Menyoal Etika Jurnalisme dalam
Tantangan Media Kontemporer
Oleh : ST Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Dengan Teknologi cara mengalami dunia
diubah secara ontologis”
(Don Ihde)
Pertumbuhan dan kemajuan teknologi media, terutama tampilnya perkembangan jenis media baru seperti ‘media on-line’ menyuguhkan potret dan wajah tersendieri tentang karakteristik sebuah komunikasi massa yang ‘terbarukan’.[1] Satu pilar pentingnya tentu saja maha pesatnya revolusi teknologi di bidang media. Pengembangan inovasi teknologi jaringan virtual komputer yang semula digunakan dalam kapasitas kepentingan terbatas, dikemudian bertumbuh menjadi jantung kebutuhan yang paling dominan saat ini. Sistem komukasi virtual hampir merambah begitu luasnya dan menjangkau pemenuhan segala kebutuhan penting yang lain terutama dorongan kebutuhan ekonomi yang makin meluas. Daya tarik efektifitas, interaktif, kebebasan dan kecepatan menjadi kredo penting yang memikat seiring berjalan dengan nalar dan motif kehidupan ekonomi yang juga terdorong semakin cepat.
Tidak lagi berdiri hanya sebagai instrumen pendukung, jenis media baru virtual justru telah banyak dipilih sumber keuntungan itu sendiri kecuali media-media konvensional sebelumnya. Sejatinya juga bukan barang baru, sejak tahun 1994 perkembangan media online sudah mulai banyak dipraktikkan di Indonesia .Banyak media pers cetak lokal ataupun nasional sudah melansir versi onlinenya untuk keperluan perluasan keuntungan . Misalnya kasus kehadiran Tempo Interaktif sebagai jawaban pembreidelan yang dialami pers cetaknya pada waktu itu, kini justru berkembang dan berkompetisi dengan media online yang lain seperti detik.com, suratkabar.com atau Mandiri Online.[2] Saat ini bahkan sudah tercatat ratusan situs berita resmi Indonesia yang memakai layanan ‘online’ dalam pengemasan informasi. Hal ini belum terhitung situs-situs tidak resmi yang ikut mengambil kesempatan dalam bisnis dunia maya internet.
Dalam utopia besarnya, perkembangan media jenis baru[3] dipuja bisa memberi harapan baru bagi masyarakat dunia. Ia disanjung karena dianggap berjasa terhadap peningkatan percepatan kemajuan dan penataan ruang demokrasi lebih terbuka. Masyarakar dunia akan semakin terbuka dan tidak terisolasi, Menuju sebuah sistem masyareakat infoermasi, seperti bayangan Marshal McLuhan dengan konsepsinya tentang sebuah ‘kampung global’. Setidaknya wacana mainstream yang berkembang menempatkan hadirnya pertumbuhan media ini sebagai ‘fondasi kebebasan dan demokrasi teramat penting’.[4] Sebagaimana halnya utopia keberhasilan teknologi "media" yang dianggap mampu membuka keterbukaan dan percepatan dialog antar manusia, kehadirannya seakan membawa harapan tentang sebuah progresifitas peradaban yang mampu mengatasi berbagai hambatan "ruang" dan "waktu" yang selama berabad-abad yang lalu telah dipikirkan oleh para penemu dan penggagas.
Dalam nalar ekonomi, inovasi media baru ini adalah sarana sekaligus peluang yang sangat menjanjikan. Perlahan mulai berkembang pilihan untuk menempatkan ‘media online’ sebagai strategi bisnis yang menguntungkan. Secara historis di Indonesia, jenis media ini semula masih belum dilierik dan hanya menjadi pilihan pendukung dan bisnis sampingan[5] Dikemudian hari telah banyak situs online yang bermunculan dan mempercayakannya sebagai lini bisnis utama. Para pelaku dan terutama pemilik media mempunyai kesan kecenderungan asumsi yang senada, karakteristik masyarakat modern yang makin berorentasi pada pemenuhan kebutuhan yang cepat dan siap saji dibaca menjadi pertimbangan utama, meskipun bagaimana ‘kehendak’ pasar konsumen media terbentuk sebenarnya masih bisa diperdebatkan.[6] Nalar pendasaran itulah yang makin cukup dominan mengembangkan corak dan karakteristik tersendiri dari ‘jurnalisme media baru’. Ia lebih mengutamakan keefektifan, kekinian, keleluasaan dan kecepatan informasi. Semakin ‘media online’ mampu menyajikan fakta berita dengan cepat, akurat dan semakin leluasa untuk diakses maka sudah memenuhi dasar nalar jurnalisme online.
Kelambanan menjadi sesuatu yang harus dihindari dalam praksis pemberitaan media online. Pertimbangan mengejar aktualitas (real time), kecepatan berita dan mengejar angka rating pembaca dengan mengedepankan judul-judul pemberitaan yang fantastis dan sensasional masih erealtif mendominasi kesan pandangan tentang media online hingga hari ini, setidaknya itulah fakta tentang kebudayaan media online yang baru berkembang. Beberapa situs media massa online memang sebagian sudah terlihat menerapkan katagori dan kriteria jurnalistik yang berkualitas, namun tidak sedikit pula yang masih berorentasi pada kemasan jurnalistik yang asal-asalan jauh dari standar jurnalistik yang bisa dipertanggungjawabkan. Memang problem ini tidaklah khas hanya ada di fenomena media online semata. Hanya saja dalam media baru ini, problem ini semakin menguat. Beberapa media telah berusaha untuk tetap menjaga pola standar pemberitaan seperti dalam jurnalisme media cetak umumnya dan menggabungkan dengan pola ‘running news’ yang memburu aktualitas berita.[7]
Dalam hamparan harapan dan antusias pasar media tentang peluang media online ini, terkhusus pada keuntungan materialnya, perkembangan media baru ini menyisakan catatan kritis untuk ditinjau lebih jauh. Tidak sekedar masuk pada khasanah pendiskusian media yang lebih teknis insterumentalis, semisal pada telaah praktik jurnalistik yang berubah, teramat penting membacanya lebih mendalam dengan berbagai tinjauan perspektif analisis yang membantu. Pertumbuhan media baru ini tidak bisa dipisahkan dengan entitas dinamika variabel yang lain. Ada nalar-nalar pendasaran yang perlu diangkat bagaimana ‘media baru’ ini mengada dan bertumbuh. Dimensi nalar teknologi seperti apa yang bisa dicatat? Bagaimana nalar dominan ini kemudian berakibat pada pergeseran, perubahan dan pembentukan wajah kekinian kebudayaan komunikasi manusia secara lebih luas? Efek-efek besar apa yang kemudian terbawa dari dominasi sistem nalar teknologi tersebut? Terakhir yang teramat penting dipaparkan dalam tulisan ini adalah bagaimana selanjutnya ‘etika komunikasi’ harus dibaca dan dirumuskan ulang sebagai modal penting untuk membentuk budaya komunikasi manusia yang lebih bermartabat dan beretika.
Di Bawah ‘Rasionalitas Instrumentalis’ Media
Dimensi teknologi media penting untuk dibaca awal lebih mendalam tidak sebatas pada problem teknis mekanis yang ditampilkan olehnya. Dimensi teknologi dalam pengertian yang lebih luas, jauh mau menelusup pada hakikat kenyataan yang lebih mendalam. Mainstream pandangan yang banyak mengemuka lebih cenderung menempatkan problem teknologi sebagai persoalan ‘alat’ atau ‘instrumen’ belaka. Kesadaran semacam ini memang masih cukup kering dan terbatas untuk merefleksikan hakikat teknologi secara tepat. Ia hanya disimplifikasi sekedar problem sarana yang ‘mengada’ di luar subjek manusia. Menurut Don Ihde, meletakkan teknologi sebagai sarana merupakan penafsiran yang ‘instrumentalis’. Pada dimensi lain, paradigma ini cenderung menempatkan teknologi media sebagai entitas netral dan bebas nilai. Ia objek dan benda mati tak bernalar sebelum dan selama digunakan oleh subjek manusia. Motivasi dan kepentingan manusialah yang sejatinya membentuk teknologi itu punyai nilai dan makna semacam apa. Subjek manusialah yang mendeterminasi teknologi dan bukan sebaliknya.
Perspektif ‘netralitas’[8] teknologi akhirnya menempatkan teknologi hanya dilihat sebagai bentuk ‘terapan’ dan ‘sarana’ semata dari cara manusia berada.[9] Jika terjadi problem dan polemik pada kehadiran teknologi, lagi-lagi subjek manusialah yang menjadi ukuran utama yang mesti bertanggungjawab. Moralitas subjek yang harus berperan utama untuk menentukan bagaimana teknologi harus dibawa. Sebagai ilustrasi, ketika terjadi fenomena krisis isi media tentang pornografi, kekerasan media atau kasus muatan acara yang melanggar tata norma masyarakat maka solusinya jatuh pada ranah debat ‘human error’ dan ‘moralitas subjek’. Hampir minim untuk masuk lebih mendalam pada pendiskusian dimensi ontologis teknologi. Determinasi subjek- objek (manusia dan teknologi) kerap direduksi secara linear dan instrumentalis. Memang cara pikir semacam ini tidak seluruhnya salah, tetapi tidak cukup kritis dan mendalam untuk menggali problem dimensi teknologi yang hadir.
Ketika masyarakat modern begitu terobsesinya dengan terknologi media sebagai sarana, maka ‘alat’ kemudian menjadi tujuan darinya. Berbeda dari kecenderungan pandangan ini, beberapa pemikir yang banyak melontarkan ‘kritik atas nalar teknologi’ seperti Martin Heidegger, Herbert Marcuse, Jercques Ellul, Jurgen Habermas ataupun Don Ihde lebih jauh meletakan teknologi dalam dimensi yang lebih luas daripada hanya sekedar sebagai problem terapan semata. Determinasi teknologis ini seakan meyakinkan, bahwa berbagai tuntutan dan kebutuhan manusia yang makin berkembang akan mudah diselesaikan. Dalam kenyataan utopia semacam ini sering keliru dan meleset..
Kehadiran bentuk teknologi virtual baru seperti jejaring internet dan media online menyumbang wajah teransforemasi ‘peradaban material’ baru dan sekaligus ikut menyumbang pengaruh pada dinamika sistem kebudayaan masyarakat yang saat ini berkembang dengan pesatnya.[10] Kompleksitas relasi manusia dan teknologi dengan segala wajah dimensinya telah melahirkan banyak pandangan teoritik terhadapnya. Banyak yang memuja sebagai keniscayaan alamiah, namun tidak sedikit pula yang memberikan catatan kritis. Kehadiran ‘media baru’ saat ini tidak luput dari kaitan dengan problem mendasar tentang ‘peradaban material teknologi’. Tidak lagi teknologi yang dikonsepsi sebagai sebatas persoalan ‘perangkat teknis’, tetapi sebuah entitas maha luas yang menjadi bagian utuh dari peradaban manusia. Meminjam pandangan Lewis Mumford bahwa teknologi sebagai bagian penuh dari ‘eksistensi-bertubuh’ dari manusia. Alat teknologi sebagai mediator diantara manusia dan dunia merupakan sebagian dari pengalaman manusia yang bertubuh.[11] Ia tidak hanya problem di luar tubuh manusia, tetapi secara filosofis dan antropologis menjadi karakteristik penting dari eksistensi dan hakikat manusia.
. Menurut Don Ihde, teknologi tidaklah netral, dalam arti teknologi sebagai mediator antara manusia dan dunianya mengubah pengalaman manusia mengenai dunia, Budaya juga ikut berubah dengan penerapan teknologi.[12]. Apa yang paling bisa dilihat adalah perubahan pada persepsi ‘ruang’, ‘waktu’ dan ‘bahasa’ manusia yang mulai bergeser. Dalam dimensi yang lain, teknologi bisa mampu bergerak dalam nalarnya sendiri. Pergerakan dan perubahan di dalamnya seringkali tidak mampu difahami dan ditangani oleh subjek manusia. Teknologi menjadi otonom dan mendominasi hidup manusia dengan menenggelamkan manusia dalam cara berpikir yang instrumental. Manusia dikondisikan dalam pemikiran sentral dimana semua, benda teknologi termasuk manusia dilihat sebagai sarana, Teknologi menjadi sarana dan tujuan sekaligus.[13] Bahkan meminjam pandangan kritis Herbert Marcuse, atas nama “netralitas”, teknologi sebenarnya telah menyembunyikan kekuasaan ‘ideologi teknokratis’ yang dominan, hegemonik dan tanpa represi, dengan memanipulasi kebutuhan manusia seolah-olah kebutuhan tersebut hanya bisa dipenuhi dan dicukupi oleh cara-cara teknologis. Dalam konteks ini, ia mendorong ketergantungan terhadap teknologi media sebagai insterumen. Pada titik yang ekstrem, seperti yang pernah disitir oleh Marshal McLuhan dalam bukunya “Understanding Media – The Extension of Man” bahwa teknologi media telah menjadi pesan itu sendiri bagi subjek manusia.[14]
Kecanggihan, keefektifan dan kecepatan teknologi[15] media baru dalam mengemas berita mempengaruhi secara tidak sadar subjek untuk mengikuti ‘pola dan logika teknis’ yang ada dalam tubuh teknologi. Yang terpenting adalah persoalan performa teknis ketimbang ‘isi’ dan ‘makna’ yang ada dalam pemberitaan. Dalam keterbatasan subjek untuk menjangkau teknologi media secara utuh, seringkali membuat efek dan akibatnya tidak mudah dikontrol oleh manusia.[16]. Di titik inilah sebenarnya problem pokok yang selalu hadir, bahwa tidak selamanya kemajuan dan kecanggihan format teknis teknologi mampu dengan sendirinya menjawab kebutuhan-kebutuhan mendasar tentang ‘kebenaran’, ‘kebermaknaan’ , ‘saling pemahaman’ dari kehendak komunikasi yang diharapkan.[17] Melalui penyaringan dan pengkodean khusus melalui konvensi-konvensi kognitif yang mentransformasikan ide dan kepentingan media maka tekno-easionalitas media semakin mendorong dan menciptakan distorsi komunkasi semakin besar. Inilah problem serius komunikasi massa yang termediasi yang lebih menonjolkan ‘surface’ daripada ‘substance’. Seruan kritis Jean Baudrillard bisa saja tepat sasaeran bahwa “Kita saat ini berada dalam semesta yang begitu melimpah informasi, tetapi begitu hampa makna”.
Rasionalitas Komunikasi yang Terdistorsi
Bagaimana logika distorsi ‘pemiskinan makna’ ini bisa dijelaskan secara teoritik dalam kaitan dengan dimensi teknologi yang makin maju? Sangat penting kembali mengamati kecenderungan dalih dan anggapan umum tentang kemampuan lebih media viretual ini. Ada sedikitnya tiga karakteristik penting dari transformasi kemunculan media baru online ini[18]. Pertama, ‘otonomi’, media online mampu memberi peluang lebih besar pada kebebasan gerak individual lebih dalam mengakses informasi. Hirarkhi berita dianggap lebih longgar untuk membantu individu untuk mendapatkan sekaligus merespon muatan berita yang ia butuhkan. Aplikasi yang lebih longgar banyak menawarkan keuntungan-keuntungan praktis seperti kemudahan dalam menuliskan berita, berbagi data, menyimpan dan membuang data, dan berbagai fasilitas yang seakan tidak terbatas pada hukum ‘ruang’ dan ‘waktu’. Media baru ini memberi harapan bahwa ‘setiap orang’ bisa melakukan pilihan apapun dengan lebih bebas. Sebuah performa ‘otonomi’ tentang ‘keidealan individual’ yang bebas dan cenderung berkarakter liberal.
Wajah kekuatan kedua adalah ‘penguasaan’, teknologi media on line tidak ubahnya ‘samudra informasi’ dan seakan tak terbatas. Ia menyediakan akses seluas dan sebesar-besarnya berbagai kemungkinan informasi yang bisa diperoleh. Sebuah media baru yang mampu menyediakan hamparan informasi sekaligus kesempatan membangun interaksi komunikasi dan sistem jejaring antar individu yang semakin meluas. Setidaknya media online jenis ini bisa memberi injeksi keyakinan bahwa dengan kesempatan bebas koneksi jejaring tersebut, manusia bisa memilih dan menentukan apa saja dengan merdeka seluas-luasnya. Peluang keterbukaan untuk mengakses semua hal, diam-diam telah menjadi ‘utopia’ tersembunyi yang makin diimani oleh para penggila dunia virtual ini.
Karakteristik ketiga yang menjadi identitas utama dan berpengaruh terhadap nalar selanjutnya bagi beroperasinya media baru ini adalah ‘kecepatan’. Meminjam pemhamanan David Harvey tentang ‘revolusi teknologi’ yang dibawa oleh kekuatan global saat ini adalah bahwa seakan telah terjadi evolusi pemadatan ‘ruang’ dan ‘waktu’ yang begitu luar biasa. Sesuatu yang tidak dibayangkan oleh teknologi media sebelumnya. Teknologi virtual online menjawab rentang kebutuhan tersebut dengan kecepatan interaksi dan koneksi antar manusia yang makin efektif. Persepsi tentang ‘ruang’ dan ‘waktu’ kemudian bergeser dan membentuk kebudayaan-kebudayaan berkomunikasi masyarakat yang baru pula. Apa yang semula menjadi informasi sebuah realitas tidak lagi berjarak dengan ruang dan waktu realitas itu sesungguhnya. Bahkan perkembangan pola jurnalisme online saat ini, mampu bersamaan hadir dan bahkan mendahuluinya. Sebuah terobosan percepatan informasi yang melebihi media-media konvensional lainnya.
Ada beberapa problem penting yang perlu dicatat berkait kecenderungan yang menguat berhadapan dengan revolusi teknologi media ini terutam ketiga otonomisasi, penguasaan dan kecepatan. Pertama, asumsi ‘percepatan’ dan ‘penguasaan’ dalam beberapa hal masih problematis jika tidak diletakkan dalam spirit dasar ‘komunikasi’ yang lebih manusiawi yakni membangun kesetaraan dan saling pemahaman sesungguhnya. Apakah benar-benar ruang teknologi ini telah mengarahkan pada habitus komunikasi yang benar seperti yang dijanjikan. Pada kenyataannya, realitas hidup yang sudah termediasi tidak selamanya bisa menggambarkan realitas penuh sesungguhnya yang lebih rumit dan kompleks. Ia kadang bertolak belakang dengan asumsi ‘kecepatan’ dan ‘penguasaan’. Kadang realitas kenyataan yang hadir ditentukan oleh berbagai interaksi ‘kebermaknaan’ yang tercipta dalam dunia kongkrit yang seringkali harus berjalan lambat. Perburuan ‘real time’ berita dengan deadline yang semakin cepat dalam nafas media online membangun kecenderungan yang kadang tidak disadaeri untuk membangun pola pencitraan realitas melebihi realitas sebenarnya.
Kedua, alih-alih mempu menjadi variabel pembentuk “rasionalitas komunikatif”[19] yang manusiawi, rasionalitas instrumental dengan dorongan-dorongan motif ekonomi yang dominan lebih banyak mendistorsi realitas menjadi ‘realitas rekaan’[20] yang dibingkai dalam sensasi dan kontruksi media virtual. Dengan nalar kecepatan pula mendorong media lebih mengutamakan bagaiman performa dan presentasi informasi dikemas daripada kualitas isi dan makna berita. Diam-diam semakin majunya kemampuan teknis media, yang hadir tidaklah ‘kebenaran isi’ tetapi “performa teknis berupa skema yang dikaitkan dengan esensi teknik media itu sendiri yang berupa transisi normal dan diprogram berdasar abstraksi.”[21] Formalisme performa bagaimana informasi harus dikemas lebih dipentingkan daripada membangun kedalaman informasi. Dalam kecenderungan formalisme inilah maka ‘distorsi’ komunkasi semakin meluas dan semakin tidak bisa dihindari. Ketika formalisme yang sudah terdistorsi ini dibiasakan menjadi kultur pembahasaan berita maka spirit etis untuk membangun ruang informasi yang benar akan semakin jauh.
Gagasan Jurgen Habermas tentang ‘rasionalitas komunitaif’ bisa dipinjam karena banyak mengandaikan bahwa jenis relasi komunikasi yang terbentuk harusnya menjadi ‘medium’ dan ‘ruang’ saling pemahaman. Ia terhindar dari manipulasi, pengkondisian, dan tipuan. Sayangnya kecenderungan ‘rasionalitas instrumental’ membawa media terlalu menekankan sarana sehingga sarana justru menjadi tujuan pada dirinya. Bila tekanan pada sarana, maka tujuan akan dikaburkan. Tanpa tujuan, suatu tindakan atau kegiatan tidak lagi terikat pada nilai atau makna.[22] Ungkapan jurnalistik yang hadir pada kenyataannya bukanlah tindakkan berbahasa yang hanya ditentukan oleh penguasaan bahasa yang menarik atau menjual semata, tetapi harus menyeretakan kesadaran tanggung jawab etis yang lain.
Catatan terakhir yang juga cukup krusial adalah bahwa revolusi nalar kecepatan teknologi virtual ini begitu rupa mendorong banjir luapan berbagai informasi, teks, gambar, video dan berbagai fitur data yang lain. Tuntutan akan preoses seleksi isi media yang berkualitas berburu dengan hasrat kecepatan menampilkan berbagai fitur isi media tersebut. Poin ini yang masih menjadi persoalan penting dalam tantangan dunia online hari-hari ini. Prospek dan peluang media online yang makin diminati dunia industri pasar, mendorong semakin bertumbuhnya kompetisi media di satu sisi. Di sisi lain, semua industri media baru saling berebut dan bertarung untuk keberlangsungan eksistensi mereka.
Logika kebutuhan pasar semakin diletakkan sebagai motivasi terbesarnya beriring dengan tantangan kecepatan pemberitaan yang sementara masih menjadi karakteristik utama. Alhasil, diam-diam pilihan mengembangkan karakteristik ‘berita menjual’ lebih diminati ketimbang ‘berita kedalaman’ yang biasanya mengandung prasyarat investigasi jurnalistik yang lebih lama, panjang dan ‘mendalam’.[23] Jurenalisme investigative mendalam ini menghindaeri sikap-sikap preagmatisme dan siap saji tetapi mengembangkan dalam nalar idealisme jurnalistik yang lebih tinggi. Menurut Atmakusumah, dalam penggambarannya tentang jurnalisme investigasi mendalam, pengabdiannya kepada masyarakat luas merupakan unsur penting. Harus butuh idealisme dan integritas pribadi yang kuat di seluruh entitas pemilik, pengelola dan pelaksana media lapangan dalam melakukan proses kerja pemberitaan.[24]
Industrialisasi Media, Teknologi dan Nalar Domonan Pasar
Agak sulit untuk tidak mengkaitkan perkembangan ‘media online’ hari-hari ini dengan pergerakan nalar ekonomi yang menopang. Dalam nalar pasar, apapun yang bisa dijual dan menghasilkan profit keuntungan akan mernjadi tujuannya. Pasar tidaklah bergerak pasif, umumnya ia akan selalu mendorong metode dan cara pikir apapun yang bisa untuk mendukung keberlangsungan pasar.[25] Melampaui nalar istrumentalis tentang teknologi media, teknologi dimengerti sebagai cara ‘mengada’ manusia terhadap kehidupan”. Ia tidak bersifat ‘teknis’ tetapi ‘ontologis’. Jika saja nalar di dalam teknologi media lebih banyak diperuntukan untuk menghamba pada kebutuhan pasar, maka apa yang ditampilkan oleh teknologi tidak ubahnya instrumen untuk mencari motif-motif keuntungan. Atas kekuatan hegemoni pengetahuan[26] dan diskursus dominan pasar, alih-alih bisa secara kritis menempatkan problem kesadaran individu berhadapan dengan kuasa teknologi, masyarakat bahkan tidak sedikit meyakininya secara alamiah sebagai doksa.[27]
Imperatif-imperatif teknologis sering berjalan dan bermertamorfosis tidak mudah dikontrol oleh kuasa kesadaran manusia yang sudah teresublimasi. Apalagi oleh mereka yang jauh dari jangkauan kekuasaan atas bagaimana wajah teknologi harus disusun. Relasi ‘user’ (pengguna) atau masyarakat konsumen dengan teknologi yang digunakan lebih hanya sebatas menjadi ‘pengguna’. Pola relasi diatur oleh seluruh bangunan mekanisme teknis dan imperatif-imperatif katagoris nilai yang ada dalam teknologi. Sebagian besar kultur relasi ini berkembang pesat di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia yang sebagian besar hanya berdiri sebagai masyarakat konsumen ketimbang produsen. Sebagai konsumen, maka ia selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sudah terberikan. Paradoks akan mudah berkembang. Proses ini mau tidak mau ikut mempengaruhi bagaimana mentalitas dan kultur penggunaan teknologi itu terbentuk.
Sepakat dengan Jurgen Habermas, dalam memberi catatan reflektif dan teoreitik tentang bagaimana manusia memandang seluruh relasi hidupnya berhadapan dengan teknologi. Habermas salah satu pemikir yang tidak mau larut dalam optimisme teknologi secara membabi buta. Tetapi dia juga bukan seorang yang pesimis ataupun menentang proyek kemajuan dalam kehadiran teknologi modern dalam masyaerakat. Bukan teknik dan teknologi an sich yang mengancam kebebasan manusia modern, melainkan gangguan dalam dimensi ‘komunikasi’ yang perlu dilihat kembali. Poin besarnya seperti yang telah dikutip Franz Magnis Suseno[28], ‘rasionalitas sasaran’ tidak seluruhnya salah. Ia adalah rasionalitas dalam bidang pekerjaan, dalam hubungan manusia dengan alam. Hubungan antar manusia tidak bisa ditangkap dalam rasionalitas sasaran. Disitulah titik penting dari pengembangan hubungan manusia dengan mengedepankan ‘rasionalitas komunikatif’[29].
Ketika kerangka normatif Habermas dihadapkan pada wilayah problem praksis industrialisasi media saat ini, maka yang amat penting kiranya adalah perjuangan terus-menerus untuk melihat kembali secara lebih kritis, apakah struktur relasi demokrasi yang menjadi landasan penting masyarakat sudah menunjukan kearah situasi demokratis sebenarnya, termasuk dalam hak pengaturan bagaimana teknologi bagi publik harus ditentukan. Apakah situasi diskursus publik yang terbangun sudah menunjukan wajahnya sebagai wujud komunikasi yang bebas, berorientasi pada kebenaran dan menjujung kesederajatan dan saling pemahaman sudah terwujud? Jika situasi ini belum terbangun, maka ‘habitus komunikasi publik’, minimal menurut keyakinan teoritik ini akan masih selalu diwarnai dengan distorsi-distorsi kepentingan baik yang nampak (manifest) ataupun yang masih tersembunyi.(laten). Parahnya lagi teknologi dalam situasi ini juga turut sering mengambil alih wilayah ‘eksistensi’ manusia yang tidak sesuai. Ia justru menyumbang distorsi komunikasi makin meluas tajam. Di titik inilah yang kemudian banyak melahirkan krisis dalam masyarakat modern.
Teori tindakan komunikasi Habermas dengan dimensi interaksi bahasanya meskipun terkesan utopis, tetapi menyumbang cukup berharga bagi penciptaan pemahaman tindakan komunikasi yang bisa meminimalisir distorsi. Ia sekaligus membangun fondasi etis untuk visi baru komukasi bagi masyarakat modern. Apa yang terpenting dari komunikasi manusia adalah cara menemukan kesamaan dasar dan membangun “konsensus makna” dengan pihak lain secara egaliter. Terciptanya konsensus amat penting untuk mendorong rasionalitas komunikasi yang bisa menjebatani berbagai perbedaan dan distorsi lintas budaya manapun.[30] Bahkan penggunaan teknik dan teknologi harus juga selalu dibangun dalam spirit dasar ini. Jika tidak maka teknologi lagi-lagi juga akan terjerembab pada penguasaan satu atas yang lain secara tidak manusiawi. Jika sudah demikian, maka kondisi perubahan sosial yang terjadi hanya akan melahirkan banyak ‘realitas patologis’ ketimbang ‘emansipasi manusia’ yang sebenarnya[31], seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, pencemaran lingkungan, kekerasan, dan seterusnya.
Tantangan Etika Jurnalisme Kontemporer
Kebutuhan membaca dan merumuskan kembali etika jurnalisme berkait erat dengan upaya meletakan pendasaran nilai-nilai yang benar dan berorientasi pada kemanfaatan publik secara luas. Ujung besarnya tidak hanya pada persoalan di tubuh media an sich tetapi mencakup elaborasi yang lebih meluas menyertakan setiap mata rantai relasi media yang ada. Semakin banyak keterpaduan dan kohesifitas nilai-nilai yang mendukung maka problem etika jurnalisme bisa lebih termaknai lebih baik. Akan sangat sulit membayangkan jika ia berdiri sendiri. Tentu berujung pada problem teknis yang sangat sempit, mengingat pada kenyataannya setiap rumusan nilai apapun akan berinteraksi dengan kepentingan-kepentingan nilai yang lain. Interaksi masing-masing nilai tidak akan berhenti dalam pengertian final tertentu tetapi terus mengembang berjalan sesuai dinamika perubahan kemajuan yang ada.
Tantangan terutama bagi pembacaan kembali dimensi etika jurnalisme berhadapan dengan membanjirnya tipe-tipe media baru tetap saja akan bicara pada entitas ‘peran’ dan ‘tanggungjawab’ media. Masyarakat memang terus bergerak dari tahapan perkembangan yang satu ke perkembangan yang lainnya. Begitu juga dengan evolusi teknologi media. Justru karena peran dan pengaruhnya luar biasa terhadap hubungan kehidupan manusia, maka peran etis media selalu harus disinggung.[32] Apa yang menjadi rentang persoalan mengenai etika jurnalisme mau tidak mau akan bersinggungan dengan, pertama, bagaimana ‘bahasa media’[33] berhadapan dengan ketegangan interpretatif hakikat manusia sebagai pribadi yang pada hak dasarnya dikaruniai kebebasan dan manusia yang secara kongkrit hidup dalam dinamika sosial dengan yang lain. Kedua, bagaimana etika secara prinsip sekaligus bisa menjawab berbagai kecenderungan determinasi baik ekonomi maupun teknologis yang hari-hari ini semakin menjadi kredo utama. Ketiga, bagaimana secara prinsip ‘etika jurnalisme’ tidak sekedar dibaca sebagai rumusan-rumusan kognitif semata tetapi mampu menjadi nilai pegangan yang kuat untuk mendorong jurnalisme lebih humanis dan bertanggungjawab.
Ketakutan akan meluasnya problem keretakan dan krisis masyarakat informasi akibat media baru akan semakin mendapat lahan basahnya jika para insan media, masyarakat, negara dan juga institusi yang terkait seperti peran institusi pendidikan tidak bersama-sama mendialogkan problem ini. Mengambil sintesa pendekatan pascastrukturalis, kebertemuan komitmen dan peran pelaku sebagai subjek aktif yang peduli tidaklah cukup jika saja tidak ada sambutan dalam dimensi struktural. Memang pembacaan etika ini tidaklah sesuatu barang jadi yang tiba-tiba bisa difahami jika tidak melalui pergulatan panjang dari segala entitas yang terkait. Tentu saja juga, usaha merefleksikan kembali bukanlah usaha yang steril dari benturan-benturan nilai yang memang secara riil beragam dan sering bertentangan dalam pluralitas hidup masyarakat.
Sejarah panjang kehidupan pers dan media massa kita selalu tidak luput dari ketegangan-ketegangan antagonis antara ‘kebebasan’ satu sisi dengan ‘aturan ikatan’ di sisi yang lain. Meminjam tesis Habermas, sangat penting kiranya bahwa ada usaha serius untuk ‘mendialogkan’ berbagai problem ketegangan-ketegangan nilai atas rumusan etika dalam spirit untuk pemahaman bersama dalam ruang dialog yang memang demokratis. Sikap etis ini adalah poin penting untuk upaya mematahkan kecenderungan dominasi penafsiran dan hegemoni makna terhadap usaha membangun nilai-nilai kolektif yang ingin disusun. Selama ruang itu belum ada maka etika jurnalisme baru bisa jadi juga hanya jatuh dalam bayang-bayang kepentingan nalar teknologis dan juga ekonomis dan meninggalkan spirit kepentingan publik secara luas.
***
[1] Klaim ‘kebaruan’ (newness) sebenarnya khas pendasaran dari nalar dan wacana kemajuan yang dibawa oleh sistem berpikir ‘modern’. Sebagai membedakan dengan ‘yang lalu’ dan ‘yang kini’. Ada disparitas ‘ruang’ dan ‘waktu’ mekanik linier yang seakan berubah menuju kemajuan. “Yang baru’ selalu berjalan kedepan dengan ‘temporalitas waktu’ yang berurut dan tidak pernah berjalan kebelakang. Istilah-istilah seperti perubahan, kemajuan, evolusi, pertumbuhan adalah istilah-istilah kunci “kesadaran modern”. Lihat, Frank Budi Hardiman, Filsafat Modern, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2004, hal. 3.
[2] Lihat, Wendi Ruky dan Rofiqi Hasan, “Mengintip Media Dunia Maya”, http://www.infoperpus.8m.com/news/1999/31101999_1.htm
[3] Everett M. Rogers lebih menyebutnya sebagai “New Communication Tecnology” untuk menjelaskan perkembangan jenis media baru setelah era media tulisan, media cetak dan media telekomunikasi. Lihat, Everett M. Rogers, Communication Technology : Ther New Media in Society, London : The Free Press, Collier MacMillan Publisher, 1986, hal. 27 – 30.
`[4] Perkembangan media muktahir dengan semakin meluasnya bentuk teknologi vurtual (cyber) semakin meyakinkan bagi para pelopor dan pendukung thesis tentang ‘keterbukaan publik’ sebagai pilar demokrasi. Tidak aedikit premis ini mendapat kritik tajam terutama dari para pemikir kritis tentang dampak teknologi media. Kita bisa melihat beberapanya dikembangkan oleh pemikir-pemikir yang kerap disebut ‘Dystopian’. Kita bisa merujuk pada beberapa karya Martin Heidegger, David Thoreau, Edmund Husserl. Hannah Harendt, dan Benjamin Barker yang sangat mencurigai ‘nalar teknologi’ yang tidak pernah netral dalam relasinya dengan manusia. Lihat, Anthony Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Cyber), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal.6 -14.
[5] Menengok pengalaman dari kemunculan media baru online di Indonesia seperti kompas.com, okezone.com, detik.com, inilah.com, hukumonline.com, indonesiaontime dan yang lainnya merupakan pergerakan transisi dari era peres cetak kearah era digital yang bisa dilihat tahun-tahun ini mengenai perkembangan bisnis ‘media online’ di negeri ini. Hampir semua media massa cetak besar sudah mengembangkan pilar ‘online’ dalam penunjang pemberitaannya.
[6] Kunci perdebatannya berangkat dari pertanyaan mendasar tentang lahirnya apa itu “kebutuhan”. Sebagian melihat bahwa ‘pasar’ adalah hasil tarik-menarik hukum penawaran dan permintaan yang alamiah. Bagi pandangan ini, ‘kebutuhan’ adalah lahir karena dorongan niscaya yang hadir dari kehendak masyarakat akan perlunya informasi yang disediakan media. Sebagian lain justru secara kritis melihat bahwa ‘kebutuhan pasar’ adalah hasil dari upaya ‘rekayasa’ yang terencana. Kebutuhan tidaklah sesuatu kesepakatan yang alamiah tetapi dibentuk dengan sengaja menjadi mewajah sebagai ‘kebutuhan’ yang harus dicari masyarakat.
[7] Karakter ini lebih nampak menonjol dan bisa dicermati pada beberapa industeri pers cetak yang sudah cukup mapan yang mulai mengembangkan medianya dalam versi digital. Pertimbangan image sangat diperhitungkan. Grup Media Kompas misalnya mulai 3 Juli 2008 telah meluncurkan versi ‘koran digital’ dan sekaligus ‘koran internet Kompas’. Beberapa koran besar lainnya juga melakukan hal yang sama walau dengan strategi nama media yang berbeda sepereti yang dilakukan media online okezone.com yang meerupakan satu induk industri dengan Grup Mediacom yang mengeluarkan pers cetak Sindo.
[8] Pandangan ini dalam perjalanan pemikiran tentang teknologi media banyak dikembangkan oleh kaum ‘Neo-futuris’ seperti Naisbitt, Alvin Toffler, Jim Ruben, dan Richard Groper, yang begitu terbuka dan tolerannya pada kebutuhan teknologi yang merupakan keniscayaan kebutuhan jaman yang tidak bisa dihindari. Di seberang sana pemikiran-pemikiran ‘Dystopian’ seperti Edmund Husserl, Martin Heidegger, Hannah Arendt dan Benjamin Barber justru mau lebih berhati-hati dan kritis untuk meletakan teknologi dalam relasinya dengan peradaban manusia. Lihat, Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Cyberspace, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
[9] Teknologi sebenarnya masih sangat luas untuk bisa didekati dengan berbagai prespektif baik secara ‘epistemologis’, ‘etis’, ‘antropologis’ ataupun ‘metafisis’. Memang kecenderungan pola pikir yang pertama (epistemologis) masih sangat dominan berpengaruh.
[10] Kondisi masyarakat yang mengalami transformasi besar akibat keberadaan teknologi ini oleh pemikir seperti Jacques Ellul dikonsepsi sebagai ‘masyarakat teknologi’, sebuah gambaran masyarakat dimana teknologi secara fungsional telah begitu berkuasa bahkan pada peran yang substansial mengatur jalan dan pola pikir masyarakat. Lihat, Jacques Ellul, The Technological System, New York : Continuum, 1980, hal 1.
[11] Pandangan ini sebenarnya kata kunci khas yang banyak dikembangkan oleh pemikir eksistensialisme seperti Martin Heidegger. Teknologi tidak bisa hanya dibaca sebagai problem tekni tetapi merupakan persoalan penting eksistensi manusia. Lihat, Franscis Lim, Filsafat Teknologis (Don Ihde Tentang Dunia, Manusia dan Alat), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2008, hal. 100 – 102.
[12] lihat, Franscis Lim, Filsafat Teknologis, Ibid, hal. 17.
[13] lihat, Franscis Lim, Filsafat Teknologis, ibid, hal. 18. Dalam pandangan Jercques Ellul, teknologi menjadi artifisial, otonom, menentukan dirinya sendiri, berkembang dalam suatu proses sebab dan akibat dan bukan diarahkan pada tujuan. ‘Sarana’ menjadi lebih penting daripada ‘tujuan’, sehingga teknologi sebagai ‘kekuatan otonom’ dan tidak terkendalikan lebih memperbudak manusia, alih-alih membebaskannya.
[14] Lihat, Marshal McLuhan, Understanding Media – The Extension of Man, London : The MIT Press, 1999, hal. 7.
[15] Secara ontologis, teknologi memang berorientasi untuk menciptakan ‘artefak baru’ dengan dalil untuk meningkatkan ‘keefektifannya’. Lihat, Karl Mitchan and Robert Mackey, “Introduction: Technology as a Philosophical Problem,” dalam : Karl Mitchan and Robert Mackey, ed., Philosophy and Technology, Reading in the Philosophical Problerm of Technology. New York : The Free Press, 1983, hal. 1-4.
[16] Dalam bahasa Don Ihde, penciptaan alat teknologi yang lebih canggih akan melahirkan kecenderungan pada tujuan yang tidak disadari (laten telic). Dalam jantung nalar pengetahuan modern, Mark Hokheimer pernah dengan begitu kritis membongkar ‘rasionalitas modern’ yang masih menyimpan cacat bawaan yakni ‘krisis rasionalitas teknologis’ yang membawa dampak dan konsekuensi sampingan yang sulit untuk diprediksikan semula dan kadang justru kontraproduktif dengan spirit etisnya semula. Lihat, Sindhunata, Dilema Manusia Rasional, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 1987.
[17] Kajian Dominique Wolton tentang perubahan-perubahan dimensi komunkasi dalam era internet menunjukan bahwa transformasi besar yang sering dibayangkan menjadi utopia masyarakat modern lebih banyak tertuju pada ‘performa teknik’ semata. Ia kurang mejawab pada aspek dimensi komunkasi yang lebih dalam pada jantung aspek hubungan manusia dan masyarakat. Menurutnya, ideologi normatif teknis media baru telah banyak mereduksi komunikasi manusia hanya pada performa teknis. Lihat, Dominiqiu Wolton, Kritik atas Teori Komunikasi (Kajian dari Media Konvensional Hingga Era Internet (terj), Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2007, hal. 214.
[19] Pengertian ‘rasionalitas komunikatif’ merupakan gagasan kritis dari pemikir Frankfurt Jerman, Jurgen Habermas untuk menggenapi kekurangan-kekurangan pemikir Mazhab Frankfurt sebelumnya yang lebih menekankan pada ‘rasionalitas pekerjaan’ atau ‘rasionalitas sasaran’ dalam menganalisis problem krisis masyarakat modern. Menurut Habermas, pada dasarnya tujuan paling dasar manusia adalah ‘tindakan komunikatif’ atau ‘interaksi’. Menurutnya ‘rasionalitas komunikatif’ bisa tercapai dalam ‘saling pengertian’. Lihat, Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal. 221. Bdk, Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal. 28.
[20] Utopia besar bahwa ‘media on line’ mampu membentuk dan menampilkan isi informasi, data dan pemberitaan yang ‘akurat, cepat, kebebasan akses dan interaktif’ dlebih banyak merupakan ‘imperatif katagoris ‘yang peroblematis. Representasi atas realitas berjalan tidak dalam ‘udara kosong’, melainkan ada dalam skema kepentingan pemberitaan yang tidak lagi bebas nilai. Sisi ekstrimnya, ia seringkali melampui dari ‘realitas pemahaman’ yang sebenarnya dan membentuk ‘hyperealitas’ baru yang bergeser jauh. Ini sebenarnya khas menjadi paradoks dari sistem komunikasi yang termediasi dalam dunia virtual maya.
[22] Dr. Haryatmoko , Ibid, hal. 157. Dalam pengandaian teoritik Jurgen Habermas, ada empat klaim ketika manusia ingin membangun diskursus pembicaraan: 1. Kejelasan (understandibility) 2.Kebenaran (truth) 3. Kejujuran (truthfullness) 4. Ketepatan (rightness). Sederhanyanya empat klaim ini mau mengatakan bahwa relasi komunikasi apapun antar manusia seyogyanya harus dibangun melalui diskursus yang jelas, benar, jujur dan tepat.
[23] Mengambil konsep pengertiannya Steve Weinberg, nilai kemendalaman reportase investigatif terletak pada signifikansi kegunaan informasinya bagi kesejahteraan publik. Investigasi menjadi sarana penting bagi pertanggungjawaban media dan pembuat berita, bahkan mutu jurnalisme, kepada masyarakat. Dikutip di Sentiawan Santana K, Jurnalisme Investigasi (edisi revisi), Penerbit Obor, Jakarta, 2009, hal. 11.
[24] Lihat, Septiawan Santana K, Ibid, hal 13.
[25] Sistem ekonomi ‘neolibeeral’ saat ini telah mampu membumikan kredo dan mantra ampuhnya untuk meyakinkan pada segenap masyarakat bahwa memang penting untuk meyakini secara penuh ‘logika pasar’ bahwa hanya sistem inilah yang terbaik dan patut dianut uintuk membangun tatanan masa depan masyarakat yang lebih baik. Mantra tentang ‘perofabilitas’ bahkan sudah mempengaeruhi sikap, cara berpikir dan berperilaku masyarakat. Sebagai pemahaman singkat tentang Neoliberalisme bisa dilihat di: I. Wibowo & Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, Penerbit Cindelaras, Yogyakarta, 2003.
[26] Lihat, ST Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2006, hal. 50. Dijelaskan di sini bahwa “paradigma positivisme” pengetahuan menjadi amat dominan berpengaruh sampai hari ini. Nalar modernisasi yang dilahirkannya cenderung memburu hasrat tidak terbatas dari nalar eksploitasi dan sembari melupakan unsur etika, estetika dan moralitas manusia.
[27] ‘Doksa’ bisa dimengerti sebagai seperangkat keyakinan wacana yang telah hidup mendominasi kesadaran masyarakat sebagai nilai kebenaran. Ia juga bisa difahami sebagai semesta makna yang ternaturalisasi dalam kesadaran masyarakat yang sangat kuat dan tidak terbantahkan. Ia menjadi ‘kesadaran kolektif’ yang dianggap hadir begitu saja dan mempengaruhi seluruh nilai, perspektif dan perilaku masyarakat sampai pada tingkat keseharian.
[28] Lihat, Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal. 28 – 29.
[29] Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal 29. Menurut Habermas, sumber masalah masyarakat modern tidaklah terletak pada teknologi an sich, tetapi harus terus dicari di dalam struktur-struktur kekuasaan yang tidak demokratis. Distorsi-distorsi ini dikarenakan sistem relasi demokrasi masyarakat tidak berjalan secara demokratis.
[30] Lihat, Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, Penerbit Obor, Jakarta, 2009, hal. 237.
[31] Lihat, Feransisco Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 18.
[32] Catatan dari Boris Libois yang dikutip Haryatmoko dalam bukunya “Etika Komunikasi” bisa menambahkan betapa pentingnya penerapan ‘etika jurnalistik’. Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik; Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggungjawab; Ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Lihat, Haryatmoko, Etika Komunikasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 38.
[33] Lihat, Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalistik Beretika, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009, hal. 8. Etika jurnalisme banyak hal bersinggungan dengan problem ‘bahasa’, sebagai wujud tindakan komunikasi dan bentuk eksistensi wartawan. Ia tidak hanya diletakkan pada punggung wartawan sebagai subjek/agen produksi bahasa tetapi sekaligus juga menyinggung problem institusionalisasi media. Yang pertama bicara pada ‘kode etik profesi’ dan yang kedua banyak menyentuh kode etik industri (bisnis) media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar