kota
dalam jerat imajinasi. Buruh atau kuli adalah jamaah novel.
Kisah cinta berkelindan lincah, mengondisikan hidup,
dan menyelamatkan represi politik-ekonomi-sosial.

Novel-novel cinta picisan mirip paket penyelamatan hidup
dan damba atas ilusi-ilusi menampik kemiskinan.
Kalangan remaja pun memuja cinta
dalam pensituasian ideologi kultur kota.
Eddy D Iskandar memroduksi novel-novel cinta,
memberi sihir, membuka jalan romantisme.
Para pembaca novel-novel cinta
seolah membatalkan pembatasan nasib, kelas,
jenis kelamin, alamat, atau agama.

Kondisi ini menerangkan kelihaian kisah cinta
menabur berkah atau petaka. Dunia hidup,
geliat imajinasi, dan antologi pengharapan
hadir bebarengan dengan keputusasaan, dendam,
iri, dan nelangsa. Di bilik rumah, jalan, dan warung makan
pun mengalun tembang-tembang Waldjinah, Mus Mulyadi,
Didi Kempot, Manthous, dan Cak Dikin.

Hajatan di kampung-kampung merayakan lagu-lagu
cinta picisan. Keluhan atas nasib hidup mendapat penghiburan
dari campursari ala Manthous. Ratapan lelaki
atas kepicikan cinta terlantunkan oleh Didi Kempot.
Narasi cinta menjelma hembusan nafas keseharian.
Cinta adalah ibadah. Sisipan-sisipan itu lekas dihabisi
oleh serakah cinta dalam televisi.

Nasib penonton pendamba sorga cinta
memusat ke televisi. Peribadatan dalam lagu,
film, atau bacaan teringkas dalam sinetron dan film-televisi.
Ibadah harian ini meringkus tubuh, menyembunyikan imajinasi,
dan memacetkan nalar. Puja cinta membatalkan
kemiskinan, kebodogan, kemalasan.
Cinta terpahamkan sebagai dalil eksploitatif.

Uang adalah dunia tak selesai kendati acara selesai
dan mematikan penonton. Kita menerima semua ini
dengan berantakan. Hasrat kebenaran, kehormatan,
kemuliaan, kesantunan, dan kearifan menjadi lema-lema asing
dalam kamus mutakhir. Perayaan cinta menilep
kemauan memartabatkan diri. Para pengemis cinta
dilahirkan dalam hitungan detik
tanpa harus mengingat lagu Jhonny Iskandar.

Dendang sengsara cinta ala dangdut dan campursari
masih terus mengajak para penjoget meluluhkan diri
dalam cinta. Kita bakal lelah menarasikan semua itu
dengan kekenesan referensi dan pengalaman.
Puisi-puisi cinta juga bangkrut untuk mengembalikan kita
dalam renungan dan pensucian diri.
Puisi-puisi cinta mungkin telah memalukan dan melenakan.
Begitu.      


Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad dan Pawon Sastra.
Tulisan-tulisan dimuat di Kompas, Koran Tempo,
Media Indonesia,Seputar Indonesia, Jawa Pos, Pikiran Rakyat,
Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solopos..
Penulis Risalah Abad (2oo9) dan Sastra Bergelimang Makna (2o1o).
Telp. o85647121744 dan email bandungmawardi@yahoo.co.id







   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar