"Tujuan dari propaganda modern
adalah tidak lagi mengubah opini,
tetapi membangunkan sebuah kepercayaan yang aktif
terhadap mitos"

(Jacques Ellul)

Selasa, 11 Januari 2011

Yang "anonim" menguasai kita : Quovadis "diskursus kritis" ?

Yang "anonim" menguasai kita : Quovadis "diskursus kritis" ?


Sebagaimana buah keberhasilan teknologi "media" yang mampu membuka keterbukaan dan percepatan dialog antar manusia, maka kehadiran teknologi seperti Millis ini seakan telah membawa harapan tentang progresifitas peradaban dengan mengecilkan berbagai hambatan "ruang" dan "waktu" yang selama berabad-abad yang lalu telah dipikirkan oleh para penemu dan penggagas. Meminjam David Harvey, dunia telah mengalami "pemadatan ruang dan waktu" luar biasa, di mana jarak dan tempat tidak menjadi persoalan.

Seyogyanya dengan meminjam asumsi itu maka "free space" telah menjadikan dunia akan serba "terbuka" dan batas-batas komunikasi mulai melenyap. Bahkan dalam batas-batas tertentu apa yang dulu disebut sebagai "ruang privat" sebagai ruang yang lebih bersifat "intim" dan kecenderungan "tertutup" telah dibongkar sedemikian rupa. Yang "privat" dan yang "publik" batasannya kadang semakin tidak jelas dan tumpang tindih., Asumsi pikiran ini barangkali sangat menarik. Tetapi ada celah pertanyaan yang bisa kita ajukan. Apakah "keterbukaan ruang" yang hadir juga berarti tertutupnya ruang untuk "bersembunyi"? Apakah "keterbukaan ruang" juga akan memberi stimulus pada semakin dihargainya "etika tanggung jawab"?

Agak berbeda sedikit dengan catatan David Harvey, aku justru kadang meragukan asumsi "optimistis media ini". Akses keterbukaan media justru mendorong hadirnya "ruang-ruang persembunyian" bahkan dalam titik yang paling ekstrim. Kebebasan untuk "membuka diri" sejalan dengan kesempatan untuk "menyembunyikan" . Kesempatan untuk menjadi "yang real" sama luasnya dengan kesempatan untuk menjadi "yang anonim". barangkali inilah efek yang kadang jarang diperhitungkan dalam perdebatan-perdebat an tentang "akses keterbukaan media". Apa yang diasumsikan sebagai semakin mendekat dan merapatnya jarak justru berbalik di mana "ruang media" semakin menjauhkan jarak manusia sesungguhnya. Tidak dalam persoalan fisik melainkan berbicara dalam "hakikat keberadaan (being) manusia sesungguhnya" .

Kenapa bisa demikian? Ada tiga pendorong penting, pertama, dalam dunia "simulacrum media" apa yang disebut "yang real" dan apa yang disebut "yang tidak real dan anonim" kadang bercampur aduk dan membentuk "realitas baru" yang seakan-akan kemudian kita pandang sebagai "realiotas sebenarnya" bahkan tampilnya "realitas-realitas baru yang dibayangkan" ini telah menjelma menjadi mahluk "hiperrealitas" yang kadang justru dipuja sebagai realitas sesungguhnya. Kedua, peradaban berpikir manusia kadang tidak selaras denga peradaban \teknologi yang hadir. Kadang "disparitas jarak" keduanya sangat jauh sehingga mendorong "ketimpangan kesadaran". Determinasi kekuatan peradaban teknologi lebih dominan berpengaruh ketimbang percepatan dan pendalaman reflektif dan dialektikal berpikir manusia. Ketidakseimbangan ini kadang justru banyak menghadirkan menusia-manusia dekaden yang hanyut dalam "kesadaran simulacrum". Ketiga, apa yang disebut sebagai "larinya teks" dari "tanggungjawab" penulis merupakan bukti proses semiotik panjang yang dipengaruhi oleh berbagai dimensi. Meminjam pemikiran Umberto Eco, sebuah "teks" sesungguhnya merupakan sistem sebagai keseluruhan, menawarkan mereka sendiri untuk "multitafsir'. Dalam beberapa hal inilah yang disebut sebagai "semiosis tanpa akhir". Sebuah tanda sekaligus peringatan bahwa tanpa reflektif dan dialektika kritis kita justru hanya sering "dipermainkan" oleh teks.

Ketika di depan kita dihadapkan pada deretan teks, wacana atau diskursus yang dipaparkan oleh teman-teman, maka menjadi sangat penting untuk kita bisa selalu bersikap kritis terhadapnya. Meletakan anggapan penuh bahwa makna teks berasal dari apa yang sepenuhnya diinginkan oleh "penulis" seringkali justru sering menjebak kita pada perdebatan yang lebih bersifat personal ketimbang "eksplorasi gagasan". Apalagi "kekuasaan teks" seringkalin justru mengombang-ambingka n kita pada benturan "interpretasi" atas teks. Dan parahnya lagi ketika "pengetahuan" atas teks di depan kita tidak disentuh dalam ketiga kesadaran (relasional, kultural. dan formal) maka yang terjadi adalah sulit untuk bisa membayangkan bahwa kita bisa "berdialog secara kritis".

Situasi kesemrawutan ini juga ditambah oleh potensi "bersembunyinya" apa yang disebut sebagai "penulis teks". Aku lebih membahasakan dengan "sang anonim". Keterbukaan media membawa sisi buruknya bahwa "sang anonim" akan bertumbuh subur dalam dunia "simulacrum" . Saya sepakat jika ruang millis ini memang dengan bijak diatur sedemikian rupa sehingga " tutur" kita memang mendapat "ruang" yang baik sehingga mampu melahirkan "diskursus kritis" untuk persemaian gagasan=gagasan maju. Memang saya juga sadar bahwa membalik "habitus" bukan perkara mudah dan cepat. Sebagaimana tradisi bertutur kita juga sangat dipengaruhi oleh seluruh matarantai panjang oleh lingkungan kebudayaan kita. Tidak berarti memberi kesimpulan secara keseluruhan, inilah bagian "representasi habitus perhimpunan saat ini". Sebuah habitus bertutur yang masih sarat dengan alam pikir Cartesian dengan karakteristik "oposisi binernya" yakni sebuah alam bertutur "hitam - putih" dan "menang - kalah".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar