"Tujuan dari propaganda modern
adalah tidak lagi mengubah opini,
tetapi membangunkan sebuah kepercayaan yang aktif
terhadap mitos"

(Jacques Ellul)

Rabu, 26 Januari 2011

Kemiskinan Bukan Sebatas Problem Statistik Pemerintah


Kemiskinan  
Bukan Sebatas Problem Statistik Pemerintah[1]

Oleh : Agus Riyanto[2]

Masih hangat dalam memori kita sebuah tragedi kemanusiaan hari senin, tanggal 15 September 2010, tepatnya di wilayah Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Pasuruan merupakan sebuah kabupaten dengan jumlah penduduk 1.419.717 jiwa (Tahun 2003). Wilayah yang terdiri dari dua puluh empat kecamatan ini, menurut [klaim] BPS [Badan Pusat Statistik] memiliki angka kemiskinan total sebesar 127.745 jiwa dengan 3 kategorisasi yaitu sangat miskin, miskin dan Hampir miskin.[3]
 
Insiden pilu mewarnai bulan Ramadhan di Pasuruan. Ratusan orang terjepit di antara pagar, banyak yang berteriak. Belasan orang tersungkur terinjak-injak. Sebanyak 21 orang tewas dan banyak yang pingsan serta dilarikan ke rumah sakit, setelah berdesakan dan terinjak saat berebut zakat dari dermawan bernama H Saikhon di Gang Pepaya, Jalan dr Wahidin, Kelurahan Purutrejo, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur.[4] Prosesi sedekah maut ini menuai banyak sorotan dari berbagai kalangan termasuk munculnya tanggapan bahwa tragedi ini akibat kelalaian panitia penyelenggara, karena pada waktu itu panitia tidak melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dan kepolisian setempat. 

Argumentasi kurangnya koordinasi panitia dengan aparat kepolisian atau pemda setempat menjadi lemah bagi kita, ketika melihat bahwa kasus serupa terjadi diistana negara dalam acara open house presiden. Dalam kasus open house tentu tidak kurang-kurangnya masalah tingkat kerja pengamanan dan hal yang berbau dengan penertiban masyarakat sipil, bahkan merupakan pengaman dan pengatur ketertiban dalam kategorisasi nomer wahid di negeri ini. Adalah Jhony Malela, tunanetra asal Sulawesi menjadi korban Open House SBY. Hanya karena ingin mendapatkan angpow sebesar 300 ribu rupiah dari orang nomer satu dinegera ini, Jhony harus kehilangan nyawa. Pria yang berusia 45 tahun, tidak bisa bergerak ditengah-tengah antrean warga yang tetap berdesakan dan saling dorong,“Dia nggak bisa mundur karena keinjak-keinjak”.[5]


Membuka Mata Kita Atas Realitas Kemiskinan

Dua kasus yang dipaparkan diatas tidak cukup dilihat dari siapa penyelenggaranya, bagaimana tingkat pengamanannya dan berapa jumlah korban nyawa yang hilang, tetapi penting kiranya kita perlu melihat dari sudut pandang berbeda, yaitu sudut pandang problem kemiskinannya. Artinya kasus ini mengisyaratkan kemiskinan begitu nyata di bangsa ini yang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kasus ini tentu hanya secuil puncak gunung es dari sederet berbagai kasus kemiskinan yang ada dipenjuru negeri yang konon dalam liriknya koesplus sebagai “tanah surga kail dan jala cukup menghidupi  mu”. 

Ironis ketika realitas kemiskinan [korban pembagian zakat] itu terjadi dalam kurun saat ini, mungkin jika tragedi kematian akibat antrian pembagian zakat/bantuan terjadi pada bangsa yang dalam kondisi resesi serius atau terjadi perang berkepanjangan hal ini mungkin ketemu didalam logika serta akal sehat kita. Bayangankan dulu mungkin ketika kita mendengar kelaparan, antrian panjang bantuan sembako, gizi buruk atau busung lapar langsung tertuju pada bangsa-bangsa Afrika [misalnya: Kelaparan di Ethiopia, Krisis di Dafur dll], yaitu daerah-baerah yang sedang mengalami perang saudara berkepanjangan atau kekeringan akibat kemarau panjang yang menyebabkan krisis pangan hebat. Ternyata perlu disadari bahwa sekarang agaknya realitas kemiskinan telah bergeser mendekat dengan kehidupan sekitar kita. Perlu disadari bagi kita semua realitas kemiskinan ternyata sudah sangat dekat ketika kita lihat dan rasakan dengan mata, pikiran, hati dan keberpihakan kita.

Dalam perspektif ekonomi, Kemiskinan didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.[6]
 
Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial  mengarah  pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.[7]

Baik tidaknya keadaan kondisi kemiskinan ini merupakan penilaian yang bersifat subyektif. Sang penguasa tentu akan memberi nilai plus terhadap realitas sperti ini, dan kalaupun hal ini menjadi masalah, maka hal tersebut dikatakan sebagai proses yang harus dilewati, bukan soal prinsip yang perlu diributkan. Bahkan penguasa tidak segan-segan menggunakan propaganda murahan untuk menciptakan kesan bahwa realitas hari ini adalah yang terbaik dari masa lalu.[8]

Tidak mengherankan bila pemerintah melalui Bappenas menggumumkan bahwa kemiskinan tahun ini menurun secara statistik [angka]. Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010).[9]

Bappenas Klaim, Angka Kemiskinan 2010 menurun?

Klaim Bappenas terjadi penurunan angka kemiskinan tahun 2010 yaitu menurun menjadi 31 Juta jiwa (13,3%) dibandingkan tahun 2009 sebesar 32,5 juta jiwa (14,15%) namun ini hanya permasalahan angka [statistik] semata, padahal angka seringkali gagal mendiskripsikan persoalan kemanusiaan sehingga angka menjadi sumber dehumanisasi. Lihat data kemiskinan yang dikeluarkan bappenas dari tahun 2004-2010 adalah sebagai berikut:

Tabel
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Menurut Daerah, 2004-2010
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (Juta)
Prosentase Penduduk Miskin
Desa
Kota
Desa + Kota
Desa
Kota
Desa + Kota
1
2
3
4
5
6
7
2004
11,40
24,80
36,10
12,13
20,11
16,66
2005
12,40
22,70
35,10
11,68
19,98
15,97
2006
14,49
24,81
39,30
13,47
21,81
17,75
2007
14,56
23,61
37,17
12,52
20,37
16,58
2008
13,77
22,19
34,96
11,65
18,93
15,42
2009
12,91
20,62
32,53
10,72
17,35
14,15
2010
11,10
19,93
31,02
9,87
16,56
13,33
Sumber : Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

Guna memperjelas pembacaan kita berikut adalaha penjelasan teknis dan sumber datanya:
a)      Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
b)      Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.

c)      Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

d)     Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

e)      Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2010 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Panel Modul Konsumsi Maret 2010. Jumlah sampel sebesar 68.000 rumah tangga dimaksudkan supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.[10]

Data-data di atas yang selalu digunakan sebagai senjata andalan pemeritah untuk menghibur world bank pada setiap annual report atau menjadi obat halusinasi rakyat supaya melupakan sulitnya mencari pekerjaan, sukarnya mendapatkan pendidikan bagi anak-anak mereka atau keinginan makan-makanan yang cukup gizi. pengalaman tentang kepalsuan setidaknya kecurigaan kepada pemerintah kita belajar dari penulis buku “Confessions of an Economic Hit Man John Perkins tentang manipulasi laporan ke lembaga International (IMF).

Kontradiksi Antara Data Kemiskinan dan BLT 

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan, penurunan jumlah penduduk miskin pada Maret 2010 lebih lambat dibanding pada Maret 2009. Jumlah penduduk miskin selama Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Sedangkan pada Maret 2010 turun menjadi 31,02 juta orang. Penurunannya hanya 13,33 persen. Sebelumnya, pada Maret 2008 jumlah penduduk miskin mencapai 34,96 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan Maret 2009 yang sebanyak 32,53 juta jiwa, maka penurunannya mencapai 14,15 persen. Penurunan jumlah penduduk miskin tahun lalu itu sebanyak 2,43 juta jiwa, sedangkan tahun ini hanya turun 1,51 juta jiwa. "Kalau dulu masih ada bantuan langsung tunai (BLT) dan harga bahan makanan kenaikannya tidak terlalu tinggi, sehingga garis kemiskinan tidak naik juga. Rusman menilai, program BLT cukup sukses mengurangi jumlah penduduk yang miskin. Sedangkan selama Maret 2009-Maret 2010 garis kemiskinan naik sebesar 5,72 persen, yaitu dari Rp 200.262 per orang per bulan pada Maret 2009 menjadi Rp 211.726 per orang per bulan.[11]

Berbeda dengan pernyataan kepala Badan Pusat Statistik (BPS) tentang arti peran BTL untuk menekan angka kemiskinan, dikalangan bawah BLT malah memunculkan problem konflik horisontal karena kecemburuan antara yang menerima dengan yang tidak kondisi itu seringkali dikeluhkan oleh aparatur desa tingkat paling bawah yaitu RT. Dari segi jumlah dengan uang sebesar 300ribu rupiah untuk tiga bulan jelas tidak mampu mencover kebutuhan penerimanya. Menurut Iman Sugana, program pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya dengan program yang sifatnya sementara sebagaimana dilakukan pemerintah dengan program BLT, KUR, atau lainnya. "Program BLT, KUR, dan sejenisnya itu hanya politis, meningkat menjelang pemilu, setelah itu kendor lagi. Kita sebagai bangsa besar sudah harus mengatasi kemiskinan dengan program yang tepat dan sesuai dengan prinsip kemandirian bangsa.[12]

Memahami Problem Laten Kemiskinan struktural

Selama ini kita di ninabobokan oleh pernyataan-pernyataan bahwa indonesia oleh bangsa yang kaya. Cara pandang seperti ini perlu diklarifikasi karena kita tidak sadar bahwa nyatanya kita sudah berubah misalnya dari pengekspor minyak ke pengimpor, hutan sekarang sudah gundul, ikan dan kekayaan laut lain serta pasir dicuri orang.  Walau negeri ini secara potensial memang kaya sumber daya yang melimpah telah menguap karena inefesiensi disegala bidang dan mewabahnya korupsi mulai dari tingkatan paling bawah hingga tingkat paling atas. Multikrisis yang dialami oleh bangsa indonesia tidak bisa dijelaskan melalui pendekatan monokausal, sebab faktor-faktor yang terlibat sangat banyak dan masalah-masalah yang hendak dipecahkan juga sangat kompleks, saling terkait satu sama lainnya. Ada masalah nasional dan international, termasuk didalamnya faktor sejarah penjajahan belanda. Ada masalah yang terkait dengan ekonomi, politik, budaya, dan hukum.[13]
 
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih.[14] Dari sekian banyak faktor penyebab, faktor yang mampu menjelaskan situasi yang ada adalah sistem ekonomi dan politik yang dijalankan semala ini. Indonesia tidak memiliki institusi yang berfungsi dengan baik dan stabil. Lebih tegas lagi, Indonesia tidak memiliki dalam bahasa F.A Hayek sebagai Wealth Creations Institutions.[15]
 
Pemerintah Perlu Merubah cara pandang Tentang kemiskin!

Pemerintah perlu merubah cara pandang tentang arti kemiskinan bukan angka statistik semata yang falsifikatif, tapi bagaimana kemiskinan adalah probelem kebutuhan dasar warga negaranga dalam konteks ekonomi di abad ini, dimana untuk kategori sejahtera orang hidup bukan hanya dilihat dari jumlah asupan kkalori makanannya dalam perhitungan kasar semata, pemerintan juga harus menyediakan kebutuhan akses dalam lingkup struktur sosial mereka.  Sehingga penyedian lapangan pekerjaan bagi masyarakat, memberikan akses pendidikan atau memberikan jaminan kesehatan pada setiap warganya adalah bentuk penanggulangan kemiskinan.  


Penutup

Idealisme membangun jati-diri keindonesiaan yang dinamis belum tercapai setelah sekian lama kita ber-Indonesia. Tetapi itu tidak berarti lebih baik kita berpikir tentang membangun masyarakat tanpa negara (stateless society). Karena substansi kemelut bukan soal perlu atau tidaknya negara-bangsa melainkan bagaimana membangunnya. Artinya, keindonesiaan kita selama ini gagal meletakkan fondasi yang mapan untuk mandiri dan mengembangkan diri (nation and character building) sebagai sebuah negara-bangsa. Inilah yang perlu direnungkan kembali pada diri kita generasi muda [gerakan mahasiswa], kelompok elit bangsa dan seluruh entitas bangsa tanpa terkecuali, Kita perlu merenung arti sebuah kemerdekaan kita.[16]
Bahwa 17 Agustus tidak saja momen mengenang eforia lepas dari belenggu kolonialisme tetapi merupakan titik-balik yang kritis dalam membangun jati-diri sebuah bangsa merdeka yang berkiblat pada amanat penderitaan rakyat. pasangan presiden-wakil presiden yang menang berkontestasi hari ini dituntut memiliki komitmen moral yang tinggi dalam membangun jati-diri bangsa dan pola seperti ini harus terus dan terus dilakukan pemimpin-pemimpin bangsa kita kedepan. Gejolak kemiskinan, pangangguran dan kriminalitas yang mengeskalasi hanyalah persoalan di permukaan yang berurat-akar pada persoalan pokok yaitu gagalnya membangun kebersamaan/solidaritas sebagai sebuah negara-bangsa.

-000-


[1] . Paper ini disampaikan dalam “Sekolah Kebudayaan Populer II, dengan tema : Ketika Kemiskinan Jadi Tontonan” yang diselenggarakan oleh DPC PMKRI Kota Surakarta “Santo Paulus”. Minggu 23 Januari 2011.
[2] . Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta dan  Ketua Umum PMII Cabang Kota Surakarta.
[3] . Disarikan dari http://kfm.depsos.go.id/mod.php?mod=tabulasi&opsi=pilihprov, diakses tanggal 21 Januari 2011.
[5] .Di sarikan dari http://www.topix.com/forum/world/malaysia/TMQ8F2T4R5IHQGHIT. Diakses : 21 Januari 2011.
[6] . Lih. Kemiskinan Kultural Buah Dari Kemiskinan Struktual. http://rahmatullah.banten-institute.org/2010/04/kemiskinan-kultural-buah-dari.html. diakses 21 Januari 2011.
[7] . Lih. Ibid
[8] . Mahardika,Timur.2000. Gerakan Massa, Pengupayaan Demokrasi dan Keadilan Secara Damai. Lentera Pustaka Utama. Jogyakarta. Hal.6-7
[9] . Berita Resmi Statistik Badan Pusat Satistik, No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010 . hal 1.
[10] . Lih. Ibid hal. 6. Bappenas dan BPS menggunakan Dasar Perhitungan Statistik angka Garis Kemiskinan (GK) dari komponen Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan.
[12] . Lih. Ibid.
[13] . Lih. Deliarnov. Perlunya Indonesia Mengambil Sikap. Dalam Ekonomi Politik. hal 218 - 219
[14] . Lih. Kemiskinan Kultural Buah Dari Kemiskinan Struktual. http://rahmatullah.banten-institute.org/2010/04/kemiskinan-kultural-buah-dari.html.  Diakses 21 Januari 2010.
[15] .Lih. Ibid. hal. 219
[16] . Amanuloh, Naeni dkk. Sejarah Negara Bangsa Indonesia, dalam Dokumen Modul Materi Pengkaderan PB. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar