REPRESENTASI KEMISKINAN SEBAGAI PRAKTIK KOMODIFIKASI
(Komoditas Berbasis Tanda)
Oleh: Saiful Totona
“Apa gerangan kemiskinan bagiku, bagimu dan bagi mereka? Pada tiap diskusi di debatkan, Pada tiap media cetak tertulis, pada tiap program televisi apalagi. Kita pun tahu, kemiskinan adalah sebuah kondisi yang sungguh tidak nyaman. Kita –pun tahu, apa yang menjadi penyebabnya (melalui berbagai studi).
“Kini kemiskinan adalah sebuah nama program televisi, dan antara kita dan dia selalu menyaksikan di dunia yang namanya televisi. Kemiskinan telah memaksa sebagian saudara kita untuk berbuat diluar dari batas-batas kewajaran, terkadang nyawa menjadi taruhan. Tetapi kebanyakan dari kita senang melihat saudara kita dibuat tidak berdaya”
Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kemiskinan merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dan hingga sekarang tetap menjadi masalah yang rumit. Kita-pun tahu adanya gejala kemiskinan dan pemiskinan yang semakin memburuk. Selain alasan kemanusiaan dan alasan moral, ada banyak alasan lain untuk menangani kemiskinan. Namun apalah arti kalau program pengurangan kemiskinan hanya menjadi pencipta kemiskinan kembali, bahkan sampai pada titik ekstrim tertentu, kemiskinan dijadikan komoditas yang mengiurkan. Berbagai data dapat dirujuk untuk menunjuk fenomena yang dinakan kemiskinan ini, akan tetapi data tersebut tidak akan saya kutip disini, lantaran data tersebut telah melalui berbagai konstruksi dan kategorisasi berdasarkan berbagai kepentingan. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa kini, kemiskinan bukan hanya diciptakan tapi direduksi sampai pada tahap yang sangat dangkal: pada permainan tanda verbal-visual. Hal ini dapat disaksikan lewat berbagai media tak terkecuali televisi.
Kemiskinan merupakan satu persoalan yang tak lekang melekati berbagai dinamika kehidupan. Di Indonesia kemiskinan bukan hanya berita tahunan, bukan hanya laporan harian badan negara yang berwenang untuk melangsir berbagai catatan kemiskinan. Media massa tidak hanya menyodorkan berita-berita tentang kemiskinan, tetapi juga menjual kemiskinan sebagai mana yang kita lihat dalam program reality show dan program tayangan sejenisnya. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang di sampaikan Schechter bahwa, media kita saat ini adalah tempat berdagang.[1]
Fenomena reality show tentang upaya-upaya membantu rakyat miskin ditayangkan di berbagai stasiun televisi. Reality show seperti ini dapat dinyatakan sebagai bentuk komodifikasi kemiskinan semata, dengan mempermainkan objek tanda kemiskinan, memanfaatkan rakyat miskin untuk kepentingan yang bersifat komersil. Mengeruk keuntungan dari merepresentasikan ketidakberuntungan orang lain, mencari nama di atas penderitaan orang lain dengan kedok membantu yang miskin. Kemiskinan yang direpresentasikan dalam program ini tentunya menyimpan berbagai kepentingan. Kemiskinan direduksi sebagai komoditas, disederhanakan atau dilebih-lebihkan (manipulasi). Program reality show diramu dengan penambahan-penambahan (rekayasa) tertentu agar alur ceritanya menjadi lebih sendu. Dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat menyita perhatian.
Dengan demikian, persoalannya bertambah rumit, karena kini reduksi terhadap kemiskinan dihadirkan sebagai hiburan di televisi. Televisi memproduksi berbagai program tayangan termasuk reality show yang makin tumbuh subur diberbagai stasiun televisi. Dengan kenyataan itu, maka dapat diajukan sebuah pernyataan bahwa televisi merupakan arena manifestasi program reality show, sebagaimana bisa dirujuk pada berbagai stasiun televisi.[2] Dilihat dari namanya, acara ini berkonotasi pada konsep ”apa adanya,” tidak ada rekayasa. Kondisi ini bisa ditinjau kembali pada konsekuensinya yang melewati lini produksi oleh para kreator program, dimana skenario yang dibuat dari tahap awal sampai pada proses editing-nya. Alhasil program ini mampu meyentuh emosi audiensnya.
Program ini dapat dibilang tidak membutuhkan biaya produksi yang terlalu tinggi dibandingkan dengan program lainnya. Biaya produksi rendah dan rating tinggi itulah yang biasa disematkan pada program tersebut, sehingga stasiun televisi dapat menekan biaya serendah-rendahnya dan keuntungan setinggi-tingginya, inilah logika kapitalis yang selalu menekan biaya yang serendah-rendahnya dan berusaha mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Sebagaimana dikatakan Marx, ”tendensi konstan kapitalis adalah untuk memaksa ongkos kerja kembali...ke angka nol”.[3] Terkait dengan pernyataan sebelumnya bahwa televisi merupakan arena kompetisi reality show, hal ini sejalan dengan pernyataan Marx bahwa kapitalisme selalu didorong oleh kompetisi yang tiada henti.
Alasan memproduksi program reality show tidak terlepas dari seberapa besar program tersebut mampu menarik para pengiklan untuk mengiklankan produknya di sela-sela tayangan. Berbagai macam program reality show kemiskinan dapat dijadikan contoh kasus, program ini dikatakan cukup digemari audiens. Hal ini ditunjukkan dengan angka rating[4] yang diperolehnya. Entah metode pengukuran rating yang dilakukan tepat atau tidak. Dari rilis pemerolehan pemeringkat tersebut, maka tentunya para pengiklan juga tak mau ketinggalan untuk mengiklankan produknya pada sela-sela tayangan. Reality show kemudian menjadi ajang untuk meraih keuntungan oleh berbagai pihak yang terlibat. Dari rating yang sering menjadi legitimasi, maka pihak-pihak yang berwenang pada program tayangan tersebut mengenakan tarif iklan yang cukup tinggi kepada pengiklan yang mengiklankan produknya pada program tersebut.
Menelisik yang teoritik
Komodifikasi yang berbasis pada tanda dewasa ini tentunya memiliki akar dalam teoretisi Marx mengenai komoditas[5] yang merupakan jantung kapitalisme. Akan tetapi teorisasi meneganai komoditas pada kapitalisme mutakhir memiliki berbagai macam variasinya karenan mengikuti perkembangan kapitalisme itu sendiri. Marx melihat komoditas memiliki nilai-guna dan nilai-tukar,[6] namun pada kapitalisme mutakhir yang juga mesti diperhatikan adalah nilai-tanda dari berbagai objek[7] yang diproduksi. Nilai tanda ini merupakan teorisasi yang dilakukan oleh
Baudrillard, sebagaimana dalam publikasinya yang mengkaji perkembangan kapitalisme lanjut. Namun sebelum Baudrillard melakukan kajian terhadap kapitalisme lanjut ini, para teoretisi Mazhab Frankfurt[8] telah melakukan perluasan terhadap pandangan-pandangan Marx. Meskipun demikian, analisis para pengikut Mazhab Frankfurt terhadap kapitalisme belum melibatkan secara serius mengenai nilai-tanda. Para pengikut Mazhab Frankfur kurang menaruh perhatian pada aspek-aspek subkultur, khususnya aspek simbolis dari administrasi dan rasionalisasi konsumer tersebut. sebagaimna Marx sendiri, Mazhab Frankfurt gagal melihat administrasi dan rasionalisasi sosial sebagai satu bentuk pengendalian melalui tanda (sign) dan simbol-simbol sosial.[9] Dari itulah, pandangan Baudrillard khususnya terkait dengan ekonomi politik tanda merupakan sebuah kritik yang dapat diapresiasi. Namun sebagaimana yang dikatakan Kellner,[10] bahwa karya awal Baudrillard ini banyak dipengaruhi oleh linguistik dan semiotika, untuk itu Kellner mengatakan karya ini sebagai suplemen semiologi bagi teori ekonomi Marx. Akan tetapi harus diakui bahwa suplemen ini sangat berguna, karena kritik-kritik yang dialamatkan terhadap kapitalisme saat ini agak bergeser dari kritik Marx pada masa lalu. Untuk itu pemikiran Baudrillard, dapat diapresiasi untuk mengkaji tanda-tanda yang begitu dominan dalam semua media massa. Dimana melihat ekonomi dengan perpaduan kemajuan teknologi seperti komunikasi, informasi huburan yang tumbuh pesat saat ini.
Baudrillard mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Marx dan pendukung Mazhab Frankfurt. Dengan mengkombinasikan secara kritis pendekatan ekonomi politik Marx, kritik sosial Mazhab Frankfurt serta pendekatan semiotika struktural yang berkembang di Prancis pada awal tahun 60-an. Baudrillard ingin memperlihatkan bahwa kritik-kritik terhadap kapitalisme itu sendiri kini telah melampaui Marx, yaitu melampaui persoalan-persoalan ideologis ketidakadilan atau konflik kelas yang tersembunyi di balik relasi produksi komoditi. Marx sendiri tidak membayangkan bahwa telah terjadi perubahan mendasar status komoditi di dalam kapitalisme mutakhir, yang kini telah dikuasai oleh permainan tanda-tanda dan simbol-simbol sosial.[11]
Jelmaan komoditas sebagai tanda seakan sihir yang mampu membuat orang terpesona. Kapitalisme dewasa ini menjadikan tanda sebagai pacuan komoditas. Sebagaimana uraian Baudrillard:[12] (1) It is because the logic of the commodity and of political economy is at the very heart of the sign, in the abstract equation of signifier and signified, in the differential combinatory of signs, signs can function as exchange value (the discourse of communication) and as use value (rational decoding and distinctive social use). (2) It is because the structure of the sign is at the very heard of the commodity form. that the commodity can take on, immediately, the effect of signification-not because its very form establishes it as a total medium, as a system of communication administering all social exchange.
Dengan melihat fenomena perubahan sistem kapitalisme mutakhir, Baudrillard melakukan kajian terhadap permainan tanda dan simbol yang berkembang pesat pada masyarakat kontemporer. Pandangan mengenai ekonomi politik tanda merupakan pandangan yang orisinil dikenalkan Baudrillard dalam analisnya terhadap persoalan-persoalan kontemporer`yang berkaitan dengan objek-objek tanda. Dari pandangan inilah analisisnya berbeda dengan pemikir-pemikir sebelumnya khususnya Marx dan Mazhab Frankfurt yang telah terlebih dahulu melakukan kritik terhadap ekonomi politik kapitalisme.
Teori umum yang mengacu dan sekalian melakukan perluasan kajian serta kritik atas pandangan Marx. Baudrillard,[13] memetakkan empat nilai logika yang masing-masing logika memiliki medannya tersendiri dari objek yang ada. Empat logika nilai tersebut adalah; Pertama, Logika fungsional dari nilai guna. Kedua, Logika ekonomi dari nilai tukar. Ketiga, Logika nilai tanda dan Keempat, Logika pertukaran simbolik. Keempat logika ini memiliki medan tersendiri dalam ranah objeknya masing-masing.
Terkait dengan beberapa nilai[14] tersebut, bagi Baudrillard, nilai tanda sebagai nilai fundamental dalam ekonomi politik kapitalisme mutakhir menjadi begitu totaliter dalam mengarahan pergerakan dan pertukaran struktur dalam masyarakat. Bahkan lebih dari itu nilai tanda adalah basis metafisis dalam masyarakat konsumen, karena melalui tanda-lah masyarakat melakukan identifikasi diri dan pertukaran struktur mereka (sebagaimana yang disinggung Baudrillard sebelumnya).
Perhatian kepada status komoditas sebagai tanda pada masyarakat kontemporer merupakan pengayaan kritik atas kapitalisme mutakhir yang memproduksi berbagai bentuk objek tanda dengan penyebarannya melalui media. Persoalan-persoalan sosial yang mengemuka dalam media saat ini bukan hanya konflik sosial yang tersembunyi di balik relasi produksi dan konsumsi, akan tetapi persoalan hanyutnya seluruh bentuk-bentuk kontradiksi dari formulasi kapitalisme dewasa ini, berbeda sebagaimana yang dianalisis Marx terkait kapitalisme lampau.
Untuk itu persoalan sosial yang terjadi pada kapitalisme mutakhir penting di analisis dengan cara yang lebih kompleks. Dengan menekankan pada nilai tanda, maka berbagai objek direduksi pada tanda-tanda. Objek beroperasi pada level pertukaran tanda. Sebaliknya, dalam pandangan Marx obyek direduksi hanya menjadi sekedar barang dagangan sehingga objek tak memiliki otonomi terhadap dirinya sendiri dan kehilangan bentuknya sebagai objek tanda.
Dengan demikian, terkait nilai tanda inilah yang membedakan Marx tentang ekonomi politik dengan Baudrillard yang disebut pemikirannya dengan ekonomi politik tanda, jika dalam kritik ekonomi politik Marx, komoditi merupakan gabungan dari nilai guna dan nilai tukar, maka dalam ekonomi politik tanda yang diungkapkan Baudrillard ditemukan apa yang disebut dengan tanda. Nilai tanda inilah yang sangat dominan dan berperan penting dalam sistem produksi.
Sedangkan untuk memahami representasi, kita dapat mengutip beberapa pemetaan menurut Stuart Hall yakni; pendekatan reflektif, pendekatan intensional dan pendekatan konstruktivis. Penjelasan singkat ketiga pendekatan ini sebagai berikut:[15] Pendekatan reflektif, menyatakan makna dipahami terletak dalam objek, orang, gagasan atau kejadian di dalam dunia nyata, dan bahasa berfungsi seperti sebuah cermin, untuk memantulkan makna-makna yang sesungguhnya karena makna-makna itu telah ada di dunia ini. Dalam pendekatan ini bahasa bekerja dengan refleksi atau peniruan sederhana tentang kebenaran yang telah ada, atau yang disebut mimetic.
Pendekatan intensional, pendekatan ini menyatakan bahwa penutur, penulislah yang memberlakukan makna uniknya pada dunia melalui bahasa. Ada beberapa poin untuk argumen ini karena kita semua, sebagai individu, menggunakan bahasa untuk menyampaikan atau mengomunikasikan hal-hal yang bersifat khusus atau unik kepada kita, kepada cara kita melihat dunia. Namun pendekatan ini juga memiliki cacat. Kita tidak bisa menjadi satu-satunya sumber unik makna di dalam bahasa, karena itu akan berarti bahwa kita bisa mengekspresikan diri kita sendiri dalam bahasa yang sepenuhnya bersifat pribadi. Karena hakekat bahasa adalah komunikasi dan ini selanjutnya tergantung pada konvensi-konvensi linguistik dan persamaan aturan. Bahasa tidak sepenuhnya bersifat pribadi, betapa pun pribadi menurut kita, harus memasuki aturan, kode dan konvensi bahasa yang harus sama-sama dimiliki dan dipahami. Bahasa adalah benar-benar sebuah sistem sosial.
Pendekatan konstruktivis, pendekatan ini mengakui bahwa benda-benda itu sendiri maupun pengguna bahasa individual bisa melekatkan makna di dalam bahasa. Benda-benda tidak berarti: kita menyusun makna, menggunakan sistem representasi—konsep dan tanda. Menurut pendekatan ini, kita tidak boleh mengacaukan dunia material, di mana benda dan manusia eksis, dan praktek-praktek dan proses-proses simbolis melalui mana representasi, makna dan bahasa bekerja. Konstruktifis tidak menolak eksistensi dunia material. Namun demikian, bukan dunia material yang menyampaikan makna: sistem bahasa atau sistem apa pun yang sedang kita gunakan untuk representasi konsep-konsep kita. Para aktor sosiallah yang menggunakan sistem konseptual budaya mereka dan sistem linguistik dan sistem lain untuk menyusun makna, untuk membuat dunia bermakna dan untuk berkomunikasi tentang dunia secara bermakna dengan orang lain.
Tentu saja, tanda-tanda bisa juga memiliki dimensi material. Sistem representasi terdiri dari suara-suara aktual yang kita buat dengan pita suara kita, gambaran-gambaran yang kita buat tentang kertas sensitif cahaya dengan kamera, tanda-tanda yang kita buat dengan cat pada kanvas, impuls digital yang kita kirimkan secara elektronis. Representasi adalah sebuah praktek sejenis ’kerja’, yang menggunakan objek-objek dan efek material. Tetapi makna tergantung, tidak pada kualitas material tanda, melainkan pada fungsi simbolisnya. Ini karena suara atau kata khusus mewakili, menyimbolkan atau merepresentasikan bentuk konsep sehingga kata bisa berfungsi, di dalam bahasa sebagai sebuah tanda dan menyampaikan makna—atau, seperti yang dikatakan oleh kaum konstruktivis, memberikan arti penting (sign-i-fy).[16]
Representasi juga berkaitan dengan produksi simbolik—pembuatan tanda-tanda dalam kode-kode dimana kita mencipta makna-makna. Dengan mempelajari representasi kita mempelajari pembuatan, konstruksi makna. Karenanya, representasi juga berkaitan dengan penghadiran kembali (rep-resenting): bukan gagasan asli atau objek fisikal asli, melainkan sebuah representasi atau versi yang dibangun darinya.[17]
Tim O’Sullivan,[18] membedakan istilah representasi pada dua pengertian, pertama, representasi sebagai suatu proses dari representing. Kedua, representasi sebagai produk dari proses sosial representing. Yang pertama merujuk pada proses, yang kedua adalah produk dari pembuatan tanda yang mengacu pada sebuah makna. Dalam representasi itu sendiri ada beberapa persoalan krusial yang muncul kepermukaan, namun hal utama yang perlu ditarik sebagai suatu persoalan adalah bagaimana representasi yang dilakukan media terhadap dunia sosial dibandingkan dengan dunia nyata yang sifatnya eksternal.
Dalam kaitannya dengan tayangan reality show, mulai dari tahap pra-produksi, produksi sampai pasca-produksi. Mulai dari ide, perencanaan, materi pengambilan gambar sampai pada proses penayangannya yang melalui lini produksi telah dimanipulasi dan dikonstruksi sedemikian rupa. Dimana teks yang ditampilkan dilebih-lebihkan (ditonjolkan sisi-sisi dramatisnya) atau bahkan disederhanakan (ada berbagai sisi-sisi yang di tonjolkan, dihilangkan atau yang tidak ditampilkan).
Tayangan reality show yang dikaji merupakan bentuk representasi kemiskinan dan pada saat yang sama dijadikan komoditas, sebagaimana penjelasan selanjutnya. Mulai dari rancangan awal, pengambilan gambar sampai pada tahap pasca-produksi. Gambar yang diambil tentunya di atur sedemikian rupa untuk mencitrakan si miskin, dan ditambah dengan komentar pembawa acara atau narator, sampai latar musik yang telah ditentukan. Representasi dalam teks media Fairclough[19] dapat dikatakan berfungsi secara ideologi, sepanjang mereka berperan untuk memproduksi dominasi relasi sosial dan eksploitasi.
Menurut Croteau dan Hoynes, representasi bukanlah realitas yang sesungguhnya (real world) melainkan representasi media mengenai dunia sosial (social world). Selalu terjadi kesenjangan antara realitas sesungguhnya (real world) dengan representasi media terhadap dunia sosial (social world).[20] Representasi dalam tayangan yang bertema reality show berarti juga bukanlah cerminan realitas, melainkan realitas yang ditampilkan telah diseleksi. Dan hasil seleksi tentunya telah dikonstruksi, didistorsi.[21]
Komodifikasi Kemiskinan Berbasis Tanda
Objek kemiskinan sebagai tanda yang ditampilkan pada program tayangan reality show, bukan berarti hanya objek kemiskinan yang menjadi pemandangan pada tayangan tersebut, akan tetapi orang yang ditampilkan adalah sekaligus sebagai objek. Sebagaimana objek yang dipahami dalam kajian ini. Dimana dalam tayangan ini orang yang ditampilkan hanya sebagai objek yang kurang lebihnya sama dengan objek kemiskinan lain, karena orang yang ditampilkan tersebut diarahkan sedemikian rupa dengan berbagai permainan tanda yang meyertainya.
Merepresentasikan kemiskinan dengan berbagai teknik manipulasi tanda, sebagaimana tampak pada tayangan yang dinamakan reality show, sepintas agak sulit diketahui bahwa ini merupakan tindakan komodifikasi. Walaupun sebagian pendapat mengatakan bahwa audiens selalu aktif dalam melakukan pemaknaan terhadap apa yang di tontonnya, akan tetapi dengan tampilan tanda-tanda audio visualnya, para pebisnis televisi mampu menyelubungi berbagai kepentingannya, sehingga membutuhkan pemahaman kritis dalam melihat hal ini sebagai tindakan manipulasi. Barthes[22] mengatakan bahwa publik sering tidak tertarik untuk mengetahui ini manipulasi atau tidak.
Bentuk atau wajah komoditas dewasa ini hampir sulit dikenali karena diselubungi dengan sebegitu rumit dan sangat rapih dengan berbagai polesan teknik manipulasi. Karena dewasa ini, komoditas tidak hanya dipahami melalui nilai-guna dan nilai-tukar, akan tetapi komoditas kini harus juga dilihat pada nilai-tanda-nya. Karena pada kapitalisme mutakhir nilai-tanda sangat dominan pada berbagai objek komoditas. Sebagaimana yang disaksikan pada berbagai media termasuk televisi, yang dijual atau yang dipertukarkan itu bukanlah barang atau benda-benda yang dalam pengertian fisik atau objek yang sebagaimana dibahas oleh Marx, akan tetapi objek tanda yang ditawarkan melalui televisi ialah ide-ide dalam bentuk karya produser yang dipertontonkan pada berbagai stasiun televisi.
Berbagai hal dikomodifikasi, diproduksi oleh media, mulai dari sinetron sampai iklan dengan berbagai jenisnya. Semua media memproduksi komoditas-komoditas yang bersaing tiada henti untuk mendapatkan keuntungan. Schatz[23] mengatakan bahwa apa yang kita saksikan terjadi adalah pertemuan antara hiburan, informasi, dan iklan.
Ekonomi politik nilai tanda komoditas muncul ketika berbagai produk diproduksi dengan memperhitungkan nilai tanda pada tiap produknya, sebagaimana tanda-tanda kemiskinan yang diproduksi sebagai sebuah komoditas. Reality show yang menampilkan tanda-tanda kemiskinan tentunya memiliki nilai tukar dalam artian nilai tukar tanda dengan berbagai hal yang dapat menguntungkan. Ini merupakan logika kapitalisme kontemporer.
Dengan berbagai program yang ditampilkan oleh media, maka persoalan ini menjadi penting untuk dibicarakan. Dimana ketika teknologi media menjadi prasarat sosial yang tidak saja penting dan fungsional sebagaimana yang digambarkan Baudrillard. Karena nilai tanda begitu dominan dari media yang mengepung seluruh sendi kehidupan. Dengan demikian tidak saja iklan yang menjadi penting dari media tersebut sebagaimana pandangan umum, akan tetapi semua ritual tanda atau elemen-elemen yang dibawanya.
Dari kenyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa model produksi media televisi adalah untuk melayani kebutuhan kapitalis dan kebutuhan kapitalis selalu mengeksploitasi berbagai hal ke dalam kepentingan pribadi mereka untuk melipatgandakan kapital sebanyak-banyaknya. Inilah logika kapitalis. Akan tetapi menjadi sangat kompleks, karena masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa teknologi media memberikan begitu saja kebebasan yang mereka inginkan, padahal mereka telah dibentuk paling tidak alam bawa sadarnya untuk menjatuhkan pilihan dengan berbagai konsekuensi yang melekat pada media itu sendiri. Dengan demikian masyarakat menjadi bagian terpenting dari sistem produksi kapitalis itu sendiri, yang mana dengan memberi dukungan terhadap kaum kapitalis dengan cara mengkonsumsi berbagai hal yang dibawa media tersebut, misalnya iklan dan reality show yang tentunya membawa konsekuensi bagi siapa saja yang menjadi sasaran rayuannya.
Berbagai program tayangan dapat dijadikan contoh kasus untuk menelisik representasi kemiskinan sebagai praktik komodifikasi. Kemiskinan yang direpresentasikan ini tentunya memiliki alasan-alasan ideologis, dimana kemiskinan direduksi sebagai tanda yang memiliki nilai tukar (nilai tukar tanda). Maka sangat jelas bahwa ideologi yang melekatinya merupakan ideologi kapitalis, sebagaimana logika kapitalis pada umumnya.
Kenyataan ini dapat diperiksa dari proses representasi yang ada. Tiga program reality show kemiskinan dapat dijadikan contoh, diantaranya: Duit Kaget (RCTI episode 04 Juni 2009), Jika Aku Menjadi (Trans TV episode 31 Maret 2008) dan Tukar Nasib (SCTV 15 November 2009). Sebagaimana yang diketahui, Duit Kaget merepresentasikan berbagai objek kemiskinan termasuk orang miskin yang diikutsertakan. Kehidupan orang miskin yang sehari-harinya menjalani hidup dengan serba kecukupan. Bekerja keras demi melanjutkan kehidupan keluarga dengan pekerjaan yang upahnya tidak menentu. Representasi kemiskinan ini juga memberitahukan kepada kita, bagaimana masa-masa sulit yang dihadapi keluarga Pak Dubas. Anak mereka yang terancam tidak melanjutkan sekolah karena pendapatan orang tuanya tidak mendukung. Sampai pada titik yang sangat mengharukan, dimana Ibu Yati yang diberikan uang terlihat panik dalam membelanjakan sejumlah uang, merepresentasikan bagaimana orang miskin yang tiba-tiba mendapatkan uang dengan jumlah besar panik tidak menentu arah. Berteriak disepanjang jalan, hal ini sunggu mempekerjakan orang miskin untuk tujuan-tujuan komersil.
Pada tayangan Tukar Nasib, orang yang dikatakan miskin adalah seorang tukang cukur keliling yang harus menghidupi istri dan dua orang anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah. Representasi objek kemiskinan ditunjukkan dengan begitu mengesankan. Rumah keluarga miskin yang terlihat sederhana dengan bagian-bagian dinding dari kayu yang telah lapuk. Ruang tamu dengan kursi dan meja dari kayu yang sangat sederhana. Lingkungan rumah yang kumuh.
Orang miskin yang tinggal dirumah orang kaya juga dijadikan objek yang cukup menarik. Orang miskin ini ditunjukkan sangat kaku dengan fasilitas rumah orang kaya. Mereka juga diharuskan berpenampilan seperti orang kaya yang berprofesi sebagai pengusaha bahan bangunan dan sebagai Apoteker yang juga memiliki sebuah Apotik. Pola hidup mereka dipaksakan sebagaimana pola hidup orang kaya, namun makna yang dapat ditarik adalah bahwa orang miskin ini tidak dapat menyesuaikan pola hidup mereka, dimana orang miskin tidak selalu mengikuti konfensi-konfensi orang kaya yang makan harus di meja makan dan bukannya diruang tamu. Keluarga miskin ini juga ditunjukkan tidak dapat mengikuti pola hidup orang kaya, yang harus membeli makanan di tempat makan yang mewah. Keluarga miskin ini ditunjukkan membeli makanan di emperan jalan, sebagaimana uraian sebelumnya.
Dalam representasi kemiskinan yang dijadikan komoditas, bukan hanya orang miskin yang ditampilkan, namun juga orang kaya yang mencicipi kemiskinan dengan menonjolkan sikap mengasiani orang miskin sampai sikap yang menganggap kemiskinan begitu menjijikkan.. Sikap orang-orang dari keluarga kaya yang ditampilkan dalam program reality show ini juga tidak kalah memprihatinkan. Mulai dari menangis berlebihan karena tidak terima harus bekerja di lingkungan yang kotor atau kumuh, sampai menangis mengamuk karena melihat kondisi rumah keluarga miskin yang memprihatinkan. Belum lagi sikap manja dan sombong yang ditampilkan. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan jutaan warga Indonesia yang masih hidup di jurang kemiskinan melihat bagaimana keluarga-keluarga kaya tersebut menganggap kehidupan yang mereka jalani sehari-hari sebagai sesuatu yang menjijikkan.
Sementara dalam tayangan Jika Aku Menjadi, yang melibatkan seorang anak muda (Nila) yang secara ekonomi cukup mampu untuk tinggal bersama keluarga miskin. Dengan teks audiovisual yang merepresentasikan bagaimana keluarga miskin menjalani hidup dengan penghasilan utamanya dari jasa perbaikan dan pembuatan Kompor Minyak. Sesekali Nila yang tinggal bersama keluarga ini bertindak sebagai narator untuk menceritakan bagaimana keluarga ini menempu hidup dengan sangat memprihatinkan (merepresentasikan).
Dari proses representasi tersebut, maka tak diragukan lagi bahwa kemiskinan direduksi menjadi komoditas. Hal ini bukan hanya pada tayangan reality show yang menjadi kasus ini, namun dapat dikatakan bahwa semua reality show yang merepresentasikan objek tanda kemiskinan tidak terlepas dari logika komoditas yang merupakan anak kandung kapitalisme. Program reality show mampu mendatangkan keuntungan yang berlipat-lipat bagi praktisi dan pemilik media dari iklan/sponsor yang membanjiri sela-sela tayangan.
Media pada umumnya menjadikan berbagai hal sebagai komoditas, sebagaimana yang dikatakan Joost Smiers, bahwa tidak ada batasan berarti mengenai apa yang dapat dikonsumsi: semua relasi, aktifitas, dan objek sosial pada prinsipnya dapat di pertahankan sebagai komoditi.[24] Dengan demikian, untuk menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas, media termasuk televisi sangat memperhitungkan berbagai teknik manipulasi pada momen pra-produksi sampai pos-produksi yang dapat menciptakan teks tayangan yang menarik. Tampilan gambar yang disuguhkan semuanya melibatkan struktur perasaan dan cita rasa. Akibatnya, tayangan tersebut juga dapat mengorientasikan domain-domain yang bukan merupakan bagian dari sikap rasional atau logis dari audiens yang menjadi sasarannya.
Persoalan komoditas telah menjadi perhatian serius bagi para pengkaji media termasuk Baudrillard. Baudrillard mengatakan bahwa manipulasi citraan simbolik yang terkandung didalam proses komodifikasi tidak lagi memungkinkan kita menemukan mana nilai-guna dari suatu produk, tetapi kita justru menemukan nilai tanda (sign-value) dari produk tersebut.[25] Dengan demikian, nilai suatu komoditas ditentukan oleh tanda-tanda yang dilekatkan atau yang menyertai produk termasuk produk berbagai objek pada tayangan televisi melalui penggunaan tanda-tanda tertentu yang bekerja berdasarkan mekanisme yang rumit melalui produksi yang menghasilkan tampilan audiovisual.
Ketika reality show yang bertemakan kemiskinan digarap oleh berbagai rumah produksi dan stasiun televisi untuk menarik pengiklan, maka persoalan tersebut merupakan sebuah praktik komodifikasi terhadap objek tanda kemiskinan. Dengan permainan tanda kemiskinan tersebut, stasiun televisi dan rumah produksi mendapat keuntungan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terjadi pada media televisi, namun menjadi fenomena umum pada tiap industri kapitalis. Disana ada segelintir elit yang mengeruk keuntungan dari suatu permainan ini.
Siapakah yang sebenarnya sangat diuntungkan dari proses komodifikasi semacam itu. Dalam kenyataan seperti ini, dapat dipastikan bahwa yang mendapat keuntungan lebih dari program ini adalah mereka yang memproduksi program tersebut yang didapatkannya dari berbagai iklan yang menjual produknya (pemilik perusahaan pengiklan produk dan pemilik stasiun televisi dan rumah produksi). Sebagaimana ungkapan seorang praktisi media yang melihat contoh kasus reality show kemiskinan, ia mengatakan uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah itu bisa jadi sangat besar bagi objek program yang menerima. Namun, dalam hitungan biaya produksi program, uang tersebut tidak berarti sama sekali jika dibandingkan harga jual produk mereka ke broadcast. Bahkan, dibandingkan dengan honor seorang artis, ”bantuan” tersebut adalah bentuk kamuflase memberi honor di bawa standar. Baik dijual dengan cara flat, maupun sharing revenue (bagi hasil antara PH dengan broadcast dari pendapatan iklan serta sponsor).[26]
Kemiskinan yang digarap melalui media massa menjadi problem menarik. Media masa yang dengan berbagai kepentingannya turut memperkeru bahkan mereduksi persoalan kemiskinan pada tingkat individu orang yang mengalaminya. Disini tidak ada upaya untuk bagaimana membantu rakyat miskin hingga keluar dari keadaan yang dialaminya. Segalah sesuatu menjadi imbalan bagi orang yang diikutsertakan untuk mendukung bisnis media. Kesenangan dialami hanya sesaat, dan selanjutnya mereka kembali menemukan dirinya dalam keadaan yang sama seperti sebelumnya. Komodifikasi kemiskinan ini lebih mengerikan karena muncul diberbagai stasiun televisi yang hanya mengejar jata iklan.
Dengan memproduksi beratus tayangan reality show dalam beberapa tahun, maka dapat dipastikan keuntungan yang besar diperoleh PH dan Stasiun televisi dari berbagai pihak yang berkepentingan untuk menjual produknya disela-sela tayangan. Sebuah riset kuantitatif yang dilakukan di tahun 2005 mencatat bahwa contoh spot iklan sebuah acara reality show diantri oleh para produsen, tiap spot (30 detik) dihargai Rp 18 juta.[27] Di tahun 2009, tarif iklan yang dipasang di celah tayangan reality show Jika Aku Menjadi tercatat Rp 20 juta.[28]
Penutup
Televisi bukan hanya sebagai produk teknologi semata. Namun telah menjelma menjadi instrumen yang memungkinkan distribusi nilai secara meluas. Kita dibawa masuk dan kerap menganggap realitas media sebagai realitas yang terjadi dalam kehidupan nyata seperti yang direpresentasikannya, sebagaimana tayangan reality show.
Program yang dilabeli reality show merupakan salah satu program yang hampir ditemui pada tiap stasiun televisi. Menjamurnya tayangan reality show kemiskinan diberbagai stasiun televisi bukan hanya berarti bahwa tayangan tersebut menjadi tren program televisi dewasa ini, namun lebih dari itu ada alasan ekonomis, yakni program tersebut memiliki biaya produksi yang cukup rendah dibanding memproduksi program lainnya. Dengan biaya produksi yang rendah, PH atau stasiun televisi dapat meraup keuntungan berlipat dari program tersebut.
Tiga program tayangan yang dijadikan contoh kasus: Duit Kaget (RCTI), Tukar Nasib (SCTV) dan Jika Aku Menjadi (Trans TV), memiliki ciri yang sama, yakni kemiskinan direpresentasikan dan dijadikan komoditas. Hanya saja, secara denotasi dari teks menampilkan orang dan tempat yang berbeda-beda. Dalam merepresentasikan kemiskinan, teknik dramatisasi dan melodrama menjadi fenomena yang cukup dominan.
Representasi kemiskinan ini dilakukan dengan tujuan agar dapat menarik pangsa iklan setinggi mungkin. Dengan demikian, maka reality show yang merepresentasikan kemiskinan merupakan bentuk komoditas terhadap objek kemiskinan. Produksi tanda kemiskinan dipertukarkan dalam bentuk rating-share yang merupakan legitimasi dalam penentuan tarif iklan di sela tayangan.
Dengan tanda kemiskinan yang dibawahnya, seolah-olah semua adegan yang ada dalam tayangan tersebut seperti nyata tanpa rekayasa, layaknya memainkan drama yang tragis dan mengharukan. Hal ini dilakukan dengan berbagai teknik produksi, dari mulai pengambilan gambar, pilihan musik, pencahayaan dan berbagai teknik lainnya, hingga semua itu dapat terjalin hingga membentuk cerita secara audio-visual.
Yang juga cukup menarik dari tayangan ini adalah bahwa ketiga tayangan tersebut tidak luput dari media televisi. Pada Duit Kaget, si ibu yang begitu panik tak lupa membeli televisi. Pada Tukar Nasib, diakhir tayangan terlihat televisi turut mendapat tempat utama pada bagian ruang tamu si miskin yang selesai diperbaiki. Sedangkan pada program Jika Aku Menjadi dengan alasan karena sering mak Napen merasa kesepian, maka dibelilah televisi untuk dapat menemani hari-harinya. Lagi-lagi televisi mendapat perhatian tersendiri.
Daftar Pustaka
Schechter, Danny. Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007
Ritzer, George dan Goodman. Teori Sosiologi, dari teori sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana 2008
Kasali, Rhenal. Manajemen Periklanan, Jakarta: Grafiti Kerjasama PAU-Ekonomi-UI, 1993
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer, dari strukturalisme sampai postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2001
Baudrillard, Jean. For a Critique of the Political Economy of the Sign, America: Telos Press, 1981
Piliang, Yasraf A. Dunia Yang Dilipat, tamasya melampaui batas-batas kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra 2004
Hall, Stuart. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall ed. Representation, Cultutal Representation and Signifiying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University,1997
Burton, Graeme. Membincangkan Televisi, Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Yogyakarta: Jalasutra, 2007
O’Sullivan, Tim et. Al. Key Concept in Communication and Cultural Studies. 2nd Edition, London: Routledge, 1994
Croteau, David dan William Hoyness. Media Society: Indutries, Images, and Audiences, 3nd Edition, California: Pine Forge Press, 2003
Barthes, Roland. Mythologies, London: Granada, 1983
Smiers, Joost. Arts Under Pressure, Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press, 2009
P Narendra, Media Massa dan Globalisasi Produk Simbolik, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 4 No. 2, 2000
Wirodono, Sunardian. Matikan TV-Mu!, Yogyakarta: Resist Book 2006
Halida dalam Reality Shows: Sebuah Pertunjukkan Krisis Identitas dan Peran Kapitalisme Media Massa (http://manequinism.wordpress.com/2009/02/12/reality-shows-sebuah-pertunjukan-krisis-identitas-dan-peran-kapitalisme-media-massa/)
Data Marketing PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) Januari 2009
[1] Danny Schechter, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hal. 14.
[2] Hampir semua stasiun televisi Indonesia memproduksi acara yang menurut mereka di kategorikan dalam program reality show. Acara reality show yang ditayangkan dan pernah tayang diantaranya, di SCTV ada Tukar Nasib, Harap-harap Cemas, Playboy Kabel, Pacar pertama, Uya memang Kuya, Hip Hip Hura, Cinta Lama Bersemi Kembali dan masih banyak lagi acara yang dikategorikan sebagai acara reality show yang diproduksi belakangan ini, sedangkan tolong yang pernah tayang di SCTV pada tahun 2002-2007, kemudian di RCTI tayang pada awal tahun 2009 sampai saat ini, selain itu di RCTI juga ada Minta Tolong, Bedah Rumah, Duit Kaget, Dibayar Lunas, Indonesian Idol, Mbikin Orang Panik (MOP), Katakan Cinta, The Master, Idola Cilik, Masihkah Kau Mencintaiku, Clier Top 10, Dasyat, Indonesian Idol, Mamamia Show, Tak ada yang abadi. Di Trans TV ada Tangan di Atas, Jika Aku Menjadi, Termehek-Mehek, Orang Ketiga, Realigi, Popstar, Cantik Indonesia, Drings, Paranoid, Kado Istimewa, Teropong Imani, dan lain-lain. Di TVRI ada Asia Bagus, Tangga Nada, dan lain-lain. Di TPI ada Kontes Dangdut, Mendadak Dandut, Audisi Pelawak, dan Curhat Anjasmara yang pernah ditegur KPI pada tahun 2009. di Indosiar ada Akademi Fantasi, Indonesian Model, Konteks Dangdut, Mamamia, Mis Impian, Happy Song, Kiss Vaganza, Supermama Seleb, Superstar Show, Take Home Out, dan lain-lain. Di ANTV ada Kena Deh, Hari yang Aneh, Pacar Usil, Klik, Penghuni Terakhir, Seleb Dance, Face to Face dan lain-lain. Di Global TV ada Be A Man I, II, III dan masih banyak lagi tayangan yang dimasukkan dalam kateori/genre reality show di berbagai stasiun televisi.
[3] Marx dalam Ritzer dan Goodman, Teori Sosiologi, dari teori sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana 2008, hal. 64
[4] Rating, adalah suatu ukuran yang menunjukkan bagian dari sejumlah individu atau rumah tangga yang melihat atau mendengarkan suatu program pada suatu waktu tertentu, yang biasanya dinyatakan dalam presentase (Lihat Rhenal Kasali, Manajemen Periklanan, Jakarta: Grafiti Kerjasama PAU-Ekonomi-UI, 1993, hal 148). Rating adalah evaluasi atau penilaian atas sesuatu, merupakan data kepemirsaan televisi, data pengukuran secara kuantitatif. Jadi rating bisa dikatakan sebagai rata-rata pemirsa pada suatu program tertentu yang dinyatakan sebagai persentase dari kelompok sampel atau potensi total. Pengertian yang lebih mudah, rating adalah jumlah orang yang menonton suatu program televisi terhadap populasi televisi yang di persentasekan.Data ini dihasilkan berdasarkan survei kepemirsaan TV (TV Audience Measurement). Survei kepemirsaan televisi ini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga yang bergiat pada persoalan ini, namun yang sering kita baca dan dengar adalah AGB Nielsen Media Research (AGB NMR). Data dari lembaga ini sering menjadi acuan bagi pihak-pihak pengambil keputusan di berbagai stasiun televisi maupun para pebisnis iklan.
[5] Pandangan Marx tentang komoditas berakar pada orientasi materialisnya, dengan fokus pada aktifitas-aktifitas produktif para aktor. Di dalam interaksi-interaksi mereka dengan alam dan dengan para aktor lain, orang-orang memproduksi objek-objek yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Objek-objek ini diproduksi untuk digunakan oleh dirinya sendiri atau orang lain di dalam lingkungan terdekat. Inilah yang disebut Marx dengan nilai-guna komoditas. Para aktor bukanlah memproduksi untuk dirinya atau asosiasi langsung mereka, melainkan untuk orang lain (kapitalis). Produk-produk memiliki nilai-tukar; artinya, bukannya digunakan langsung, tapi dipertukarkan di pasar demi uang atau demi objek-objek yang lain. Menurut Marx, komoditas adalah sesuatu yang misterius, karena di dalamnya karakter sosial dari kerja seseorang akan dia lihat sebagai karakter objektif yang tercap pada produk kerja tersebut: karena relasi para produser dengan seluruh kerja mereka dihadirkan kepada mereka sebagai sebuah relasi sosial, relasi yang tidak eksis di antara mereka, melainkan diantara produk-produk kerja mereka itu sendiri. (Marx via Ritzer dan Goodman, Op.Cit, hal. 59-60).
[6] Nilai-guna suatu objek tidak lain merupakan kegunaannya yang terkait dengan pegertian Marx tentang pemenuhan kebutuhan tertentu; di sisi lain, nikai-tukar akan terkait dengan nilai produk itu di pasar, atau harga objek yang bersangkutan. Objek nilai-tukar inilah yang disebut Marx sebagai bentuk komoditas dari objek tersebut (Lihat John Lechte, 2001, 50 Filsuf Kontemporer, dari strukturalisme sampai postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 352). Terkait dengan nilai-guna dan nilai-tukar maka penting juga melihat penjelasan Ritzer yang merujuk pada Marx. Nilai guna dihubungkan dengan relasi kuat antara kebutuhan-kebutuhan manusia dan objek-objek actual yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sulit untuk membandingkan nilai-nilai guna yang berbeda-beda. Roti memiliki nilai-guna untuk menghilangkan lapar; sepatu memiliki nilai-guna untuk melindungi kaki kita. Sulit untuk mengatakan bahwa yang satu memiliki nilai-guna lebih dibandingkan yang lain. Secara kualitatif, keduanya berbeda. Kemudian, nilai-guna dihubungkan dengan property-properti fisik dari sebuah komoditas. Sepatu tidak bisa menghilangkan rasa lapar dan roti tidak bisa melindungi kaki karena keduanya secara fisik merupakan dua jenis objek yang berbeda. Namun di dalam proses pertukaran, komoditas-komoditas diperbandingkan antara satu dengan yang lain. Sepasang sepatu bisa dipertukarkan dengan enam buag roti. Atau jika kita menggunakan uang, sebagaimana biasa, sepatu berharga enam kali uang sepotong roti. Nilai-tukar berbeda-beda secara kuantitatif. Kita bisa mengatakan bahwa sepasang sepatu memiliki nilai-tukar lebih besar daripada sepotong roti. Kemudian, nilai-tukar terpisah dari property fisik komoditas. Hanya segala sesuatu yang bisa dimakanlah yang bisa memiliki nilai-guna untuk menghilangkan rasa lapar, akan tetapi apa pun memiliki nilai-tukar senilai satu dolar (Lihat Ritzer dan Goodman, Op.Cit, hal. 59-60)
[7] Catatan kaki ini memiliki kaitan untuk dapat dibedakan mengenai objek yang disinggung pada catatan kaki nomor 5 dan 6. Karena pandangan mengenai objek yang dikaitkan dengan perkembangan kapitalisme mutakhir telah memiliki pergeseran atau lebih memperkaya kajian terhadap permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. Dimana objek bukan hanya dilihat sebagaimana yang dijelaskan pada catatan kaki sebelumnya, namun lebih dari itu objek kini lebih bervariasi dalam bentuk tanda sebagaimana yang dilihat Baudriilard. Objek menurutnya sebagai fungsi tanda, yakni pergeseran dari masyarakat metallurgic menuju masyarakat semiurgy yang merupakan dominasi total oleh kode pertukaran tanda. Pembahasan selanjutnya dapat dilihat dalam Jean Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of the Sign, America: Telos Press, 1981, hal 185-186 yang juga terkait dengan konsepsi objek yang dilangsir Bauhaus yang kemudian lebih diperluas oleh Baudrillard.
[8] Teoretisi Mazhab Frankfurt diantaranya ialah Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, dan lain-lain, yang melakukan kritik tajam perekayasaan konsumer melalui komoditi, inilah yang merupakan salah satu pokok kritik sosial para pendukung Mazhab Frankfurt. Bagi mereka budaya populer atau budaya komoditi adalah satu cara dalam memanipulasi masyarakat melalui satu bentuk yang disebut mereka administrasi total. Bentuk administrasi ini sendiri cenderung bersifat total menyerupai sifat totalitarian fasisme, disebabkan di dalamnya terdapat unsur pengaturan massa (konsumer) dari atas (produser), sehingga menjadikan mereka massa yang pasif (Lihat Yasraf A. Piliang, Dunia Yang Dilipat, tamasya melampaui batas-batas kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra 2004, hal 190). Lihat juga Dominic Strinati, Popular Culture, pengantar menuju teori budaya populer, Cetakan Ketiga, Yogyakarta: Jejak, 2007, hal. 58-82. Sedangkan teoretisi Mazhab Frankfurt generasi kedua yang juga melancarkan kritik terhadap kapitalisme dewasa ini ialah Jurgen Habermas.
[9] Piliang. Ibid, hal. 191.
[10] Kellner dalam Ritzer dan Goodman, Op.Cit, hal. 677.
[11] Piliang. Dunia Yang Dilipat, Op.Cit, hal. 191-192.
[12] Baudrillard. For a Critique, Op.Cit, hal. 146.
[13] Baudrillard, Ibid, hal. 124.
[14] Berkaitan dengan persoalan nilai, Baudrillard dalam The Transparancy of Evil, melihat ada tiga tahapan nilai dalam masyarakat, yaitu tahap alamiah (nilai guna), tahap komuditi (nilai tukar), dan tahap struktural (nilai tanda atau nilai semiotis). Pada tahap alamiah, segala sesuatu bercermin pada alam dan nilai-nilai di susun berdasarkan pemanfaatan dunia secara alamiah. Tahap kedua mengacu pada hukum pertukaran (general equivalent), dan nilai-nilai disusun mengacu pada logika komoditi. Tahap ketiga diatur oleh kode-kode, dan nilai-nilai disusun pada seperangkat tanda dan model. Akan tetapi, pergeseran nilai-nilai tersebut, menurut Baudrillard tidak berhenti sampai disini. Ia melihat bahwa didalam era transparansi global dewasa ini berkembang sistem niali tahap keempat yang disebutnya tahap nilai fraktal (atau viral) yaitu sistem nilai-nilai yang berkembangbiak melalui pelipatgandaan tanpa akhir. Dalam sistem nilai fraktal, tidak ada lagi yang disebut titik referensi. Nilai-nilai memancar kesegala arah, menulari dan mengkontaminasi setiap sudut kehidupan dalam kecepatan tinggi, sebelum ia kemudian menghilang (Baudrillard, ”The Transparancy of Evil,” dalam Piliang, Dunia Yang Dilipat, Op.Cit, hal. 165)
[15] Stuart Hall. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall ed. Representation, Cultutal Representation and Signifiying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University,1997, hal. 24-25.
[16] Hall, Ibid, hal. 26.
[17] Graeme Burton, Membincangkan Televisi, Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Yogyakarta: Jalasutra, 2007, hal. 42-43.
[18] Tim O’Sullivan, et. Al. Key Concept in Communication and Cultural Studies. 2nd Edition, London: Routledge, 1994, hal. 265.
[20] Lihat David Croteau dan William Hoyness, Media Society: Indutries, Images, and Audiences, 3nd Edition, California: Pine Forge Press, 2003, hal. 195-198.
[21] Pada hakikatnya representasi adalah sesuatu yang telah melalui seleksi. Representasi adalah hasil dari proses seleksi yang mengakibatkan bahwa ada sejumlah aspek dari realitas yang ditonjolkan serta ada sejumlah aspek lain yang diabaikan. Karena seluruh representasi adalah sebagai”penghadiran kembali” dunia sosial yang kemudian membawa implikasi yang beragam. Suatu representasi pasti akan bersifat sempit.
[22] Roland Barthes, Mythologies, London: Granada, 1983, hal. 15.
[23] Joost Smiers. Arts Under Pressure, Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press, 2009, hal. 36.
[24] Smiers, Ibid, hal xii.
[25] Baudrillard dalam P Narendra, Media Massa dan Globalisasi Produk Simbolik, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 4 No. 2, 2000, hal. 146.
[27] Halida dalam Reality Shows: Sebuah Pertunjukkan Krisis Identitas dan Peran Kapitalisme Media Massa (http://manequinism.wordpress.com/2009/02/12/reality-shows-sebuah-pertunjukan-krisis-identitas-dan-peran-kapitalisme-media-massa/)
[28] Data Marketing PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar