Ketika SMS Menjadi “Candu”[1]
Oleh : Rosalia Prismarini Nurdiarti, S.Sos[2]
Adalah Reina yang di saat pesta ulang tahunnya sibuk ber-SMS-an dengan teman baiknya yang duduk di sebelah, padahal saat itu orang- orang sedang menyanyi untuknya. Tidak hanya itu, dia bahkan langsung nge-rumpi lewat SMS dengan temannya. Reina, ABG berumur 13 tahun dari California itu dalam satu bulan telah mengirim sebanyak 14.528 kali.[3] Menurut hitungan yang muncul dalam catatan providernya, Reina dalam satu hari mengirim 484 sms, yang berarti satu sms setiap semenit atau dua menit di luar jam tidur. Saat sang ayah menanyai soal kebiasaan ber-SMS itu, dia menjawab “Wah, banyak temanku berlangganan SMS tanpa batas. Aku kirimi mereka SMS lumayan banyak setiap saat. Waktu itu libur musim dingin dan aku sedang bosan.”[4]
Apa yang menjadi realitas seorang Reina di California, tentu dapat kita temukan pula dalam diri Reina – Reina di Indonesia. Disadari atau tidak, kita telah menghabiskan ratusan SMS dalam sehari. Jemari kita serasa lekat dengan keypad – keypad handphone itu. SMS sudah menjadi “gaya hidup”. Sebuah penelitian menemukan bahwa 87 % remaja pemilik ponsel tidur dengan ponsel di sisinya, tujuannya agar mereka bisa membalas SMS sepanjang malam.[5] Bahkan di waktu – waktu yang seharusnya “tidak memungkinkan” untuk ber-SMS, yakni saat makan, di kamar mandi, menyetir, mengendarai motor, pesawat (meski sudah ada larangan), berdesakan di kendaraan umum, mengantre, berjalan kaki atau di waktu lain saat diri kita “menghendaki”. Ironisnya SMS itu menyeruak dan menginterupsi ruang – ruang sosial kita. Jari ini dengan asyik mengetik saat rapat berlangsung, atau jeda sejenak waktu beribadah untuk membalas SMS, hingga mengabaikan orang – orang terdekat yang berbicara dan hadir di dekat kita. Sampai – sampai terlontar sebuah joke “SMS mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.” Meski di ruang lain kita barangkali mengamini bila SMS “memudahkan” komunikasi kita, pesan yang disampaikan lebih cepat diterima dan bisa membalasnya kapanpun dan dimanapun kita berada. Lalu, apakah keberlangsungan dan kualitas relasi manusia akan bermuara pada 160 karkater SMS di layar HP kita ? Menarik untuk menelisik “ramuan – ramuan apa yang membuat SMS menjadi “candu” dalam hidup kita.
Dalam beberapa artikel, opini dan perbincangan yang berkembang, banyak variabel yang terkait dengan keberadaan SMS ini. Kelahiran dan pertumbuhannya yang pesat tentu tidak bisa dilepaskan dari “metamorfosa” handphone atau telepon seluler. Berawal dari sebuah produk teknologi canggih dan mahal, kini menjadi benda super biasa yang terjangkau dan ada di setiap genggaman semua lapisan masyarakat. Handphone murah ditawarkan, lengkap dengan iming – iming paket berhadiah (dengan kartu perdana), diskon, atau bahkan kredit tanpa bunga. Tak pelak layanan content provider yang menjadi “support system” dari seluler berlomba menawarkan berbagai fitur canggih, pulsa murah tanpa batas hingga free-talk gencar mencecar kita. Dari situlah SMS mendapat lahan subur untuk berkembang. Jargon “mudah, murah dan cepat” membawa SMS mengalir deras menuju sendi – sendi kehidupan kita. SMS sudah menjadi hobi, bahkan menjadi kebutuhan pokok. Orang rela menghabiskan ratusan ribu atau mungkin sampai jutaan rupiah hanya untuk SMS. Hingga membuat kita adiktif terhadapnya. Tidak hanya pesan penting dan genting, tapi juga pesan basa – basi, sekedar berrtanya “pa kbr, bro?” atau jawaban “ok” terkirim dalam setiap detiknya.
Jika ditelaah lebih jauh, SMS tidak hanya berhenti pada ketika huruf demi huruf, kata demi kata, tetapi dia merupakan “bagian kecil” dari semakin meroketnya teknologi. Dalam pandangan McLuhan, teknologi media telah berhasil mentransformasikan masyarakat – masyarakat manusia di dunia menjadi sebuah komunitas global tanpa dinding – dinding pembatas lama seperti ideologi poltik, agama dan nasionalitas.[6] New electronic media secara radikal telah telah merubah cara berpikir, perasaan dan cara bertindak. Kesemuanya mewujud dalam cara berbicara, logika berbahasa, tulisan, cara merasa hingga terekspresikan dalam tindakan. McLuhan menyimpulkan, secara spesifik perubahan cara komunikasi membentuk eksistensi manusia.[7] Kalau dulu pada masa berburu dan meramu orang – orang primitif mengumpulkan makanan untuk bertahan hidup dari keganasan alam, kini “orang modern” berlomba untuk mengumpulkan informasi agar tetap bisa bertahan dalam lingkungan hidup baru yang basis sosial masyarakatnya telah bergeser dari produksi barang dan jasa menjadi produksi informasi.[8]
Catatan ini tidak hendak mengupas secara komprehensif varibel – variabel apa yang membuat SMS menjadi semacam “endemi” dalam kehidupan kita. Paper ini cukup memotret gejala – gejala tereduksinya nalar berbahasa yang tercermin dalam kata dan rentetan “kalimat” SMS. Tulisan ini juga sedikit banyak akan memberikan kilas balik bagaimana SMS bermula hingga akhirnya menghegemoni hidup kita. Tentu aspek dan dimensi dari perkembangan teknologi serta industri layanan jasa ikut disertakan untuk memberikan gambaran bagaimana persoalan ini hadir. Harapannya catatan kecil ini mampu menggelitik kesadaran dan memacu kita untuk memberi kontribusi pada proses perjalanan sejarah hidup kita.
Kelahiran SMS Menuai Gejala “Mabuk” Teknologi
Awalnya, seorang insinyur berusia 30 tahun, Matti Makkonen yang bekerja pada perusahaan telekomunikasi Finnish di Finlandia, melontarkan ide tentang text messaging melalui jaringan telepon seluler berbasis GSM (Global System for Mobile Commmunications). Ide yang dicetuskan pada tahun 1982 tersebut dimatangkan dan dibahas berulang – ulang oleh pakar telekomunikasi GSM dunia. Setelah penyempurnaan di sana – sini, pada 3 Desember 1992 akhirnya sebuah Short Messaging Servise atau yang populer dengan SMS pertama dikirimkan. SMS “coba – coba” ini dikirim melalui komputer pribadi milik Neil Papworth dari Sema Group perusahaan konsultan IT di Inggris (sekarang salah satu unit dari Schlumberger Limited). Penerimanya Richard Jarvis dari perusahaan Vodafone Inggris di telepon selulernya. Isi pesan tersebut : Merry Christmas. Sebuah pesan yang “pas” untuk menandai kelahiran sesuatu yang fenomenal. Ketika pertama kali diperkenalkan SMS mencatat angka pesimistik. Masyarakat tidak merespon dan para petinggi telekomunikasi nyaris putus asa. Hingga tahun 1995, rata – rata satu pelanggan GSM hanya mengirim 0,4 pesan per bulan, bahkan tidak sampai satu SMS sebulan. Sampai tahun 2000 di Eropa angkanya masih jauh menggembirakan, hanya 35 SMS per pelangga per bulan. Namun setelah 5 – 10 tahun kemudian, konon di dunia sekarang ada sekitar 1,4 milyar pengguna telepon seluler. Dapat dipastikan 85 % dari jumlah itu menggunakan fasilitas SMS setiap hari. [9]
Di Indonesia booming SMS terjadi sejak 2002, saat itu ada sekitar 10 juta SMS terikirim setiap harinya. Setahun berarti ada 3,65 miliar SMS. Salah satu provider (Telkomsel) mencatat tarfik tertinggi dalam pengiriman SMS dengan jumalh 1,8 milyar saat memasuki awal 2011. Trafik naik 89 % jika dibandingkan awal tahun lalu, namun melonjak pesat 136 % dari hari biasa yang mencapai 763 juta. Anggap harga satu SMS Rp 150,- per sekali kirim, maka ada uang senilai 800 milyar lebih setahun. Kenaikan pengiriman SMS tersebut diantisipasi oleh salah satu provider (Telkomsel) dengan meningkatkan kapasitas SMS Centre dari 60.000 ribu SMS per detik tahun lalu, menjadi sanggup memproses 80.000 SMS per detik. Trafik SMS Telkomsel paling tinggi terjadi pada 31 Desember 2010 (950 juta SMS) dan tanggal 1 Januari 2011 (848 juta SMS).[10] Di Cina tahun 2002 ada 206 juta pengguna telepon seluler dan dalam setahun ada 90 miliar SMS bertebaran di Cina. Jika biaya SMS 0,01 yuan, maka nilai semua SMS di sana sembilan milyar yuan setahun atau lebih dari 2,5 trilyun rupiah.
Data – data kuantitatif mencatat angka yang fantastis atas jumlah terkirimnya SMS di tahun kebangkitannya di seluruh dunia. Sebagai contoh di Indonesia, tiap hari pengguna telepon seluler mengirimkan 20 juta SMS. Sampai pertengahan 2004, di seluruh dunia ada sekitar 500 milyar SMS yang berseliweran antar pengguna telepon seluler dalam setahunnya. [11] Melihat fenomena “gegap gempita” dari kemunculan SMS itu, betapa masyarakat kita sebenarnya tengah berada dalam zona mabuk teknologi. [12] Gejala zona mabuk teknologi ditengarai dari beberapa hal, pertama, kita lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai gizi. “Suplemen” batin merupakan bisnis besar, suplemen berbentuk buku, majalah New Age, acara keagamaan pada jam tayang utama, dan aneka pariwara yang sarat dengan janji – janji untuk menyederhanakan kehidupan kita yang rumit dan melenyapkan stress. Pembawa nilai – nilai tradisional dan kebijakan praktis, seperti keluarga besar, dan masyarakat semakin digantikan oleh kebudayaan populer. Secara besar – besaran kita sedang beralih ke teknologi infomasi, dan aneka buku how-to untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan mendasar. Kedua, kita takut sekaligus memuja teknologi, di titik tertentu kita takut ketinggalan zaman, merasa tertinggal oleh pesaing atau rekan sejawat, pada masa tertentu kita mendekapnya karena merasa sebagai sesuatu yang bisa membuat hidup kita atau bisnis kita lebih baik. Lalu pada ruang tertentu kita merasa frustasi tatkala teknologi tidak mampu memenuhi harapan itu. Ketiga, kita mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu. Keempat, kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. Kelima, kita mencintai teknologi dalam wujud mainan, misalnya kita memerlukan sebuah telepon genggam nokia dengan chasing yang bisa diganti – ganti agar sesuai dengan baju yang kita kenakan. Keenam, kita menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut. Teknologi dapat menciptakan jarak fisik dan jarak emosional serta merenggutkan kita dari kehidupan. [13]
Keenam gejala tersebut, memberikan diagnosa bahwa kita barangkali telah mabuk teknologi, salah satu atau beberapa dari gejala tersebut bisa muncul dalam keseharian kita. Atau mungkin kita telah mabuk SMS. Kebisingan teknologi baik secara harafiah maupun kiasan dapat benar – benar mengucilkan manusia dari sesamanya, dari alam dan dari diri kita sendiri. Telepon genggam dan internet berjanji menghubungkan kita dengan dunia. Namun, kapankah keduanya dianggap bermanfaat dan kapan keduanya berubah menjadi gangguan ?. Postman memperingatkan bahwa masing – masing teknologi media membawa ideologi yang melekat, yang itu siap untuk “diinjeksikan” kepada pengguna. Dalam ketergesaan kita untuk merangkul new media (media baru), tanpa disadari kita telah membuat perubahan dari tool – using culture menuju totalitarian-like culture yang secara total “digunakan oleh” alat. Postman bahkan meyakini, kita akan menjadi technopoly, sebuah terminologi budaya yang menggagas bahwa dunia dimonopoli oleh teknologi. Kita menjual jiwa kita kepada “setan teknokratik” yang merubah “kesetiaan” kita dari in God we trust to in technology we trust. Sebagai konsekuensinya, tradisi, adat – istiadat, kepercayaan, ritual dan agama harus berjuang untuk “kelanggengan” hidup mereka.[14]
Dengan hadirnya teknologi, dalam dunia yang ter-computerized, kita dengan mudah bisa mengubah dunia dengan mengubah realitas dalam layar monitor, memanipulasi antarmuka komputer. Lingkungan virtual tidak harus secara akurat membuat simulasi dunia nyata, melainkan ia jadi tampil “real” bagi pemakai komputer dalam konteks interaksi antara dirinya dengan lingkungan virtual tersebut. Realitas virtual tidak hanya ada dalam cyberspace, melainkan juga dalam kehidupan sehari – hari dan dengan syarat – syarat tertentu, bisa menjadi realitas kehidupan sehari – hari, ketika citra telah menggantikan realitas.[15] Masuknya SMS, pesan di ”layar virtual” ponsel kita telah menyelinap dalam ruang – ruang pribadi kita, bahkan teknologi MMS atau video call yang membuat relasi kita jadi “real”. Apakah “citraan – citraan” itu akan menggantikan pola relasi sosial kita ke depan ? Bagaimanapun teknologi virtual bekerja dengan menciptakan bentuk tampilan – tampilan data untuk memperdalam ilusi para penggunanya, ilusi tentang sebuah lingkungan “real” yang, walau bagaimana, tetap berbeda dengan realitas sehari – hari.
Komodifikasi Bahasa Melalui SMS
“U dmn ? tgg 5 mnt lg mpe sn”. “5f, q g s7 dgn usulmu”. “ok, gpp”. “pg syg, cup mmuach”. “he22…xixix…wkwkwk”. Beberapa dari kita mungkin bisa menangkap maksud kalimat – kalimat tersebut. Atau bahkan itu menjadi hal lumrah dalam cara berkomunikasi kita melalui SMS. Singkatan – singkatan yang dianggap “lazim” oleh para pemakainya itu kemudian menjamur begitu rupa bahkan sampai dipenggal menjadi satu huruf dan akhirnya hanya orang – orang tertentu yang mampu memahaminya. Huruf atau “singkatan” itu hanya dipahami oleh dua atau tiga orang dan menjadi “bahasa komunitas”. Tak luput, bahasa tuturan atau lisan bisa “diwujudkan” menjadi “bahasa tulis” tanpa ada “pengubahan” ketika dia hadir melalui layar SMS. Shot Message Servise yang bila diterjemahkan menjadi menjadi pesan pendek dalam bentuk teks itupun, bisa jadi sangat sangat pendek apalagi setelah penulisannya dikombinasikan dengan angka dan huruf, yang entah tercetus dari siapa ide ini. Cara kita berbahasa merupakan representasi diri kita, dengan “tata bahasa” dan “logika kombinasi” huruf angka itu, barangkali kita bisa menduga generasi seperti apa yang hidup di jaman teknologi informasi ini ?
Layanan SMS yang dibatasi oleh jumlah karakter (huruf dan tanda baca) “memaksa” kita untuk menuliskan pesan sesingkat mungkin. Keterbatasan ruang tulis itu yang kemudian melahirkan bahasa baru yang dinamakan “bahasa SMS”. Dia lahir dari penyingkatan suatu kata. Selain bertujuan untuk mempercepat dalam penulisan atau pengetikan pesan, penyingkatan kata yang dilakukan oleh si penulis pesan, dimaksudkan juga untuk menuliskan pesan yang panjang tetapi menggunakan kata yang disingkat – singkat, supaya pesan tersebut bisa dilakukan dalam sekali kirim sms, karena ini berpengaruh juga dengan uang yang akan dikeluarkan. Dengan maksud inilah, maka muncul penggunaan kata yang kadang – kadang tidak familiar, sehingga orang yang tidak terbiasa dengan itu akan kesulitan membaca atau memahami. [16] Komunikasi lewat SMS tak jarang menimbulkan salah paham dan salah tafsir, karena ekspresi lawan bicara tidak bisa terlihat, sehingga si penerima sering mereka – reka ekspresi lawan bicaranya. Walaupun ada beberapa fitur yang menambahkan emotion icon (ikon mirip orang senyum, sedih, marah, dll) untuk membantu proses komunikasi tersebut. Bahasa SMS lambat laun dapat mencemari logika bahasa kita, dimana bahasa seyogyanya mampu digunakan untuk mengekspresikan makna dan mengungkapkan maksud kita.[17]
Jika ditilik lebih jauh, ada yang paling diuntungkan dari booming SMS ini. Dalam perkembangannya kini, SMS bukan sekedar berkirim atau membalas pesan tapi sejak awal 2000 mulai muncul diversifikasi layanan berbasis SMS, yaitu SMS Premium. Dia memungkinkan konsumen meminta layanan yang disediakan oleh operator, jenis layanan begitu beragam mulai dari informasi valuta asing, film bioskop, informasi cuaca, kemacetan lalu lintas, info zodiac, layanan untuk pertemanan, hingga layanan yang cukup kompleks seperti transaksi perbankan melalui SMS. Juga digunakan untuk memilih peserta favorit kita dalam sebuah acara realitas di televisi.[18] Meski tarif SMS ini lebih mahal dari tarif biasa, tapi tahun 2010 total pelanggan diperkirakan berkisar pada angka 100 – 120 juta. Ya, bisnis content provider mulai merintis dinasti. Perusaahaan ini bergerak di bidang bisnis sebagai penyedia layanan jasa (data transfer, download ringtones, logo, kuis, polling, dsb) untuk aplikasi mobile. Perusahaan ini sanggup meraih keuntungan yang cukup fantastis !! Sebagai contoh, pada final ajang pencarian bakat menyanyi diperkirakan ada sekitar 2,5 juta SMS yang terkirim hanya dalam waktu 3 jam. Jika satu SMS dihargai Rp. 2000 maka pendapatan kotor selama 3 jam itu ada 2,5 juta SMS x Rp. 2000 = Rp. 5 Milyar. Katakanlah bagi hasil antara operator seluler dengan perusahaan Content Provider adalah 50% – 50%, maka perusahaan Content Provider mendapatkan pemasukan sebesar Rp. 2,5 Milyar hanya dalam 3 jam.[19]
Dari sinilah SMS mulai menampakkan “wajah aslinya”, apa yang sebenarnya hadir di balik ekspresi wkwkw atau hehehe kita yang setiap detik terkirim begitu saja. Bahasa tidak lagi “mengada” sebagai eksistensi kita, dia sudah berubah menjadi sebuah komoditas yang dengan latahnya diperjualbelikan. Pun akhirnya pada ruang – ruang relasi kita yang juga turut “tergadaikan”, betapa kita mabuk kepayang hingga lupa daratan. Terpesona dengan “kecanggihan fitur – fitur” dan keelokan ponsel kita. Proses komodifikasi dalam komunikasi terdiri dari perubahan (bentuk) pesan dari pemikiran yang penuh makna ke produk – produk pasar.[20] Masyarakat senantiasa dibombardir dengan iming – iming kemudahan, murah, diskon dan hal lain yang menggiurkan, kita dipaksa untuk membeli apapun yang diproduksi tak terkecuali bahasa. Akumulasi keuntungan menjadi kepentingan implisit yang abadi. Bila kita bedah, secara matematis perhitungan bagi hasil antara operator seluler dengan perusahaan Content Provider dapat dijelaskan seperti berikut ini : Biaya SMS Layanan Content Provider yaitu sebesar Rp. 2.000,-. Sebelum persentase bagi hasil diterapkan, dari setiap 1 SMS yang masuk maka akan dikenakan biaya bearer (biaya SMS) dengan besaran sesuai ketentuan operator seluler, misalnya Rp. 350,-
Maka sisa yang akan dihitung bagi hasilnya adalah Rp. 2000,- – Rp. 350,- = Rp. 1.650,-
Misalnya kesepakatan antara operator seluler dengan perusahaan content provider mengenai bagi hasil adalah 50%-50%, maka masing-masing keuntungan bagi kedua pihak adalah : 50% X Rp. 1.650,- = Rp. 825,- per SMS yang masuk.[21]
Realitas komodifikasi bahasa ini tentunya menjadi titik pijak bagi kita untuk lebih melihat secara kritis bagaimana peradaban budaya kita dijungkirbalikkan dengan logika akumulasi modal. Hegemoni ini akan berjalan berlenggang jika kita masih menjadi generasi “xixixi…hahaha..”. Cara bertutur dan nalar berbahasa mengindikasikan seberapa holistik logika berpikir kita. Ini juga mengejawantah dalam perilaku dan tindakan kita, apa kita memilih menjadi tunas bangsa yang selalu mau instan, pragmatis tanpa melewati lika – liku proses untuk mencapai kepenuhan hidup. Atau barangkali kita justru mempunyai mental yang kuat untuk menangkal “racun” SMS dan membangun sebuah relasi dengan komunitas sosial kita secara lebih humanis.
***
[1] Paper disampaikan pada “Seminar Kebudayaan Populer dengan tema : Masa Depan Bahasa di Dunia Maya” yang diselenggarakan oleh DPC PMKRI Cab. Surakarta “Santo Paulus”. Minggu, 9 Desember 2011 di Wisma Mahasiswa Kestalan Surakarta.
[2] Pemateri adalah staf pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi & Multimedia, Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Yogyakarta
[3] Menurut survey lembaga AC Nielsen, ABG umur 13-17 tahun rata – rata ber-SMS 1.742 kali selama sebulan. Usia 30-45 tahun ber-SMS 200 kali per bulan (www.kompas.com diakses 4 Januari 2011)
[5] Penelitian ini dilakukan oleh Pew Internet & American Life Project pada tahun 2008 (www.VIVAnews.com diakses 5 Januari 2011)
[6] Lih. Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan. Kanisius. 2002.p .58. Tesis McLuhan tentang Global Village (“Kampung Global”) yaitu tentang sebuah dunia yang makin mengecil akibat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
[7] Lih. McLuhan, Marshall. Technological Determinism dalam Griffin. A Fist Look At Communication Theory. 2003. McGraw-Hill. USA
[8] Lih. Ibid. Hal. 345 – 347. McLuhan membagi sejarah manusia dalam perspektif media, menjadi 4 periode ; 1. Tribal Age : masa dimana manusia mengandalkan panca inderanya, pendengaran, sentuhan, rasa/kecap dan bau serta mengembangkan kemampuan visualisasi mereka. 2. The Age of Literacy : masa melek huruf ini “mengejutkan” orang – orang mereka keluar dari keterlibatan kolektivitas kesukuan dan masuk dalam individu “beradab” yang tak terpengaruh. 3. The Print Age : masa ini ditandai dengan penemuan mesin cetak oleh Gutenberg. Menurutnya printed book akan mengunggulkan individualism. 4. The Electronic Age : kemunculan teknologi komunikasi elektronik justru memunculkan proses retribalization of society, kembalinya peradaban manusia ke zaman Paleolitik nenek moyangnya. Tradisi food-gathering menemukan bentuk mutakhirnya dalam information gathering.
[10] Disarikan dari www.detikinet.com/read/2011/01/04/141524/328/sms-telkomsel-tembus-18-milyar/ diakses 4 Januari 2011
[11] Data dari www.glorianet.org. diakses 5 Januari 2011
[12] Lih. Naisbit, John. High Tech High Touch, Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi. 2001. Mizan. Bandung. p. 23. Istilah zona mabuk teknologi merujuk pada adanya hubungan yang rumit dan seringkali bertentangan antara teknologi dan pencarian kita akan makna.
[13] Lih. Ibid. Hal. 23 – 42. Naisbit mengupas secara detail tentang gejala – gejala masyarakat mabuk teknologi, dia memaparkan secara gamblang masyarakat yang hidup di era teknologi informasi.
[14] Lih. McLuhan, Marshall. Ibid. Hal. 350 – 351 pada sub chapter The New Digital Age – An Era of Technopoly.
[15] Lih. Budiman, Hikmat. Ibid. Hal. 82 – 83. Simulacra dan simulasi Jean Baudrillard telah menjelaskan bagaimana realitas sosial kita menjadi hyperreal dan non real. Non- real adalah simulasi, hyperreal adalah simulasi tahap lanjut, yakni tentang citra menjadi realitas. Simulasi = refleksi dari sebuah realitas yang diacunya (a basic reality). Realitas virtual berpeluang menandingi realitas – realitas individual kita.
[16] www.scribd.com/doc/23701249/pemakaian-bahasa-SMS diakses 5 Januari 2011
[17] Lih. Littlejohn. Theories of Human Communication. 2002. Wadsworth. USA. p. 78 – 79. Dalam speech-act theory meaning (makna) hadir dalam illocutionary force, misalnya ada pernyataan “kue ini enak” tapi yang “dimaksud” adalah kebalikannya, pernyataan tersebut mempunyai “illocutionary force” menghina. Jadi sebuah proposisi harus selalu dilihat sebagai bagian dari sebuah konteks besar.
[18] http://itsum.wordpress.com/tag/cp/ diakses 5 Januari 2011
[19] http://itsum.wordpress.com/2010/09/29/content-provider-lanjutan/ diakses 4 Januari 2011
[20] Lih. Moscow, Vincent. The Political Economy of Communication, Rethinking and Renewal. 1996. Sage Publications. London. p. 146
[21] http://itsum.wordpress.com/2010/09/29/content-provider-lanjutan/ diakses 4 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar