Saat Kapitalisme ‘Membunuh’ Anak-anak
(Kritik Ideologi atas Nalar Budaya Kapitalisme)[1]
Oleh : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si[2]
“Anak-anak memaniskan jerih payah kehidupan,
namun membuat kemalangan makin getir.
Mereka memperbanyak kecemasan hidup,
namun mengurangi pikiran tentang kematian.”
(Francis Bacon)
“Tanpa rahasia, tentu saja, tidak ada masa kanak-kanak”
(Neil Postman)
Apa yang menjadi realitas problem ‘anak’ saat ini dalam mahakuasanya sistem besar ‘kapitalisme’ tentu sangat penting untuk diurai dan dibaca. Nalar kuriositas selalu berkeinginan untuk bisa menjelaskan sampai pada prinsip dasar dan hakikat terdalamnya. Secara ilmiah tentu ini menjadi tugas yang menantang. Untuk tidak terburu-buru, pokok diskusi tentang ‘kapitalisme’ dan ‘anak’, terutama membaca keterkaitan keduannya tentu bukan perkara analisis yang sederhana. Pertama, banyak dimensi yang bisa diangkat dan disertakan untuk membantu titik pijak analisis. Kedua, untuk menghindari nalar reduksi kesimpulan yang simplistis tentu fondasi pembacaannya akan banyak menyertakan tafsiran-tafsiran yang multipendekatan. Ketiga, demi menghindari pengamatan yang parsial dalam menangkap jantung problemnya, sebuah geneologi pencarian yang mampu memberikan deskripsi dan interpretasi mendalam sangat penting diangkat.
Dalam beberapa telaah literatur, opini, artikel dan perbincangan tentang ‘kapitalisme’ dan ‘anak-anak’, pertanyaan bagaimana nalar kapitalisme berdampak terhadap anak bukan barang yang baru dan sedikit banyak telah menjadi diskusi hangat. Ia merentang dari berbagai sudut kajian baik secara politis, ekonomis, sosiologis maupun budaya. Ringkasnya, problem anak berkait pengaruh kapitalisme tidak hanya menyentuh determinasi tunggal. Anak tidak hanya menjadi sasaran tujuan langsung pasar sebagai halnya konsumen lainnya, ia juga dilibatkan menjadi entitas penting dalam kemajuan kapitalisme baik menjadi tenaga produktif (tenaga murah), sarana dan bahkan pada aspek fisik mewujud sebagai komoditas itu sendiri. Pertama, meletakkannya sebagai ‘komoditas’ dan barang bernilai yang secara langsung mampu menghasilkan akumulasi keuntungan. Jual beli, eksploitasi dan perdagangan anak salah satu gambaran akan bentuk primitif ini.[3] Kedua, ia menjadi sarana langsung dari terciptanya percepatan akumulasi. Eksploitasi anak sebagai pekerja (Child Labour) yang bisa dibayar lebih murah membuktikan asumsi ini.[4] Ketiga, Secara tidak langsung ia menjadi sarana ‘propaganda’ dalam perdagangan komoditas. Iklan-iklan anak, film, dunia hiburan, kisah-kisah dalam buku fiksi, dan media-media massa lain yang menggunakan anak sebagai ‘ikon’ adalah strategi dan siasat propaganda budaya yang kental dalam tradisi ‘kapitalisme kontemporer’ saat ini. Keempat, anak menjadi objek penting yang ingin disasar dalam berbagai komoditas yang diproduksi oleh mesin kapitalisme. Diferensiasi kebutuhan dan ‘angka belanja produk untuk anak’ kian hari seakan semakin meningkat dalam bidang-bidang yang lain yang sebelumnya tidak diperkirakan hadir. Anak adalah medan dan pasar konsumen yang paling menjanjikan. Apa yang dahulu tidak menjadi kebutuhan, kini bertebaran hadir begitu rupa. Kelima, anak-anak bersama perempuan masih menjadi komunitas yang paling rentan berhadapan dengan berbagai ‘residu’ dan ‘konsekuensi’ mengerikan dari problem kapitalisme. Contoh yang paling besar bisa ditunjukan adalah fenomena para pengungsi dan korban akibat perang dan konflik dunia yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Terakhir yang juga amat memprihatinkan adalah hilang dan hancurnya berbagai ruang hidup bagi lahan perkembangan anak secara baik. Akses tersebut semakin sempit oleh sesaknya nalar-nalar rakus kapitalis yang berujung hanya pada nalar pencapaian akumulasi profit yang tak terbatas.
Tulisan ini tidak berkehendak untuk merangkum dan membincangkan kesemuanya. Kecuali tentu tidak realistis, usaha ke arah sana tentu butuh ruang, waktu dan energi pengkajian yang amat luas dan data-data yang harus mencukupi. Paper ini cukup membatasi pada telaah yang banyak menyentuh bidang kajian tentang nalar filosofis dan budaya bagaimana kapitalisme bekerja dan menjadi sumber persoalan bagi nasib anak-anak. Tulisan ini juga akan sedikit banyak melihat bagaimana ‘anak-anak’ dikonstruksi dan direpresentasikan dalam nalar pasar saat ini. Tentu aspek dan dimensi ekonomi politik ikut disertakan untuk menjadi setting gambaran bagaimana persoalan ini hadir. Harapanya catatan ini menjadi cara untuk membangun kritik atas nalar budaya yang berkembang saat ini. Sebagai refleksi tentu catatan ini berharap bisa menjadi provokasi positif untuk diskusi selanjutnya.
Sejarah ’Kanak-kanak’ dalam ’Katagori Kekuasaan’
Ada dua pemahaman awal yang cukup penting untuk diletakkan secara konseptual dalam rangka membantu nalar analisis selanjutnya. Pertama, tentu pengertian tentang ‘anak-anak’ satu sisi dengan pemahaman ‘kapitalisme’ dalam sisi yang lain. Dala diskusi ini, penting untuk memahami hakikat konsep keduanya. Rumusan pengertian apa yang disebut ‘anak-anak’ dan ‘masa kanak-kanak’ tidak menjadi sesuatu yang jadi (fixed) begitu saja. Apa yang dimaksud di sini bukan sebatas problem definisi, tetapi menyangkut situasi ‘pemaknaan’ dan ‘pemahaman’ yang kian waktu mengalami dinamika perkembangan. Ia juga bukan hanya dilihat sebagai persoalan umur biologis yang dihitung dari mesin waktu mekanik. Ia menyangkut sebuah situasi ‘keberadaan’ anak yang menyentuh dimensi-dimensi sosial budaya yang lain. Menyangkut hal yang terakhir ini, pemahaman konsep tentang anak-anak menjadi problem yang kompleks dan dinamis. Tidak salah jika poin ini harus dimengerti sejak awal. Dalam taraf tertentu rumusan batasan yang memisahkan antara ‘anak-anak’ dan ‘dewasa’ mengalami sesuatu yang membingungkan.[5] Yang bisa dipastikan, ia selalu dibawa oleh perkembangan yang berbeda-beda di berbagai ragam budaya dan sejarah masyarakat.
Ide-ide dan konsepsi pengertian tentang apa yang dimengerti sebagai ‘anak’, masa kanak-kanak, dan ‘dunia anak’ selalu tidak hadir dalam rumusan yang jelas dan pada sisi yang lain membingungkan. Konstruksi dan definsinya selalu mengalami perubahan. Ia bukan sebentuk konsep dan definisi final yang permanen. Ia lebih menyerupai ‘katagori sosial’ ketimbang pembatasan dalam ‘katagori biologis’. Dalam banyak hal ia selalu dipengaruhi oleh perkembangan sistem mainstream sosial dan budaya yang menopang masyarakat berjalan. Nalar pengertian ini hampir sama ketika kita juga mencoba mendefinsikan tentang apa yang dimengerti tentang ‘pemuda’. Konsepnya lebih bukan sebagai pertanda alamiah dan niscaya dari usia yang ditentukan secara biologis. Ia juga bukan menunjukan klasifikasi individu yang dibangun secara organis dalam konsekuensi posisi tertentu. Sosiolog Talcot Parson dalam bukunya ’Age and Sex in The Social Structure of United State”, melihat bahwa definisi-definisi tersebut bukan merupakan suatu katagori universal biologis, melainkan satu ‘konstruk sosial’ yang tengah berubah yang muncul pada kurun waktu tertentu dan pada kondisi definitif.[6] Banyak hal pula, setiap konteks yang berbeda juga memiliki pengertian yang beragam tentang ‘anak-anak’. Rumusan-rumusan yang definitif tentang anak-anak sejatinya tidak merujuk pada ‘substansialisasi’ makna yang tunggal dan bahkan dalam banyak porsi, pengertiannya tergantung bagaimana ‘orang dewasa’ mendefinisikannya.[7]
Meminjam analisis kritis Neil Postman, ‘masa kanak-kanak sejatinya merupakan deskripsi dari tingkat pencapaian simbolis.[8] Kesadaran atas pengertian anak secara luas berkembang setelah ditemukan teknologi percetakan awal. Postman dalam hal ini mau mengatakan bahwa perkembangan kapitalisme cetak menjadi variabel besar dalam mengkonstruksi pengertian tentang masa kanak-kanak. Masa pemisahan ‘dewasa’ dan ‘kanak-kanak’ kemudian dilekatkan pada masalah ‘kemampuan’ membaca seseorang.[9] Namun dalam perkembangannya, ia bisa merujuk pada kondisi-kondisi kekhususan biologis, psikologis, sosiologis, politis dan kultural, tetapi ia juga bisa berkembang sebagai entitas makna yang bisa merujuk apapun melebihi makna sebelumnya yang dianggap baku. Ia bisa dipakai dalam ranah pembicaraan kebudayaan dan bahkan kepentingan-kepentingan nalar politik.[10]
Pada ‘masyarakat prakapitalis’, keluarga memenuhi semua fungsi ‘reproduksi sosial’ secara biologis, ekonomis, dan budaya. Pembatasan antara apa yang dimaknai sebagai ‘anak-anak’ dan ‘orang dewasa’ menjadi tidak cukup penting. Situasi berubah ketika sejarah dengan perkembangan masyarakat yang terspesialisiasi, universal, modern dan rasional mulai terbangun. Batas-batas lambat laun muncul walau dengan sifat kelenturannya. Imbasnya juga mempengaruhi formasi dan bentuk keluarga modern yang saat ini berkembang. Masyarakat Abad Pertengahan menurut penulis buku Centuries of Childhood, Philip Aries gagasan tentang masa kanak-kanak tidak berkembang. Kehadiran konsep tentang ’masa kanak-kanak’ baru muncul di Eropa bersama dengan berbagai gagasan ’borjuis’ mengenai keluarga, rumah, hak pribadi dan kepribadian.[11] Dalam banyak fakta menurut Aries, pengeretian tentang masa kanak-kanak tumbuh bersama dengan berkembangnya kebutuhan akan pendidikan sekolah formal yang telah menggantikan peran pendidikan yang diberikan keluarga.
Sebagai bagian formasi identitas yang banyak terpengaruh oleh kondisi-kondisi ekternal melalui berbagai praktik budaya yang dominan, sebagai halnya praktik diskursif budaya maka problem diskursif anak-anak tidak akan lepas dengan nalar-nalar dasarnya yakni ‘kekuasaan’ dan dalam banyak hal bersifat ’ideologis’. Secara khusus ‘makna’ dan ‘kebenaran’ dalam domain diskursif budaya dibangun dalam nalar dan pola-pola kekuasaan tertentu, yakni nalar kekuasaan seperti yang diungkap oleh Jordan dan Weedon sebagai: kekuasaan untuk ‘menamai’, ‘merepresentasikan’, ‘menciptakan versi resmi’ dan ‘merepresentasikan dunia sosial yang legitimate’.[12] Selama makna-makna tersebut diarahkan untuk ’membangun’ dan mempertahankan ’relasi dominasi’ maka didalamnya akan terkandung kepentingan ’ideologis’.[13]
Media kapitalistik dan Politik Ideologi
Media massa kapitalistik tentu menjadi salah satu sarana yang amat besar dalam menjungkirbalikan makna tentang apa yang sejatinya disebut ‘anak-anak’. Bahkan dalam dimensi yang lebih besar ia telah menghilangkan apa yang disebut sebagai ’masa kanak-kanak’. Bagaimana penghilangan batas ini bisa menghilang? Salah satu ciri pentingnya adalah bahwa media massa telah menghapuskan esklusifitas pengetahuan duniawi termasuk dalam hal ini adalah perbedaan prinsip ’anak-anak’ dan ’orang dewasa’. Media massa terlebih seperti media Televisi bahkan berhasil mengikis garis pemisah antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dan semua terkait dengan aksesbilitasnya yang tidak membeda-bedakan.[14] Jikapun media massa memberikan plot dan kemasan yang ditujukan pada audiens berbeda, ia selalu gagal menjawab bahwa sejatinya materi tertentu dalam media massa ini ditujukan kepada siapa? Paling vulgar ditunjukan dalam nalar materi televisi. Ruang batasnya semakin tidak jelas. Jargon egalitarian dan akses demokratis media sering menyembunyikan kepentingan dasar yang lebih mengerikan. Selaras dalam nalar ‘akumulasi primitif’ kapitalis yang terpenting adalah tersedianya kemungkinan yang lebih luas terhadap peningkatan keuntungan, tak persoalan apakah ia anak-anak, dewasa atau bahkan orang tua.
George Gebner dalam bukunya ‘Marketing Mayhem Globally”[15] dengan nada kritis menunjukan bagaimana sejarah manusia saat ini banyak tersusun oleh bagaimana media massa memberi nilai padanya. Saat media massa dibaca dan televisi dihidupkan sebuah basis politik, ekonomi dan moral bagi suatu tatanan sosial berorientasi keuntungan dilegitimasi secara implisit.[16] Melalui media massa sebagian kisah tentang orang-orang, kehidupan dan nilai-nilai tidak lagi diceritakan oleh orang tua, sekolah, komunitas atau agama melainkan oleh oleh sekelompok konglomerasi dikejauhan yang memiliki sesuatu untuk didagangkan. Tentu yang dimaksud di sini, adalah media dalam pemaknaan yang lebih luas sebagain representasi dari nalar bekerjanya mesin kekuasaan kapitalis yakni apparatus diskursif, hegemoni dan sekaligus propaganda modern.
Tentu saja analisis ini tidak bermaksud melebih-lebihkan semata peran media. Media massa dalam sistem kapitalis tidak bekerja sendirian, ia hanya menjadi salah satu bagian dari bagaimana relasi-relasi hegemoni dan dominasi itu dibangun. Penting untuk tidak meninggalkan kekuatan-kekuatan produkstif yang berkuasa dan menjaga bagaimana sistem besar ini berjalan. Hanya memang harus diakui dan sepakat dengan apa yang dibilang Thompson bahwa analisis terhadap kekuatan ideologis seperti halnya sistem kapitalisme pasar dalam era modern saat ini harus memberikan peran sentral bagi sifat dan dampak ’komunikasi massa’[17], sekalipun komunikasi massa bukan satu-satunya tempat bagi ideologi. Pemikiran Thompson merupakan karakteristik perkembangan dari nalar berpikir yang mulai berkembang untuk menggenapi ruang kosong yang ditinggalkan dalam perspektif Marxian yang lebih klasik dalam mengkritik ideologi-ideologi dominan. Salah satu karakteristik yang ingin ditawarkan menempatkan pengembangan pada ranah analisis suprastruktur ideologis seperti media massa dan bagaimana gagasan ideologi itu dipraktikan. Melampaui determinasi ekonomis, eksplorasi yang ditawarkan bahkan menjelajah pada cara rumit tergabungnya berbagai citra, mitos, praktik sosial, dan cerita dalam produksi ideologi.
Pertanyaan dan sekaligus jawaban selanjutnya yang harus diajukan tentu harus memberi bobot keyakinan yang besar mengapa sistem kapitalisme sangat berbahaya bagi kehidupan anak-anak. Berbahaya tidak hanya dalam gambaran fisik langsung tetapi lebih luas menyangkut ruang-ruang dimensi kehidupan anak. Jika tulisan ini membatasi pada satu dimensi analisis, maka telaah penting juga harus bisa menjelaskan mengapa politik ideologi dan dominasi budaya kapitalis merupakan ancaman bagi masa depan kehidupan anak. Titik landasan pertama tentu harus bisa meletakakan karakteristik yang mendasar apa yang dimengerti sejatinya dalam budaya ideologi kapitalistik.
Saat Hidup menjadi ’Komoditas’
Ideologi ini secara prinsip adalah tak ubahnya mesin jiwa raksasa yang melanggengkan modus cara hidup produksi dimana individu manusia diberi kebebasan untuk memiliki dan menguasai modal-modal hidup manusia, Sistem ini juga membiarkan sebuah aturan yang memberi peluang penguasaan manusia yang satu atas manusia yang lainnya. Sistem ini lahir dalam kurun sejarah perkembangan yang melahirkan pemisahan semakin kentara antara mereka yang menguasai milik dengan mereka yang hanya menjadi pekerja. Akumulasi pemberhalaan keuntungan tak terbatas menjadi spirit manusia kapitalis. Dalam bekerjanya, pencapaian akumulasi ini selalu mensyaratkan berbagai residu sistem yang timpang. Manusia dianggap ’entitas anonim bebas’ yang hidup dalam rimba kompetisi, siapa yang mempunyai kekuatan untuk membangunnya akan menjadi pemenang dan berkuasa atas yang lain. Oleh karenanya ’individualitas’ menjadi sandaran kepribadian manusia kapitalis sementara hukum-hukum pasar dianggap niscaya dan sakral untuk dianut. Pemanfaat manusia oleh manusia adalah sistem ’nilai ekspresif’ yang menggarisbawahi sistem kapitalis.[18] Pemberhalaan atas benda dalam budaya konsumsi hanyalah satu gambar besar bagaiman manusia ditarik dalam ’kesadaran anonimitas’ untuk meningkatkan nalar akumulasi keuntungan bagi segelintir orang yang berkuasa atas modal. Masyarakat selalu dibaca sebagai konsumen yang harus dipaksa membeli apapun yang telah diproduksi. Tak ada waktu berhenti, mereka mencecar masyarakat dengan indoktrinasi iklan-iklan komersial.[19] Apa yang menjadi kepentingan tersembunyinya tetap sama : akumulasi keuntungan!!!
Harapan, nilai, keyakinan, gaya hidup dan bahkan cara masyarakat berjalan amat sulit untuk dipisahkan dengan bagaimana logika mesin kapitalisme ini dibangun. Kebertahanannya selalu ditopang dengan berbagai sistem penguasaan yang melanggengkan dan mengabsahkan berbagai daya dan lembaga yang menekan dan menindas orang. Semua katagori tentang apa yang pantas, apa yang baik, apa yang absah mampu dibangun sedemikian rupa sambil menyembunyikan tangan kepentingan yang lain yakni hasrat penguasaan atas segala ranah dimensi manusia. Dalam mata kapitalis, segala aspek yang lekat pada manusia bisa dibentuk menjadi ’komoditi’ bahkan pada hidup manusia sendiri. Kredonya selalu tetap dan tak berubah, menjanjikan masa depan hidup dengan lapisan fondasi pragmatis keuntungan. Relasi manusia dihitung seberapa jauh ia bisa terlibat di dalam membangun mesin akumulasi ini berjalan. Apa yang menghambat harus dibuang dan disingkirkan bahkan dengan jalan perang sekalipun.[20] Inilah sejatinya gambaran nalar ideologi budaya yang lebih mengerikan ketimbang sekedar tampakan fisik yang ditunjukan.
Kerentanan anak-anak berhadapan dengan kerakusan kapitalisme datang dari berbagai kemungkinan. Tak hanya karena berpeluang dijadikan ’lahan konsumen’ pasar yang paling menguntungkan, tetapi kemungkinan jatuh menjadi komoditas yang menjanjikan. Akal budi kesadaran yang masih dalam fase transisi perkembangan sangat memungkinkan segala apa yang ’manipulatif’ dimaknai menjadi apa yang ’real dan benar’. Masa hidup yang masih membutuhkan pencarian-pencarian dasar tentang nilai-nilai hidup sangat rentan untuk mengalami kooptasi dan virus cara berpikir yang salah. Akal budi masih belum maksimal hadir seperti kebanyakan mereka yang sudah masuk dalam tahap perkembangan kedewasan bernalar dan berpikir. Sang anak tentu tidak akan cukup dalam untuk bisa menangkap atau bahkan membaca apa yang hadir di balik yang nampak secara indrawi. Akal budi masih terbatas pada bentuk-bentuk peniruan dan ketergantungan pada dunia di luarnya termasuk dalam hal ini determinasi orang tua.[21]
Apa yang terserap dan tertangkap dalam indera anak menjadi sebuah pengalaman apa adanya yang berharga. Seutuhnya fase ini memungkinakan sang anak akan sangat minim menemukan rasionalitas pertimbangan berpikir. Reflektif diri dan permaknaan tentu saja juga belum hadir pada diri anak-anak. Konsep apa yang baik, apa yang benar dan apa yang boleh untuk disentuh masih menjadi konstruksi orang dewasa yang ditujukan kepadanya. Dari situlah masa kanak-kanak sebenarnya menjadi lahan subur bagi insting dan nalar kapitalisme bekerja. Karena sejatinya bagi kapitalisme, semakin ’masyarakat tak berpikiran’[22] berkembang dan membudaya, maka kapitalisme semakin menemukan ruang keuntungannya. Bukan saja keuntungan material fisik tetapi juga keuntungan atas hadirnya ’budaya kepatuhan’ dan ’pemberhalaan’ tanpa henti. Karena di titik sanalah hegemoni akan terus berjalan dan sang sistem akan menemukan kebertahanannya. Bagi penulis, justru dalam aspek nalar ideologis inilah ’ancaman’ yang sebenarnya menjadi sel kanker mematikan bagi masa depan anak-anak sedang berjalan.
***
[1] Makalah disampaikan pada “Seminar Kebudayaan Populer dengan tema : Selamatkan Anak-anak” yang diselenggarakan oleh DPC PMKRI Cab. Surakarta ‘Santo Paulus” , Tanggal 29 Agustus 2010, di Gedung Ruang Paripurna DPRD Kota Surakarta.”
[2] Pemateri adalah Pekerja Sosial tinggal di Yogyakarta dan sekarang menjadi Dosen Tamu di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atmajaya Yogyakarta dan Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Yogyakarta.
[3] Data yang berhasil dihimpun oleh UNICEF, lebih dari 1,2 juta anak diperdagangkan tiap harinya dan dari data yang dicatat International Labour Organization (ILO) ‘Industri Perdagangan Anak’ menengguk untung 12 milliar dolar pertahunnya dari sistem perdagangan anak. Dari jumlah data tersebut, terbesar jumlah anak-anak dan perempuan yang diperdagangakan ada di kawasan Asia yang mencapai sekitar 250.000 sampai 400.000 (305 dari angka perkiraan global). Sumber : http//www.ecpat.net/
[4] Data dari ILO juga menyebutkan, diperkirakan lebih dari 4,2 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Sekira 1,5 juta diantaranya adalah anak perempuan. Sedangkan data yang didapat dari International Programme on The Elimination of Child Labour, ILO, mengungkap, dari sekitar 2,6 juta Pembantu Rumah Tangga ( PRT ) di Indonesia saat ini, 34,83 % adalah anak-anak, dan 93 % diantaranya adalah anak perempuan. Sumber : http//www.ilo.org/
[5] Lih, D. Sibley, Geographies of Exclusion, Routledge Press, London, 1995, p. 34.
[6] Lih, Chris Barker, Cultural Studies : Teori dan Praktik (terj). Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal. 334. Dalam tambahan dari analisis Talcot Parson ini, Chris Barker sendiri ikut menambahkan bahwa sebagai konstruksi budaya, makna ‘pemuda’ bergeser menurut ’ruang’ dan ’waktu’ berdasarkan atas ‘siapa’ disebut ‘oleh siapa’. Pemuda adalah produk diskursif yang dibentuk secara terorganisir dan terstruktur.
[7] Lih, Team Read Book (eds) , Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis, Penerbit Read Book, Yogyakarta, 2002, hal. 500. Masa kanak-kanak kemudian dimengerti sebagai cara untuk menyebut ‘masa belum dewasa’ atau ‘transisi menginjak menuju dewasa’.
[8] Lih, Neil Postman, Selamatkan Anak-anak, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2010. Merujuk pada pencapaian ‘simbol’ tertentu maka ia sebagai pengertian tidak ‘hadir’ pada dirinya sendiri tetapi merujuk pada ‘yang lain’ (arbriter) yang hadir di luar dirinya. Proses ini berlangsung pada pembentukan ‘identitas’ sang anak yang banyak dipengaruhi oleh domain sosial yang berkembang.
[9] Lih, Ibid, hal. 35, menurut Postman, dimulainya abad percetakan abad 16 menciptakan sebuah definisi baru mengenai usia dewasa ‘berdasarkan kemampuan membaca’ , dan karenanya sebuah konsep baru mengenai usia anak-anak dibuat ‘ketidakmampuannya membaca’.
[10] Kajian tentang pengalaman menarik bagaimana ruang keluarga Indonesia modern termasuk di dalamnya dimensi yang mengkaitkan nalar kepentingan politik kekuasaan dan kondisi anak Indonesia diulas apik dalam karya Saya Sasaki Shiraishi. Lih, Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan Ford Foundation, Jakarta, 2001. Bahkan Shiraishi mencatat perkembangan awal bagaimana konsep tentang ’masa kanak-kanak’ berjalan sangat politis. Ia menjelaskan misalnya oleh ’kolonialisme Belanda’ para pribumi disamakan dengan ’anak-anak’ yang perlu didisik dan dibimbing dan pihak Kolonial Belanda disebut sebagai ’bapak’ atau ’orang tua’
[11] Lih, Philips Aries, Centuries of Childhood: A Social History of Familiy Life yang dikutip dalam buku Saya Sasaki Shiraishi, Ibid, hal. 8.
[12] Lih, G. Jordan dan Weedon, Cultural Politics : Class, Gender, Race and The Postmodern World, Blackweel, Oxford, 1995, p. 13.
[13] Lih, John B. Thompson, Kritik Ideologi Global (terj), Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2006, hal. 90. Thompson memberi pengertian bahwa tidak semua fenomena makna bersifat ideologis selama dalam ‘konteks sosio historis’ tertentu ia tidak membangun relasi dominasi.
[14] Lih, Neil Postman, Ibid, hal. 118. Perkembangan yang menjadi penting dari titik pemisahan ini kemudian semakin dimodernisasi dalam nalar pendidikan sekolah. Pendidikan formal menjadi institusi yang paling berperan dalam membangun hirarkhi pengelompokan usia.
[15] Lih, Joost Smiers, Art Under Pressure : Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi (terj), Penerbit Insist Press, Yogyakarta, 2009, hal. 200.
[16] Lih, E. Herman dan R. McChesney, The Global Media : The New Visionaries of Corporate Capitalsm, Cassell, London, 1997 yang dikutip dalam buku Noreena Hertz, Membunuh Atas Nama Kebebasan, The Silent Take Over, Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi (terj), Penerbit Nuansa, Bandung, 2004, hal. 15.
[17] Lih, John B. Thompson, Ibid, hal. 393.
[18] Lih, Erich Fromm, Masyarakat Yang Sehat (terj), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 103. Dalam sistem yang memberhala logika akan penguasaan keuntungan ini maka oleh Erich Fromm akan mangakibatkan bahwa orang yang memiliki kekayaan modal menguasai orangyang ‘hanya’ memiliki hidupnya sendiri, ketrampilan manusiwai, vitalitas dan produktivitas kreatif. Bahkan dalam dimensi yang terdalam ‘manusia’ menjadi ‘mahluk anonim’ seperti halnya kekuatan kekuatan sosial yang lain yang juga anonim dalam struktur cara produksi kapitalistik.
[19] Telah menjadi fakta, sebagian terbesar iklan korporasi sekarang ini khusus ditujukan untuk ’mengindoktrinasi anak-anak’ tentang nilai-nilai ‘konsumerisme’ dan kaidah korporasi bahkan hingga ke ruang-ruang kelas sekolah. Lih, David C. Korten, The Post-Corporate World, Penerbit Obor, Jakarta, 2002, hal. 38.
[21] Benteng orang tua sebagai penjaga dan pembentuk nilai menjadi sangat penting, meskipun banyak hal pula justru dengan menjalarnya nalar kapitalistik yang juga sudah membudaya di orang tua maka peran itu semakin hilang dan banyak hal pula justru orang tua sendiri yang menjadi agen pembantu kebertemuan antara hasrat kapitalis di satu sisi dengan hasrat anak di sisi yang lain. Inilah problem serius yang dihadapi oleh keluarga dan terutama anak-anak saat ini.
[22] Dalam nada yang serupa Erich Fromm menyebut sebagai kondisi ‘patologis’ yang disebut sebagai ‘masyarakat yang tidak sehat’. Lih, Erich Fromm, Masyarakat Yang Sehat (terj), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995.
Sangat berguna sekali :)
BalasHapusApa yang dijelaskan disini nampak mungkin sebagai penyebab kematian Sisiwa yang bunuh diri karena menonton TV.
Dalam artikel yang saya buat, saya memakai teori Hiper-Realitas dan teori yang berhubungan dengan dunia yang dilipat.
Berkunjung ke blog aku yah..