Tor SKP 2011 Kuliah Ketiga
Menjual “Cinta” Mendulang Rupiah
(Komodifikasi Cinta dan Etika Moralitas Modern: Sebuah Kritik Kebudayaan)
“Karena ia mungkin dapat dicintai,
Tetapi bukan dipikirkan.
Dengan cinta ia dapat ditangkap dan dipegang,
Tetapi tidak dengan berpikir”
(The Cloud of Unknowing, Teks Mistik Abad Pertengahan)
Perbincangan dan pergulatan makna tentang ‘cinta’ tidak bisa dipungkiri menjadi problem kekhasan manusia. Sejak lama ia begitu mempengaruhi bukan hanya dalam perbincangan keseharian, tetapi ikut masuk dalam ranah pendalaman-pendalaman yang lebih filosofis. Pembicaraan tentangnya amat dekat dengan berbagai tema tentang kebijaksanaan, etika, moralitas, agama dan bahkan ideologi. Tidak salah perenungan terhadapnya menempatkan posisi amat khusus kecuali perbincangan-perbincangan pada dimensi yang lain seperti politik, ekonomi, maupun problem sosial yang lain.
Poin pada tema khusus ini, tidak sedang mau membincangkan definisi dan pengertian tentang ‘cinta’ dengan berbagai rumusannya. Konteks yang menjadi sangat penting adalah refleksi terhadap situasi hari-hari ini yang makin dipenuhi oleh maha besar problem kemanusiaan yang bisa dikatakan amat jauh dengan apa yang diharapkan oleh makna dan pengertian ‘cinta’. Masyarakat modern saat ini kembali berhadapan dengan krisis kemanusiaan yang begitu kompleks. Kohesifitas, solidaritas, kebersamaan, dan rasa berbagi, empati, kepedulian dan berbagai dimensi etika dan moralitas seakan sedang diuji oleh situasi arus besar kebudayaan yang makin berubah.
Ada situasi dekadensi yang luar biasa. Makna penghayatan tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’ bisa merealisasikan ujud ‘cinta kasih’ kemudian digusur sekedar sebagai persoalan ‘domestik privat’ yang makin mengering. Jikapun ia diangkat dalam perbincangan ‘publik’, masih sebatas hanya menjadi kosumsi terbatas. Keprihatinan ini makin bertambah, saat dominasi kebudayaan pasar meletakkannya menjadi sekedar ‘barang jualan’ untuk memenuhi nalar akumulasi profit. Fenomena ini tak kalah jauh dengan nasib berbagai ‘ritus sakral keagamaan’ yang begitu saja mudah disulap oleh logika pasar menjadi momentum untuk membangun kesempatan pasar. Ada gejala ‘komodifikasi’ tak hanya pada simbol-simbol material tetapi tetapi bahkan berbagai nilai, prinsip dan fundamental kebudayaan hidup manusia seperti ‘kebaikan’, ‘kebenaran’ ataupun ‘kebahagiaan’.
Tidak salah jika Jaques Derrida dalam bukunya: Given Time I : Counterfait Money (1992) pernah mengulas pergeseran makna ini. Apa yang ia contohkan adalah sikap ‘memberi’. Memberi yang merupakan ekspresi ‘kesalehan’, sikap ‘altruisme’ (kepedulian), dan bentuk perhatian pada orang lain berubah maknanya dalam ‘logika ekonomi’. Memberi sebagai nilai keutamaan berubah menjadi halnya sebuah transaksi ekonomi dengan nalar harapan imbalan yang diinginkan. Nasib yang sama juga menimpa pada makna ‘cinta kasih’. Apa yang hadir menjadi pemaknaan tidak lepas dari bagaimana sistem kebudayaan pasar melibatkan diri untuk mendefinisikan. Ia bisa menjadi tema yang sarat menjadi magnet keuntungan dan sekaligus penyeragaman gaya hidup.
Hampir tidak bisa dipungkiri bahwa tema tentang ‘cinta” beserta berbagai renik-reniknya merupakan daya pikat yang luar biasa bagi pasar bisnis apapun. Film, buku, musik, novel, drama maupun identitas modern saat ini selalu berharap pada magnet ini. Simbol-simbol yang disertakan juga diam-diam selalu membangun orientasi pada hukum nalar ekonomi. Meminjam pengertian dari Ella Shohat dan Robert Stam, bahwa kekuatan ‘kebudayaan pasar’ (baca: budaya korporasi) yang banyak dipompa oleh media tak lagi hanya menyetel agenda, tetapi mengubah hasrat, memory dan fantasy masyarakat.
Dalam disiplin nalar ekonomi ini maka ketulusan, kebajikan dan pengorbanan tak banyak mendapat tempat. Bahkan pada dimensi yang lebih luas kadang disebut sebagai sifat ‘kenaifan’. Semua kewajiban moral untuk mencintai sesama manusia menjadi butuh imbalan dan prasyarat pamrihnya. Di titik inilah menjadi penting untuk mengeksplorasi gejala pergeseran ini untuk melihat ke arah mana keadaban manusia berjalan sekaligus membaca kemungkinan etik moralitas yang mempu melampui berbagai degradasi ini. Jika kita sadar akan posisi krisis ini, meminjam kalimat Guy Debord, bagaimana kita akan bisa membangunkan tidur masyarakat modern yang telah lama larut dalam mimpi buruknya. Tentu kembali mendalamkan refleksi pada kerja-kerja pemikiran yang lebih kritis menjadi penting.
Tidak salah kiranya jika kita bisa menengok berbagai refleksi pemikiran yang begitu mendalam mengenai keutamaan ‘cinta’ dan diajak memahami ‘cinta’ dalam dimensinya yang lebih luas. Ini bagian cara juga untuk mengajak sejenak merenungkan keterbukaan akan realitas modernitas yang semakin membuat miris. Ia juga bisa menjaga kita dari kecenderungan untuk selalu ‘mengabsurdkan’ berbagai dimensi hidup kita saat ini. Taruhlah bahwa tema ini untuk menjadi dimensi etis untuk mengawal keadaban manusia sehingga tidak malah menjadi tempat subur bagi ‘homo homini lupus’ (manusia adalah srigala bagi manusia yang lain), tetapi bisa menjadi ruang penuh keutamaan yang menjadi fondasi bermakna. Harapan bahwa ‘homo homini flos’ (manusia adalah bunga bagi manusia lain) tidaklah hanya menjadi ilusi dan mimpi.
Kalimat perenungan yang pernah dilontarkan oleh Leibniz, bahwa ‘cinta’ adalah ‘delectatio in filicitate alterius” (kegembiraan karena kebahagiaan orang lain) menjadi salah satu iktiar yang amat berguna. Cinta adalah kebahagiaan dalam kebahagiaan dia yang dicintai. Hampir senada dengan secuil perenungan di atas, Robert Spaemann salah seorang pemikir etika dan moralitas melihat aspek yang amat mendasar pada keutamaan ‘cinta’. Baginya, tempat asali bagi segala ‘moralitas’ adalah ‘cinta’. Ia melampaui kehendak diri egois dan kepentingan subjektif. Mau terbuka mata bagi realitas di luar sana dan terutama juga bagi realitas ‘orang lain’. Dengan begitu mampu membuka dasar empati, kepedulian, solidaritas dan sekaligus kewajiban penuh untuk berbagi dan menolong orang lain.
Bukankah krisis masyarakat modern hari-hari ini tidak jauh dari kebalikan spirit mencintai itu. Apa yang diagungkan tak lagi kebersamaan dan empati tetapi pemberhalaan diri, sikap egois dan juga saling mengalahkan satu sama lain. Tidak hanya dalam dunia politik yang lebih vulgar menggambarkan bagiamana manusia dengan mudah menjadi pemangsa bagi yang lain, tetapi dalam keseharian kita dengan totalitas hidup yang makin terfragmentasi, terbelah dan teralienasi, manusia mulai menepi dan menghindar untuk mau sedikit waktu melibatkan diri untuk kebahagian orang lain.
Jika sudah menyadari itu, maka krisis tentang moralitas modern saat ini tak lain juga akan menghadapkan kita pada sebuah krisis tentang keutamaan cinta yang tak lagi menjadi elan dan energi bagi keadaban ini. Orang dengan mudah akan membenarkan diri bahwa sikap saling membunuh adalah hal yang biasa dalam lautan persoalan yang serba rumit. Padahal seperti yang pernah diungkapkan oleh Rene Girard bahwa “tidak mencintai sesama dan membunuh sesama itu adalah satu dan sama (Not to Love one’s brother and the kill him are the same thing”. Inilah poin penting untuk kita refleksikan dan diskusikan.
“Ubi amor, ibi oculus
(di mana ada cinta di situ ada mata)”
(Richard S. Victor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar